Mulutnya bergetar. Ia menangis saat mengenang peristiwa penjeblosan dirinya ke dalam peti kemas berisi kotoran manusia.

Namanya Yosepha Alomang (70 tahun), perempuan asli Suku Amungme. Asalnya dari Mimika — lokasi PT Freeport Indonesia. “Saya selalu berdoa, ampuni mereka yang berbuat dosa kepada saya,” kata Mama Yosepha sambil menahan derai air mata.

 Yosepha memiliki 6 cucu. Selama hidupnya membela Hak Asasi Manusia (HAM) di Timika, sudah lebih dari 18 kali ia dijebloskan ke penjara. “DOM masih berlaku di Papua,” ujarnya.

Puncak dari ketegangan perjuangannya yakni disaat dirinya dan 15 perempuan lain berdiri didepan untuk melindungi gereja ketika Bendera Bintang Kejora berkibar di Gereja Katolik Tiga Raja Timika tahun 1994. “Dalam benak saya saat itu, hanya untuk menyelamatkan gereja agar tidak dibakar oleh aparat,” ucapnya lirih mengenang kisah perjuangannya.

Karena aksinya itu, aparat keamanan lalu menangkap Yosepha diikuti 15 perempuan lain. “Saya dituduh terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM). Saya dituduh melindungi Kelly Kwalik. Aparat lalu mengurung saya selama seminggu dengan kotoran manusia setinggi lutut didalam kontainer,” ceritanya.

 Ia ditahan tanpa makan dan minum. “Kontainer itu bagaikan pemanggang. Didalam kontainer itu juga kami hidup tanpa udara, hanya ada bau kotoran manusia.”

Dalam pengasingannya, Yosepha mendengar bahwa lima rekannya yang ikut ditahan sudah “menghilang”. “Sekarang hanya tinggal saya saja. Beberapa waktu lalu, Mama Yuliana meninggal dengan usia mencapai 80-an tahun.”

Dalam pikiran Yosepha saat itu, jika saja dia berpendidikan tinggi, mungkin saja ia tidak ditahan akibat aksinya. “Namun saya tidak memiliki ide lain. Saya hanya masyarakat biasa yang tidak bisa baca-tulis. Saya hanya mau melindungi masyarakat Papua dan gereja saya. Apakah pantas jika saya disebut OPM?”

Mama Yosepha selalu berpedoman; Indonesia berideologi Pancasila, yang isinya kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun mengapa Indonesia masih terus menipu rakyat Papua? Mengapa Indonesia masih membunuh rakyat Papua? “Penerapan Pancasila untuk rakyat Papua belum ada. Saya tidak pintar, tidak memiliki ilmu yang bagus, tapi saya punya perasaan.”

Tahun 1999 Mama Yosepha mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien. Penghargaan itu menurut Yosepha merupakan beban berat untuk dirinya. Beban persoalan HAM yang tidak hanya ditangani di Timika dan Papua, namun juga di berbagai belahan Negara di dunia. Termasuk pula Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Setiap hari, selama 24 jam, banyak istri yang ditinggal oleh suaminya. Para istri itu terus berdatangan ke rumah Mama Yosepha. “Kondisi mereka lemas, menangis, menggendong dan juga menggandeng anaknya. Keluhan mereka sama, ditinggal, dipukul, dan tidak dinafkahi oleh suami.”

Peraih Anugerah Lingkungan Goldman dari pemerintah Amerika pada tahun 1999 itu menambahkan, awalnya ia tidak paham apa yang dimaksud dengan KDRT. Namun dengan banyaknya perempuan asli Papua yang datang ke rumahnya, maka dia pun mulai mengerti.

“Seperti di Timika, sumber uang adalah Freeport. Banyak laki-laki kawin lagi dari uang Freeport. Banyak juga yang mereka gunakan di lokalisasi di Timika, yang biasa disebut dengan Kilo 10. Saya kecewa, saya merasakan kesusahan mereka,” kata ibu dari enam orang anak ini.

Yosepha Alomang kelahiran 1940 di Kampung Tsinga, sekitar 20 kilometer sebelah timur Tembagapura. Ia masih terus melakukan perlawanan terhadap Freeport. “Freeport saya punya, emas juga saya punya, mereka hanya datang untuk mencari uang.”

Menurut dia, Freeport masuk ke Papua tanpa ijin. Indonesia hanya mau mengambil gunung emas. Pada tahun 1997, ia pernah mengajukan tuntutan perdata terhadap Freeport McMoran Copper & Gold di Amerika Serikat dan menuntut ganti rugi untuk kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkan perusahaan raksasa itu.

Yosepha mengungkapkan, meski PT Freeport menghasilkan sejuta emas, tapi sampai hari ini, tidak ada satu pun anak Amungme dan Komoro, sebagai pemegang hak ulayat atas Freeport menempati jabatan strategis di perusahaan tambang itu. “Yang ada hanya tukang masak, babat rumput dan security.”

Dana satu persen yang diklaim Freeport juga tak memberikan dampak apapun. “Saya belum pernah lihat uangnya, yang ada, Freeport hanya menawarkan orang Amungme jadi security,” jelasnya.

Perjuangan Mama Yosepha melawan penindasan di negerinya sendiri, tak hanya berkaitan dengan Freeport. Di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika, Yosepha aktif memprotes Pemda yang kerap tidak berada di tempat.

“Pemerintah tidak pernah duduk di Timika. Tahun 90-an, seingat saya, masih ada bupati yang duduk di Timika, tapi sekarang tidak ada bupati di Timika. Mereka sibuk entah dengan apa.” ***

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *