Kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua terus berulang, pola kekerasan cenderung sama dan berulang; penggunaan pendekatan keamanan yang militeristik, seperti pembakaran, penyisiran ke rumah – rumah warga dengan cara yang intimidatif, diikuti dengan penangkapan, penahanan sewenang – wenang, penyiksaan dan penembakan kilat [diluar prosedur hukum], penggunaan kekuatan [senjata api] secara berlebihan, pembubaran aksi damai disertai kekerasan, penangkapan dan penahanan. Selain itu, masih terjadi stigmatisasi terhadap masyarakat Papua sebagai “separatis” atau “pengacau” dan sebagainya, sehingga dianggap layak untuk dikriminalisasikan.

Peristiwa dan pola kekerasan diatas, diantaranya terjadi di kepulauan Yapen, pada Februari 2014, dimana kontak senjata antara TNI/Polri dengan TNPB [Tentara Nasional Pembebasan Papua] mengakibatkan 3 anggota TNI/Polri dan warga sipil mengalami luka tembak. Peristiwa ini menjadi alasan bagi TNI/Polri untuk melakukan penyisiran sehingga membuat warga ketakutan, dan membuat warga di 7 [tujuh] kampung harus mengungsi ke dalam hutan. Selain penyisiran, TNI/Polri juga melakukan kekerasan berupa pemukulan terhadap sejumlah warga yang diduga merupakan anggota TNPB, dan melakukan pembunuhan diluar proses hukum terhadap Rudi Orarei. Pendekatan serupa juga terjadi dalam peristiwa di Pasar Yosefa, pembubaran tindak pidana perjudian di Pasar Yosefa pada 2 Juni 2014 yang mengakibatkan kematian 2 orang anggota polisi, berujung dengan penyisiran di sekitar pasar dan pemukiman warga, yang mengakibatkan 3 [tiga] orang meninggal dunia. Peristiwa penyisiran dan pembakaran serupa juga terjadi di Kabupaten Lani Jaya pada Juli 2014.  

Dalam catatan KontraS, sepanjang tahun 2014 [Januari – Agustus], setidaknya telah terjadi 66 [enam puluh enam] peristiwa kekerasan; 26 [dua puluh enam] peristiwa dilakukan oleh anggota POLRI, 6 [enam] peristiwa oleh pihak TNI, dan 21 [dua puluh satu] peristiwa dilakukan oleh OTK. Pada Januari – Desember 2013, setidaknya terjadi 110 [seratus sepuluh] peristiwa kekerasan dengan jumlah korban sebanyak 518 [lima ratus delapan belas] orang; 28 [dua puluh delapan] peristiwa dilakukan oleh anggota POLRI, 16 [enam belas] peristiwa dilakukan oleh anggota TNI, dan 33 [tiga puluh tiga] peristiwa dilakukan oleh orang tak dikenal [OTK].

Terus berlangsungnya praktik-praktik kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, khususnya yang dilakukan oleh pihak TNI/POLRI, harus menjadi catatan penting Pemerintahan Jokowi – JK untuk segera mencari solusinya. Upaya mendorong dialog damai Papua yang telah digagas oleh Pemerintahan sebelumnya harus dijadikan prioritas utama Pemerintahan Jokowi – JK dalam 100 [seratus] hari pertama masa kerjanya, termasuk dengan memilih Menkopolhukam ataupun pejabat publik yang kompeten, mengerti masalah dan solusi penyelesaian Papua, dan bebas dari rekam jejak pelanggaran HAM, yang nantinya akan bertanggungjawab dalam menangani persoalan Papua.

Sebelumnya LIPI dan sejumlah organisasi sipil yang memiliki kepedulian terhadap persoalan Papua telah merekomendasikan pemerintahan Jokowi – JK untuk melakukan penyelesaian Papua melalui pendekatan dialog damai.

Berdasarkan pada hal – hal tersebut diatas, kami mendesak pemerintahan Jokowi – JK untuk memprioritaskan penyelesaian persoalan di Papua, dengan melakukan agenda agenda prioritas sebagai berikut:

  1. Permintaan maaf dari pemerintahan Jokowi – JK terhadap masyarakat Papua, mengingat bahwa konflik yang terjadi di Papua sudah berlangsung cukup lama, mengakibatkan banyaknya hak–hak masyarakat Papua yang dilanggar, dan tidak sedikit korban jiwa dari masyarakat sipil akibat dari konflik yang berkepanjangan di Papua;
  2. Pemerintah secara aktif bersama masyarakat Papua membangun komunikasi untuk melakukan dialog dan solusi damai untuk Papua;
  3. Memastikan tindak lanjut penyidikan Pelanggaran HAM berat Wasior – Wamena di Kejaksaan Agung, mengimplementasikan pembentukan Pengadilan HAM dan KKR, sebagaimana dimandatkan dalam UU No 21 Tahun 2001 Tentang  Otsus Papua;
  4. Penghapusan stigma separatis terhadap orang Papua dan stigma penjajah terhadap pemerintah;
  5. Pemberian amnesti untuk semua tahanan atau narapidana politik [Tapol/Napol] sebagai tanda itikad baik dari pemerintah;
  6. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh anggota TNI/POLRI maupun kelompok sipil bersenjata;
  7. Membuka ruang yang seluas–luasnya bagi jurnalis, peneliti, aktivis dan organisasi Internasional untuk masuk ke Papua;
  8. Optimalisasi tata kelola pemerintahan yang baik di seluruh Papua;
  9. Penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah;
  10. Pemerataan dan perbaikan sektor pelayanan kesehatan, terutama bagi ibu – ibu hamil di daerah – daerah terpencil di Papua;
  11. Perbaikan dan pemerataan sektor pendidikan, terutama pendidikan dasar di seluruh Papua;
  12. Pengakuan terhadap hutan adat sebagai milik rakyat di tanah Papua;
  13. Memberikan jaminan akan hak demokratik rakyat Papua yang seluas-luasnya untuk berkumpul, berorganisasi, berekspresi, berideologi seperti yang dijamin oleh konstitusi;
  14. Memastikan adanya akuntabilitas dan kordinasi operasi keamanan di Papua.

Jakarta, 17 Oktober 2014

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia [ELSHAM] Papua, Nasional Papua Solidaritas [Napas], Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], Komite Persiapan Federasi Mahasiswa Kerakyatan (KP-FMK)  dan Biro Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan [KPKC] Sinode GKI di Tanah Papua, Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM di Papua

Sumber : http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1960

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *