REDD+ telah digulirkan. Sejauh mana perkembangannya di Papua?
REDD, Reducing Emission from Deforestation and Degradation atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan merupakan isu global yang butuh penyelesaian global. Isu ini pertama kali mencuat pada level internasional saat Conferences Of The Parties (COP)- sebelumnya disebut United Nation Framework Convention on Climate Change atau Earth Summit (Konferensi Bumi).
Awalnya, REDD yang kini menjadi REDD+, difokuskan pada isu stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (emisi) pada sektor industri. Di COP 13 Bali, yang diperkuat COP 15 di Kopenhagen, soal REDD kembali dibahas dengan begitu sengit. Meski demikian, COP 15 oleh banyak Negara dianggap gagal karena tidak memberi putusan yang diikat oleh hukum.
Selanjutnya, untuk mencegah timbulnya resiko secara sosial dan lingkungan dalam pelaksanaan REDD+, Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-16 UNFCCC di Cancun, Meksiko pada 2010, menetapkan kerangka pengaman (safeguards) REDD+ yang terdiri dari tujuh prinsip. Diantaranya; menghormati hak masyarakat adat dan lokal.
Dalam menerjemahkan mandat kesepakatan tersebut, Indonesia mengembangkan Prinsip, Kriteria dan Indikator Safeguards (PRISAI) REDD+ Indonesia melalui Satuan Tugas (Satgas) REDD+.
Di Indonesia, Papua di bagian timur adalah provinsi yang paling siap untuk melaksanakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Ini dimungkinkan karena dari 42 juta hektar, hutanPapua ternyata bisa menyimpan lebih dari 400 ton karbon bagi kelangsungan hidup di bumi.
Pada Konferensi perubahan Iklim di Denpasar Bali, 27 April 2007 lalu, Gubernur Papua ketika itu, Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat, Abraham Oktavianus Atururi bersepakat mengalokasikan 5 juta ha hutan Papua untuk mekanisme perdagangan karbon. Model ini akan memberikan semacam “reward” bagi setiap upaya pengelolaan hutan yang menjamin agar hutan tidak rusak atau pun punah. Namun sejauh mana perkembangannya, masih gelap.
Satu informasi penting dari usaha merealisasikan REDD di Papua adalah dengan dikeluarkannya peraturan Gubernur Barnabas Suebu pada bulan Oktober 2010 mengenai Pembentukan Gugus Kerja Pembangunan Rendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugas itu yakni untuk memastikan kepastian hukum mengamankan hak-hak masyarakat sesuai dengan prinsip pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC).
Kebijakan serupa juga dibuat Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi, bulan Maret 2011. Di bagian lain, diterbitkan pula Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No. 23/2008 mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDASUS No.21/2008 mengenai Pengelolaan Hutan Lestari. Regulasi ini diharapkan bisa mengakui hak-hak masyarakat Papua, serta memperkuat posisi masyarakat yang terimbas oleh rencana REDD+.
Kepala Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua, Noak Kapisa, pada empat hari Konferensi Keanekaragaman Hayati Internasional di Jayapura mengatakan, bersama dengan provinsi tetangga Papua Barat, Papua sedang menunggu otorisasi pemerintah pusat dan peraturan rinci mengenai mekanisme REDD. “Tentu saja, kami ingin kebijakan yang jelas dan peraturan kegiatan REDD serta insentifnya,” kata Noak.
Ia menjelaskan, Papua telah mengusulkan agar insentif dari kegiatan REDD, dialokasikan untuk masyarakat setempat.”Juga kepada orang-orang yang secara langsung terlibat dalam kegiatan REDD.”
Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan Manokwari, Ir. Thomas Nifinluri, MSc, pernah berujar, mekanisme REDD telah menempatkan masyarakat adat pemilik hutan sebagai mitra utama. Selain karena alasan kepemilikan, juga karena masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam kaitannya dengan pemanfaatan hutan secara lestari.
Namun ia tak menampik bahwa dibutuhkan negosiasi yang kuat untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam mekanisme REDD. Bagaimanapun, ketika mekanisme itu berjalan, selain mendapat kompensasi, masyarakat juga harus tetap memiliki akses kelola terhadap hutan alam, misalnya terhadap hasil hutan non kayu. “Jangan sampai REDD justru mengganggu mereka,” kata Thomas.
Hutan Papua
Papua ditutupi oleh hamparan terbesar hutan hujan tropis di Asia Tenggara. Hutan Papua meliputi lebih dari 42 juta hektar, atau 24 persen dari total kawasan hutan Indonesia yang tersisa. Sebanyak 85 persen dari hutan Papua diklasifikasikan sebagai hutan utuh, terdiri dari campuran antara Asia dan Australia yang unik.
Seperti Riau yang memiliki sekitar 700.000 hektar hutan dan Jambi 100.000 hektar untuk alokasi REDD, hutan Papua juga demikian. Negara maju selanjutnya akan memberihibah berbeda dari Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus skemanya. Komitmen itu sebelumnya merupakan bagian dari Kopenhagen Accord yang disepakati untuk menghadapi perubahan iklim. Indonesia sendiri diperkirakan akan memperoleh $ 4-5 miliar dana bagi pengurangan emisi dari hasil ‘menjual’ karbon.
Bantuan tersebut rencananya disalurkan secara bertahap dalam beberapa ketentuan, termasuk pembentukan dana perwalian dan pemilihan prioritas hutan. “Departemen Kehutanan telah menawarkan (hutan) di Papua, Kalimantan Timur, Riau dan Jambi. Kami akan pilih (hutan) bersama-sama dengan Norwegia,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, ketika itu.
Untuk mengawasi hibah US $ 1 miliar yang disediakan oleh Norwegia bagi pengurangan deforestasi, Indonesia mendirikan sebuah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). BRR, badan yang pernah merehabilitasi dana Nias dan Aceh setelah gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004. Lembaga ini dianggap efektif di mana korupsi dapat dicegah.
Selain Indonesia, Brasil juga menerima hibah dari Norwegia untuk mengurangi emisi. “REDD memungkinkan Negara berkembang mendapat banyak dana. Ini bagian dari upaya penyelamatan global,” ujar Rob Law, Third Secretary (Economic) dalam Lokakarya ‘Memahami Perubahan Iklim: Panduan Jurnalis untuk Meliput’ di Jakarta.
Menurutnya, REDD bukan hanya masalah bagaimana memberi hibah pada Negara pemilik hutan saja. REDD bahkan lebih pada masalah ekonomi. Dimana ada begitu banyak uang yang dikelola yang memungkinkan terjadinya korupsi. “Dengan demikian, problem perubahan iklim bukan masalah sebuah Negara saja, ini persoalan global yang membutuhkan tanggungjawab bersama,” tuturnya.
Tidak berbeda jauh, Neil Scotland, Coordinator, Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership mengatakan, bahwa soal REDD, ada sesuatu yang memang sangat pelik untuk dijawab. Jika REDD adalah masalah ketergantungan Negara berkembang pada Negara maju, tentu tidak tepat untuk disimpulkan. “Karena jelas, dari banyak data, penghasil emisi terbesar saat ini ada pada negara maju, tentu masalah perubahan iklim adalah persoalan bersama.”
Memang benar apa yang dikatakan keduanya. REDD bukan hanya masalah ‘merah’ oleh masyarakat adat, tapi bagaimana hutan bisa dijaga untuk penyelamatan umat manusia. “Jika Indonesia dan Negara berkembang yang memiliki hutan mau berpikir untuk hidup manusia kelak, mau tidak mau, hutan saat ini perlu dijaga,” cetus Jenny Dee dari kedutaan besar Australia.
Perubahan iklim yang melahirkan skema REDD+ atau mungkin dengan pendapat yang berbeda, jelas bukan soal memberi hibah. Perubahan iklim dan REDD+tak juga bisa diselesaikan dengan hanya menerbitkan Peraturan Daerah terhadap pelarangan keluar kayu log dari hutan. Masalah perubahan iklim mencakup banyak hal yang sulit diuraikan dengan mudah.
Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan perawan tentu harus ikut bertanggunggung jawab meski sepanjang 60-an bukan sebagai Negara penghasil emisi terbesar. Penandatanganan letter of intent (LOI) antara Indonesia dan Norwegia untuk mengurangi deforestasi di Indonesia menjadi awal yang baik bagi hidup bangsa-bangsa di dunia.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)