j.ox

Papua merupakan salah satu daerah terkaya di Indonesia. Sayang, penduduknya masih hidup melarat.

Mantan Sekretaris Daerah  Provinsi Papua Constant Karma mengatakan, beban penanganan kemiskinan di Papua cukup besar. “Selama ini angka kemiskinan di Papua sangat tinggi, ditambah IPM Papua yang juga rendah,” kata Karma, baru-baru ini.

Bertahun-tahun kata dia, Papua mengurus orang miskin. Namun ternyata, itu tak sebanding dengan banyaknya keluarga ‘tak punya’ yang masuk ke Papua. “Sehingga beban pembangunan kita cukup besar, khusus menangani kemiskinan, dan hal ini tidak dimengerti oleh pemerintah Pusat,” kata Karma.

Ia mengatakan, letak geografis di Papua juga menjadi penghambat dalam menangani kemiskinan. “Penduduk kita hanya berjumlah tiga juta jiwa, tetapi luas wilayah Papua tiga kali lipat dari besarnya pulau Jawa.”

Dari berbagai sumber, disebut; 37,5 persen rakyat Papua masih hidup dibawah garis kemiskinan. Angka yang fantastis jika dibanding kucuran dana otonomi khusus tiap tahun triliunan rupiah. “Ini luar biasa, kalau saja dana otsus itu ada di daerah lain, pasti daerah itu akan kaya dan rakyatnya hidup makmur,” kata Ruben Magai, Anggota DPR Papua.

Menurut dia, telah terjadi skenario besar dalam penggunaan dan pengelolaan dana otsus hingga rakyat kecil tak memperoleh manfaatnya. “Ada program Respek, tapi itu tidak dilakukan di semua kampung, buktinya ada kampung yang masih tertinggal dan jauh dari hidup mewah,” ulasnya.

Berdasarkan data hingga tahun 2012, pemerintah sudah mengucurkan sebesar Rp33 triliun ke Papua dan Rp7,2 triliun ke Papua Barat. Pemberian dana itu sesuai dengan status Otonomi Khusus yang diatur melalui UU Nomor 21 Tahun 2001. “Kita bayangkan saja, andaikan dana itu dibagi ke tiap keluarga, sekarang siapa mau salahkan siapa, kita semua harus bertanggungjawab.” Ia menambahkan, “setiap pejabat Papua perlu melihat ini, jangan pikir diri sendiri.”

Badan Pusat Statistik (BPS) Papua mencatat, jumlah penduduk miskin hingga September 2012 sebanyak 30,66 persen atau setara dengan 976,37 ribu orang. Meskipun demikian, BPS menyebut, berdasarkan survei selama tiga belas tahun (1999-2012) kondisi kesejahteraan masyarakat Papua kian membaik.

Tercatat persentase penduduk miskin pada periode tersebut menurun secara signifikan sebesar 23,51 persen, atau 54,75 persen pada Maret 1999 menjadi 30,66 pada September 2012.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan, meski telah diberikan otonomi khusus dan anggaran triliunan rupiah, 37,5 persen masyarakat Papua belum sejahtera. “Negeri ini penduduknya ada 260 juta jiwa, yang semua tersentrum di pulau Jawa. Papua yang luasnya 3 kali pulau Jawa, hanya didiami oleh tiga juta orang lebih. Papua alamnya kaya raya. Ironis, masyarakatnya masih miskin,” ujar Priyo.

Pemerintah kata dia, sesuai UU memerintahkan agar dana Otsus Papua diperuntukkan bagi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Yang menjadi persoalan adalah, UU itu, yang sebenarnya didesain untuk memobilisir sumber daya alam, agar Papua sejajar dengan provinsi-provinsi lainnya, ternyata masih jauh panggang dari api. “Saya jadi merisaukan implementasi dari Undang-undang otsus yang kurang optimal ini,” tegasnya. “Undang-undang otsus Papua itu untuk mengurangi kesenjangan. Undang-undang ini juga mengamanatkan menjamin hak-hak dasar rakyat Papua.”

Dia juga mengkritisi pemerintah yang lambat menyiapkan PP (Peraturan Pemerintah). Padahal, UU ini mengamanatkan agar pemerintah segera menyiapkan PP. “Sampai saat ini baru tiga PP yang ada, di antaranya PP tentang MRP, dan PP mengenai tanggung jawab dan kewenangan gubernur,” ucapnya.

Priyo mengutarakan hingga kini ada 13 Perdasus (Peraturan Daerah Khusus), dan 22 Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) yang mampet di Papua. Dana Otsus sampai hari ini masih menjadi tarik menarik yang hebat antara gubernur dan bupati-bupati, terkait siapa berwenang untuk membagikannya, termasuk masalah alokasinya.

Rafael Kapura, kandidat doktor dari Universitas Indonesia berujar, angka kemiskinan di Bumi Cenderawasih akibat kelalaian pemerintah. “Kita jangan bilang bahwa sudah berhasil mensejahterahkan rakyat, buktinya rumah penduduk di kampung jauh dari sehat,” kata Rafael.

Ia mengungkapkan, begitu banyak rumah warga hanya terbuat dari papan dan beratapkan rumbia. Tiap tahun, mereka harus mengganti kayu hutan untuk tiang penyangga rumah. Sementara jikalau hujan, air menetes dari celah-celah atap. “Salah kalau kita bilang penduduk Papua sudah lepas dari kemiskinan. Disisi lain, masalah pendidikan dan kesehatan, termasuk infrastruktur jauh dari harapan.”

Pria asal Kimaam, Merauke itu menambahkan, pemerintah telah memberi ribuan bantuan rumah. Tapi, semua itu belum cukup. “Karena banyak juga kasus dimana bantuan perumahan bagi rakyat diselewengkan. Kalau anggaran otonomi khusus itu benar-benar untuk sektor prioritas, saya kira semua orang Papua sudah punya rumah bagus.”

Menurut dia, bantuan perumahan perlu lebih digalakan. Rumah sehat, akan memberi kenyamanan bagi penghuninya, “Dan semuanya menjadi sehat untuk bisa bekerja dan sekolah dengan baik,” tuntasnya. ***

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *