Bank ikan di Pulau Wayag-webHembusan angin terdengar menerpa pepohonan rimbun di pulau Wayag, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Pulau kosong tak berpenduduk. Dari kejauhan, Pulau Wayag terlihat begitu indah. Pantainya bersih. Ada sebuah dermaga kayu tempat bersandar sampan kecil. Tak terdengar kicauan burung atau jangkrik.

Wayag terdiri dari gugusan pulau-pulau karst terjal berbentuk mirip piramida dengan ujung runcing. Air bening mengelilingi pulau berwarna kebiruan. Sejauh mata memandang, Wayag laksana surga yang jatuh ke bumi. Bermain di pantai Wayag, pelancong akan ditemani ikan hiu jinak. Ada tiga ekor hiu dengan mulut runcing siap memangsa. “Tapi mereka tidak memakan manusia,” ujar Abraham Goram Gaman. Abraham dulunya sebagai Koordinator Humas dan Penjangkauan Conservation International (CI) Indonesia.

Untuk mencapai Pulau Wayag, pelancong harus menempuh perjalanan jauh dari Kota Sorong menyinggahi Waiwo atau Waisai. Sekitar tujuh jam menyewa speedboat atau kapal cepat. Kocek yang dikeluarkan tidaklah murah. Sekali jalan, Rp10 juta hingga Rp20 juta. Ada alternatif lain mengunjungi Wayag, yakni menggunakan kapal nelayan atau perahu murah. Biayanya terjangkau. Hanya sehari perjalanan pergi.

Pulau Wayag memiliki ‘bank ikan’ dengan ribuan jenis. Salah satunya ikan Bawel, begitu sebutan Suku Kawe. Ikan tersebut hidup dilaut dangkal dengan cara bergerombol. Penyu dan Hiu Kalabia adalah salah satu satwa yang bisa ditemukan di Wayag. Kalabia merupakan endemik perairan laut Teluk Cenderawasih dan Teluk Triton. Uniknya, Hiu dari genus Hemiscylliidae ini dapat berjalan dengan siripnya ketika mencari makan di dasar laut. Ada dua jenis Kalabia yakni Hemiscyllium Galei diambil dari nama Jaffrey Gale dan Hemiscyllium Henryi, dari nama Wolcott Henry. Kalabia hanya memakan hewan kecil dasar laut seperti kerang. Bentuk giginya tumpul, gunanya untuk memecah cangkang kerang.

Selain Walking Shark, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 2007 menemukan pula sejumlah jenis hiu lain dengan keunikan masing-masing di Raja Ampat. Diantaranya Melanotaenia Synergos, dari nama Synergos Institute sebagai penghargaan atas pemenang lelang Peggy Dulay, Corythoichthys Benedetto dari nama mantan Perdana Menteri Italia Benedetto Craxi, dan Pterois Andover yang merupakan pilihan nama dari Sindhucajana Sulistyo.

Orang Kawe, sebagai suku asli Pulau Waigeo dan empunya kawasan Wayag, sangat menghormati keberadaan hiu. Ikan besar itu dianggap penting untuk menjaga kesehatan laut. Pencurian hiu dalam jumlah besar pada dua tahun lalu, merupakan pukulan telak bagi mereka. Perburuan hiu dilakukan oleh nelayan dari luar Raja Ampat di sekitar Pulau Sayang dan Piai di Kawasan Konservasi Perairan Waigeo Barat. Puluhan Hiu dibunuh dan diambil siripnya untuk dijual pada 30 April 2012.

Para nelayan perusak itu sempat ditahan oleh patroli gabungan masyarakat adat Kampung Salio dan Selpele serta Pos Angkatan Laut Waisai. Dari tujuh kapal yang digunakan pembunuh Hiu, satu kapal berasal dari Buton, dua dari Sorong, dan empat lainnya dari Kampung Yoi, Halmahera.

Pihak berwenang berhasil mengamankan barang bukti berupa sirip hiu, bangkai ikan hiu, pari, dan teripang. Diperkirakan nilainya mencapai Rp1,5 miliar. “Untuk mengantisipasi tidak terulangnya pencurian di kawasan konservasi, kita mengintensifkan pengawasan bersama dengan Orang Kawe, tiap hari ada patroli, biasanya empat lima orang memantau,” ucap Goram.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Australian Institute of Marine Science pada tahun 2010 di Palau, seekor hiu karang diperkirakan memiliki nilai ekonomis tahunan Rp1,6 miliar dan nilai seumur hidup Rp 17,5 miliar untuk industri pariwisata. Kawasan Raja Ampat memiliki potensi pariwisata hiu sebesar Rp165 miliar per tahun. Diperkirakan menyumbang pendapatan bagi daerah hingga Rp2,5 miliar per tahun.

 Jalur Koordinasi

Suku Kawe mempunyai jalur koordinasi yang begitu baik dalam kontrol laut. Menunjang itu, dibentuk tim khusus yang siap diturunkan sewaktu-waktu. Tim ini dibentuk oleh CI berdasar kesepakatan bersama masyarakat. Enam sampai tujuh orang ditempatkan di markas CI di Pulau Wayag. Mereka digaji perorang Rp50 ribu/hari. Satu tim biasanya berjaga beberapa hari. “Nanti bergantian, kita akan pulang dan orang dari kampung datang menggantikan,” kata Suban Kelen, anggota tim.

Kawasan Konservasi Laut Daerah Kepulauan Wayag dan Sayang ditetapkan oleh Bupati Raja Ampat melalui Peraturan Bupati nomor 66 tahun 2007. Kawasan itu dimiliki secara turun temurun oleh suku Kawe. Sejak enam tahun lalu, suku Kawe secara adat telah menyatakan area seluas 155.000 hektar di Wayag dan Sayang tertutup untuk kegiatan penangkapan ikan. Tujuannya untuk membangun ‘bank ikan’ bagi perairan sekitar yang merupakan sumber mata pencarian bagi mereka. “Ini laut kita, saya ikut karena tidak mau ada pencurian ikan,” kata Constan Burdam, anggota tim dari Suku Kawe.

Ia mengatakan, sejak 2008, jarang nelayan luar masuk ke perairan Wayag. Jikapun ditemui, langsung diusir.

Selain pos jaga, tiap nelayan Kawe bertanggungjawab melaporkan ke pos Wayag bila menemukan kapal asing. “Baru-baru kita dapati juga nelayan luar, sepertinya mau mengambil ikan, waktu kita kejar, mereka lari,” ucapnya.

Asal mula penjagaan sudah dilakukan turun temurun oleh Suku Kawe. Dahulu, kalau didapat seseorang mencuri, diberi sanksi denda. Denda bisa berupa harta benda dan perahu disita. Saat itu, penjagaan tidak dilengkapi dengan peralatan modern. Perahu digunakan masih memakai dayung. Perlindungan laut secara tradisional berlangsung hingga masuknya CI.

Mengetahui begitu mudahnya perusakan laut, ditetapkanlah pemberlakuan Sasi. Yakni pelarangan terhadap pengambilan biota laut. Setelah Sasi dipasang, Orang Kawe mencari ikan hanya di teluk.

Upacara pemasangan Sasi melibatkan ratusan orang. Misalnya di Pulau Waigeo. Penduduk dari seluruh kampung akan datang mengikuti. Orang ramai bernyanyi dan berdoa kepada alam agar laut dan isinya dilindungi. Upacara adat tutup sasi ditandai dengan diikatnya pucuk daun kelapa muda pada sebuah kayu dan ditanam dibatas areal terlarang. Sementara sebutan bagi buka sasi, yakni mengangkat tanda sasi sebagai sinyal larangan tidak berlaku lagi. Sasi di Pulau Misool berlaku enam bulan. Di Waigeo, jauh lebih lama hingga setahun.

Di Misool, tradisi Sasi dimulai dengan rapat adat di tempat ibadah, seperti Mesjid ataupun di Gereja. Tokoh adat, kepala desa dan warga menyiapkan sejumlah sesaji untuk menandai tradisi itu. Sesaji terbuat dari pohon ketapang yang dihias dengan rempah – rempah dan kertas warna. Hiasan pohon ini dipercaya sebagai lambang kemakmuran. Setelah dilakukan doa bersama, pohon diarak dan ditancapkan di bibir pantai.

Dimasa kini, ritual Sasi jauh berubah. Pejabat daerah, kepolisian, anggota DPRD dan tokoh masyarakat diundang. Ritual adat berbelok ke acara resmi pemerintah.

Selain Sasi, pelarangan mengambil ikan dengan alasan konservasi, ikut pula diterapkan. Mirip Sasi, namun larangan ini mensyaratkan aturan ketat untuk tidak boleh mengambil seluruh hewan laut. Aturan Sasi ini dan pelarangan mengambil ikan dengan alasaan kelestarian, kerap berbenturan. Di Kampung Fafanlap, Distrik Misool Selatan, Raja Ampat, warga tidak sepenuhnya menerima adanya konservasi. Wilayah itu ‘dikuasai’ oleh The Nature Conservancy (TNC). Satu lembaga non pemerintah yang juga ikut menjaga laut Raja Ampat.

TNC dan CI (Conservation International) bekerja sama untuk beberapa pekerjaan perlindungan satwa. CI bekerja di wilayah seluas 183.000 km di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kaimana, Selat Dampir, Teluk Mayalibit, Ayau dan Pulau Wayag. Sementara, TNC membantu pemerintah lokal dalam merancang rencana pengelolaan dan zonasi untuk dua Kawasan Konservasi Laut (KKL) yaitu Kofiau dan Misool, yang resmi berdiri pada bulan Desember 2006. TNC memulai kemitraan dengan Pemerintah Indonesia melalui pengenalan perencanaan pengelolaan partisipatif di Taman Nasional Lore Lindu dan Komodo di tahun 1991 dan 1995.

Selain perlindungan yang dikerjakan dua lembaga internasional tersebut, pemerintah sendiri telah menetapkan laut sekitar Waigeo Selatan, yang meliputi pulau-pulau kecil seperti Gam, Mansuar, kelompok Yeben dan kelompok Batang Pele, sebagai Suaka Margasatwa Laut. Menurut SK Menhut No. 81/KptsII/1993, luas wilayah ini mencapai 60.000 hektar.

Benturan antara Sasi dan pelarangan konservasi datang akibat syarat pelestarian yang begitu berat. “Kadang, wilayah adat Sasi masuk dalam kawasan konservasi, begitu juga sebaliknya, itu membuat warga mengeluh tidak bisa mencari, padahal kita hidup dari ikan,” kata Safee Al Hamid.

Ia berharap ada keringanan bagi warga asli memancing secukupnya di kawasan konservasi. “Jangan dilarang, karena kita sejak dulu hidup dari laut,” ujarnya lagi. ***

Penulis : Jerry Omona

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *