Angin sepoi menerpa rerumputan di areal penjara berusia uzur itu. Dari kejauhan, terlihat begitu tak terurus. Dinding beton tinggi menjulang mengelilingi bui bekas pejuang Indonesia ditahan dulu.
Kompleks penjara yang dibangun bertahap itu, sudah ada ketika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan para tokoh perjuangan lainnya dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Digoel pada 1935.
Namun, Hatta tidak pernah ditahan di penjara tersebut. Hatta ditempatkan di sebuah rumah. Penjara Digoel merupakan bui tanpa bilik. Sebutan itu dianggap pas untuk menggambarkan kondisi Boven Digoel kala itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka yang dibuang ke sana.
Penjara Digoel terdiri dari beberapa bangunan tua. Ada yang dahulunya menjadi tempat petugas mencatat data administratif tahanan, juga sel bawah tanah. Bangunan itu kini lengang dan kusam. Kondisi sama juga dijumpai di bagian lain dalam kompleks penjara. Sebuah tembok berlumut kerak setinggi sekitar dua meter dengan kawat berduri di atasnya memisahkan halaman.
Di salah satu halaman, berdirilah bangunan yang difungsikan sebagai sel tahanan. Sebuah papan dari pelat logam terpasang di atas ambang pintu. Tertera tulisan angka 16. Artinya, ruang tahanan itu mampu menampung 16 orang sekaligus.
Ruangan itu kini kosong dan berdebu. Di salah satu pojok ruangan dekat pintu, terdapat semacam bilik dengan lantai berlubang. Itulah kakus tempat para tahanan dulu buang hajat. Untuk membersihkan kakus, biasanya para tahanan diberi tugas bergilir mengeluarkan kotoran melalui tingkap kecil yang membuka ke arah halaman. Sementara itu, dibagian penjara lain, ada beberapa sel dengan ukuran ruang bervariasi, mulai dari kapasitas 3 hingga 40 orang.
Kamp Digoel
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten Boven Digoel dikenal dengan sebutan Digoel Atas. Tempat ini merupakan wilayah pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Digoel Atas terletak di tepi Sungai Digoel Hilir.
Kamp Boven Digoel dipersiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan Pemberontakan PKI tahun 1926. Selanjutnya Boven Digoel digunakan sebagai tempat pembuangan pergerakan nasional dengan jumlah tawanan mencapai 1.308 orang. Daerah seluas 10.000 hektar itu berawa-rawa, berhutan lebat, dan sama sekali terasing. Satu-satunya akses menuju kamp adalah dengan menggunakan kapal motor melalui Sungai Digoel. Di sepanjang tepian sungai berdiam berbagai suku yang masih primitif. Karena sarana kesehatan tidak begitu lengkap, penyakit menular sering berjangkit, seperti malaria yang membawa banyak korban.
Tempat pembuangan tersebut terbagi atas beberapa bagian, yakni Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), kawasan militer yang juga menjadi tempat petugas pemerintah, dan Tanah Tinggi. Sewaktu rombongan pertama datang, Digoel sama sekali belum merupakan daerah permukiman. Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang yang sebagian besar dari Banten, diberangkatkan pada Januari 1927. Pada akhir Maret 1927, menyusul ratusan orang lain dari Sumatera Barat. Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah. Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.
Pada tahun-tahun pertama, ratusan orang meninggal karena kelaparan dan sakit. Penderitaan itu menyebabkan banyak orang buangan mencoba melarikan diri ke Australia. Mereka menggunakan perahu-perahu kecil buatan sendiri, tetapi sedikit saja yang berhasil. Sebagian terpaksa kembali, lainnya mati tenggelam.
Pada waktu Perang Pasifik meletus dan Jepang menduduki Indonesia, tawanan Boven Digoel diungsikan oleh Belanda ke Australia. Pemindahan itu didasari kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap di Boven Digoel. Diharapkan orang-orang Indonesia yang dibawa ke Australia akan membantu Belanda. Ternyata tahanan politik itu mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru. Setelah sekutu berhasil memperoleh kemenangan, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.
Terlupakan
Kini, kota yang memiliki nilai histori ini hampir terlupakan. Untuk mengenang sejarahnya, di Tanah Merah, dibikin sebuah patung bung Hatta yang terletak dekat bandara. Patung dan penjara Digoel menjadi satu satunya bukti penting, proklamator bangsa pernah berada disana. (JERAT/dari berbagai sumber)