Socrates Sofyan Yoman, seorang pendeta dan aktivis Papua. Ia aktif memperjuangkan kemerdekaan Papua. Pada 8 November 2004, dalam acara peringatan ulang tahun Universitas Cendrawasih, Jayapura, ia menyampaikan makalah berjudul ‘Pepera 1969 di Papua Barat Tidak Demokratis’. Bersama Tom Beanal, Thaha Alhamid, Willy Mandowen, dan Terrianus Yoku, ia juga pernah ke Amerika Serikat untuk melobi Kongres AS dan PBB agar sejarah Papua diluruskan. 

Yoman saat ini memimpin Gereja Baptis yang berpusat di Jayapura. Dia adalah tokoh gereja lokal, terkenal vokal terhadap sikap pemerintah. Apalagi saat Papua mengalami konflik pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, hal tersebut merupakan masalah yang sangat kompleks dan belum ada penyelesaiannya.

Perannya sebagai pendeta ditunjukkannya dengan mendengar dan terus mengajak umat membicarakan bagaimana masalah HAM diselesaikan. Ia tetap berharap masalah Papua diselesaikan hingga ke akar-akarnya.  

Sebagai orang Papua, Yoman ingin mempertahankan nasionalisme Papua.  Nasionalisme itu disimbolkan seperti sumur tua yang perlahan dikikis oleh arus peradaban dunia.

Yoman, pernah menjadi Dosen STT (Sekolah Tinggi teologi) Baptis, Dosen STT Izak Samuel Kijne Abepura, Pendeta Gereja Baptis Skyland, Jayapura, Pendeta Gereja Baptis Sentani, Pengurus The Fellowship of BaptistChurches of Papua dan terakhir sebagai Ketua Persekutuan Gereja Baptis Papua.

 

Penulis Buku

Isu Papua kerap masuk daftar buku terlarang. Yang terbaru, larangan lima buku oleh Kejaksaan Agung menjelang tutup tahun lalu. Salah satunya berjudul “Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” karangan Socrates Sofyan Yoman.

Keputusan itu cukup menyentak. Diterbitkan Reza Enterprise, beralamat di Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur, buku karya Socrates itu akan disita oleh kejaksaan bila beredar. Isinya, kata Kejaksaan Agung, dapat menganggu ketertiban umum.

Tak disebut detil bagaimana buku itu bisa berbahaya. Dalam keterangan kepada wartawan, Kejaksaan Agung menilai buku itu “merusak kepercayaan masyarakat atas pimpinan nasional, merugikan akhlak, memajukan percabulan dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan terganggunya ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan”.

Buku karya Socrates memang kerap disorot pemerintah. Calon doktor dari Sekolah Tinggi Teologia Waltepos, Jayapura itu, misalnya menulis “Orang Papua Bukan Separatis” pada 1999. Setahun kemudian, dia menulis lebih tajam: “Pintu Menuju Papua Merdeka”. Pada 2005, dia mengeluarkan judul “Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM.” Di tahun berikutnya, dia menulis lagi buku “Pepera 1969 Tidak Demokratis”.

Pada 2007, Socrates bersama Sem Karoba pernah menulis karya besar dengan judul “Pemusnahan Etnis Melanesia”. Kejaksaan sudah menarik buku ini dari peredaran. Pada 2008, lagi-lagi Yoman menerbitkan “Suara Bagi Umat Tertindas” yang juga ditarik dari peredaran oleh Kejaksaan Agung. Pada  2009, Socrates menuangkan gagasannya dalam; “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara”.

Buku-bukunya terdengar agak berat miring ke separatisme. Tapi Socrates mengelak tudingan itu. “Ini kritik gereja buat pemerintah,” ujarnya.

Isi bukunya, menyorot sejumlah kebijakan pemerintah. Socrates menuding kebijakan pembangunan nasional itu hanya dalih. “Pada kenyataannya adalah penjajahan secara sistematis,” katanya. 

Membaca buku Socrates, tampak ada semangat menampik sejarah Papua bersama Indonesia. Misalnya, dia mengatakan, dari dulu Papua memang ingin dan mau merdeka. “Nasionalisme dan ideologi Papua merdeka sudah lahir di dalam darah, dan jiwa setiap orang Papua.”

Dengan alasan itu, dia menolak disebut separatis. Menurutnya, Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa dan manipulasi.  “Ini berdasarkan dokumen yang saya selidiki sendiri di PBB pada 2001.” Sementara, dalam literatur sejarah nasional Indonesia, Pepera kerap dinilai penegasan rakyat Papua bergabung dengan Republik Indonesia.

SOCRATES

 

Dialog Jakarta-Papua

Socrates lahir di Tiom, Lanny Jaya pada 15 Desember 1969. Ia pendeta di Papua yang pernah berbicara dengan staf khusus Sekjen PBB pada Oktober 2011. 

Dalam visinya, Yoman selalu berbicara soal dialog sebagai jalan tengah penyelesaian masalah Papua. Menurut dia, akar persoalan yang sangat mendasar di Papua, bukan perihal kesejahteraan seperti yang didengungkan selama ini oleh elite politik. Tetapi lebih kepada masalah pelurusan sejarah Papua ke Indonesia.

“Dialog damai yang bermartabat antara Indonesia dan Papua tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga, itu solusinya,” cetusnya.

Ia mengatakan sejak 1961, telah banyak program yang berlaku di Papua hingga pada masa reformasi 1998. Pada tahun 1999 rakyat Papua meminta merdeka, namun yang diberikan oleh pemerintah pusat adalah otonomi khusus.

Baginya, Otsus seharusnya bisa memberikan keberpihakan, pemberdayaan dan perlindungan, bukan sebaliknya.

(Jerry Omona/JERAT/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *