TREND ANALISA LINGKUNGAN : Tanah Papua sebuah wilayah yang dulu dikenal sebagai West Papua atau Irian Jaya saat jaman Orde Baru. Tanah Papua terbagi atas 2 provinsi yakni Papua dengan ibukota Jayapura dan Papua Barat dengan ibukota Manokwari. Provinsi Papua mempunyai luas 317.062 km2 sementara untuk Provinsi Papua Barat dengan luas 115.363,5 Km2 sehingga totalnya adalah 432.425,50 Km2 atau seluas 43.242.550 Ha dengan total jumlah penduduk di kedua provinsi tersebut adalah 3.593.803 jiwa. Tanah Papua dengan mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah baik didarat maupun di laut. Keanekaragaman hayati yang ada baik berupa flora dan fauna menambah eksotisme Tanah Papua. Burung Cenderawasih, Kangguru Pohon, Kakatua Raja, Kasuari, Maleo, Ikan Arwana,  dan masih banyak lagi . Untuk flora tentu saja siapa tidak kenal dengan Anggrek Hitam . Terdapat juga hasil hutan berupa kayu yakni kayu Gaharu, Kayu Merbau, Kayu Meranti dan masih banyak lagi. Sebaran sumber gas dan mineral memenuhi peta Papua. Keberagaman suku yang mencapai 253 suku dan tentu juga mempunya keberagaman adat istiadat masyarakat adat Papua.

Menurut Malcoln dan Mansoben(1987; 1990) membagi sebaran kelompok etnik yang beraneka ragam di Papua tersebar pada empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal & Riverine, (2) Zona Ekologi Daerah Pantai atau Coastal Lowland Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and Small Valleys, dan (4) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands.

Pertama kali eksploitasi di Tanah Papua dilakukan secara besar-besaran adalah saat keluarnya UU No 1 /1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang memberikan peluang para investor kapitalis untuk masuk ke Indonesia melalui perusahaan-perusahaan mereka. Pintu ini dipakai juga oleh Perusahaan PT.Freeport McMoran yang melakukan ekploitasi di kawasan terlarang suku Amugme , karena

Dengan terbuka kran ini maka berlomba-lomba para investor kapitalis untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di seluruh wilayah Indonesia. Tanah Papua juga tidak luput dari incaran mereka. Bahkan ditengarai juga integrasi wilayah Tanah Papua (dulu dikenal dengan West Papua / Papua Barat) ke Indonesia adalah juga karena adanya potensi sumber daya alam yang melimpah.

Namun dengan menguatnya faham neoliberalisme dan neokapitalisme, maka SDA di Tanah Papua menjadi sasaran empuk para cukong yang hendak mengambil potensi SDA yang melimpah. Pulau Sumatera telah habis dijarah oleh perusahaan Trans National Cooperation (TNC) dan perusahaan Nasional.  Berdasarkan hasil Riset JERAT Papua  ditemui puluhan perusahaan perusahaan tambang yang beroperasi misalnya PT. Golden Era Sentosa , PT. Elsatri Putrindo, PT. Pinggan Matio, PT. Putra Mapan Ros Jaya yang semuanya mendapatkan ijin di Kab. Sarmi. Demikian pula untuk untuk perusahaan perkebunan sawit diantaranya PT. Gaharu Prima Lestari , PT. Daya Indah Nusantara, PT. Musim Mas , PT. Dharma Buana Lestari. Untuk perusahaan HPH sebut saja PT. Wapoga Mutiara Timbre (WMT), PT. Bina Balantak Utama, PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II, PT. Salaki Mandiri Sejahtera dan masih banyak lagi.

Setelah menjarah Sumetera, maka pindahlah mereka ke Kalimantan maka para pengusaha mengalihkan ataupun menanamkan modal ke Papua.  Teringat seorang kawan dari Dayakologi mengingatkan bahwa para kapitalis TNC kini sedang menyiapkan skema untuk menghisap SDA di Papua, setelah Sumatera dan Kalimantan dijarah oleh mereka. Apakah memang seperti itu ? Mari kita simak data-data dibawah ini : 

  • Pertambangan
    Pada sektor Pertambangan, pada sektor tentu saja kita mengenal “raksasa” tambang seperti  PT Freeport Indonesia (PT. FI) yang telah beroperasi sejak tahun 1970-an hingga sekarang memerlukan lahan  sebesar 2,6 juta Ha. Sementara untuk Papua Barat  terdapat konsensi tambang, batubara, mineral dan gas sebanyak 17 perusahaan dan memerlukan lahan seluas 9.865.701,1 Ha. PT British Petroleum (BP) Tangguh yang beroperasi di wilayah Bintuni, memerlukan lahan seluas 3.416 Ha. Sementara sebanyak 13 perusahaan Minyak dan Gas yang beroperasi di Papua Barat memerlukan 7.164.417,83 Ha. Sehingga luasan ijin kesemuanya adalah
  • HPH/IUPHHK-HA dan Kelapa Sawit
    Hingga saat ini ditengarai terdapat 21 perusahaan yang telah mendapatkan ijin di Papua dan Papua Barat dengan luasan mencapai 5.202.478 Ha. Untuk perkebunan Kelapa Sawit hingga tahun 2012 terdapat 2.064.698 Ha dengan 19 perusahaan yang telah mendapatkan ijin.
  • MIFEE
    Dalam upaya menjemput peluang investasi yang mencari tempat untuk menjajakan kakinya maka terdapat Program Nasional yang disambut oleh Pemerintah Daerah yakni Merauke Integrated Food Enery Estate (MIFE) yang ditengarai memerlukan lahan 1.616.234 Ha yang meliputi Kabupten Merauke, Mappi dan Boven Digul. Dari sebuah website online bahwa akan terdapat proyek agroindustri raksasa MIFEE yang menjadi program pemerintah. Proyek MIFEE diresmikan pada tahun 2010 oleh Menteri Pertanian Suswono, yang didukung oleh sejumlah kebijakan, diantaranya Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Saat ini proyek tersebut mencakup wilayah 2,8 juta hektar, lebih dari separuh wilayah Merauke seluas 4,5 juta ha. Beberapa perusahaan yang beroperasi adalah MEDCO , RAJAWALI, KORINDO, DAEWOO INTERNATIONAL COOPERATION, CENTRAL CIPTA MURDAYA, WILMAR INTERNASIONAL, ASTRA AGRO LESTARI, MAYORI GROUP, GANDA GROUP, CHINA GATE AGRICULTURE DEVELOPMENT, TEXMACO, MORIM. Sementara beberapa perusahaan yang telah tidak aktif adalah Kertas Nusantara , Sumber Alam Sejahtera, State Owned Company, Bangun Cipta Sarana, Modern Group, Comex Indo, Technix Capital. 
  • MP3I
    Sementara itu Program Master Plan Percepatan Pembanguna Ekonomi Indoesia atau yang dikenal sebagai MP3I  tentu akan membutuhkan lahan besar dalam mendorong upaya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbagi dalam 6 koridor. Maluku Papua dan Papua Barat termasuk dalam kawasan Koridor 6.  Salah satu langkah untuk mengangkat Indonesia agar menjadi 12 kekuatan besar di dunia pada tahun 2025 dan 8 besar pada tahun 2045 melalui perkembangan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah menerbitkan MP3I dengan strategi utama yakni menuju Negara maju yang lebih sejahtera melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2025. Melalu kebijakan MP3EI, maka cetak biru pembangunan di republik ini bisa dipaparkan pada investor atau  pemilik modal baik asing maupun dalam negeri. Dan ini terkesan MP3I hanyalah etalase yang memajang potensi SDA yang tersisa di Indonesia untuk dijual kepada investor semata. Dan yang pasti akan berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat adat selaku pemilik tanah dan apapun yang terdapat di atas maupun didalamnya.

    Sehingga total luasan investasi diatas dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
    Tabel 1

tebell 155

Artinya lebih dari separuh luasan tanah Papua telah dikapling oleh 155 perusahaan yang mengambil lahan seluas 25.527.497 Ha. Itu belum termasuk data perusahaan tambang tembaga , nickel dan timah yang beroperasi. Beberapa dampak yang timbul akibat masuknya para investor adalah :

  • Konflik Hak Atas Sumber Daya Alam
  • Konflik Pelepasan Tanah Adat
  • Konflik horizontal antar marga terhadap kepemilikan hak ulayat.
  • Perampasan tanah yang dilakukan investor
  • Masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat hanya dijadikan obyek dalam proses pembangunan dan investasi.
  • Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Alam
  • Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit, pertambangan dan logging.
  • Marginalisasi masyarakat adat yang hanya dijadikan sebagai obyek dalam perijinan investor.

Kebijakan pembangunan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang cenderung sepihak serta tidak  melibatkan masyarakat adat alam pengambilan keputusan tentu saja mempunyai dampak. Dari dulu hingga sekarang terdapat konflik-konflik yang terus terjadi dan jarang sekali mendapatkan penyelesaian yang bermartabat dan jujur bagi masyarakat adat. Hingga sering sekali kita mendengar bahwa pada Primida terbalik , dua titik sudutnya adalah pemerintah dan pengusaha sementara sudut yang menghadap kebawah adalah masyarakat maupun masyarakat adat.

Padahal posisi masyarakat adat dalam komunitas internasional telah diakui. Dengan dikeluarkannya Deklarasi PBB untuk Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Pribumi dan didalamnya terdapatnya beberapa point terkait dengan penentuan nasib sendiri dan juga dalam rangka menjaga keberlangsungan masyarakat adat lingkungannya ada yang disebut Free, Prior,Informed and Concent (FPIC) atau persetujuan bebas tanpa paksaan. Dimana posisi   masyarakat adat berhak menentukan apakah suatu proyek pembangunan dapat dilaksanakan atau ditolak atau mereka menentukan syarat-syarat untuk pelaksanaan proyek tersebut melalui pengambilan keputusan lewat musyawarah adat. Sehingga dengan demikian dalam proses pembangunan keterlibatan masyarakat adat mendapatkan ruang secara penuh , demokratis dan bermartabat. Namun penerapan FPIC jauh dari ideal. Sehingga cenderung terjadi perampasan tanah adat demi dan untuk pembangunan.

Upaya untuk mengambil kembali Hak Ulayat Tanah Bagi Masyarakat Adat telah dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat bersama pegiat lingkungan lainnya dengan melakukan gugatan kepada Mahkamah Konsitusi (MK) dan berhasil memenangkan gugatan yakni dengan keluarnya keputusan MK No 35 yang telah mengakui keberadaan hutan adat yang bukan bagian dari hutan negara. Implikasinya secara yuridis adalah tidak semua hutan yang dikuasai negara menjadi milik negara tapi juga bisa jadi menjadi milik masyarakat adat. Namun walau telah ada keputusan MK, tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hingga saat ini keputusan tersebut masih mengawang-awang . Walau Mahkamah Konsitusi telah memenangkan perkara terhadap pemisahan Hutan Adat dan hutan Negara. Namun tidak ada yang berubah dari sikap pemerintah.  Mengutip pernyataan kata Deftri Hamdi, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu yang dilansir sebuah situs berita lingkungan mengatakan   sepertinya pemerintah daerah terkesan banyak menunggu instruksi dari Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang nyata- Perubahan lingkungan dengan adanya limbah-limbah hasil ekstrasi dan proses pertambangan.  Hutan yang dulunya jadi tumpuan masyarakat adat.

Dengan kondisi diatas sehingga perlu dilakukan upaya kongkrit oleh semua pihak untuk menyelamatkan manusia dan hutan Papua dari ancaman koorperasi nasional dan internasional yang semakin menggeliat untuk mencaplok SDA di Tanah Papua.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *