JERAT—Trend Analisa. Dalam satu dekade ke depan, diperkirakan kawasan-kawasan tropis di dunia akan menghadapi dampak perubahan iklim yang parah dan jauh lebih awal dibandingkan kawasan Arktika dan lainnya. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal ilmiah Nature, terbit tanggal 9 Oktober 2013.

Selama ini, banyak studi yang dirilis hanya menyoroti penderitaan vegetasi dan satwa sebagai akibat dari perubahan iklim. Namun, untuk pertama kalinya, para peneliti menaruh dampaknya terhadap manusia, apa yang akan terjadi jika kota-kota di dunia mengalami iklim yang sangat ekstrem.

Jika kondisi emisi karbon seperti saat ini, maka diperkirakan Asia Tenggara akan menjadi wilayah yang pertama kali mengalami cuaca ekstrem. Seperti dirilis oleh Livescience, kota yang akan mengalami kondisi perubahan iklim paling awal di dunia adalah Manokwari di Papua Barat, di mana para ahli memperkirakan kota ini akan mencapai titik terpanasnya di tahun 2020.

Kota kedua yang akan mengalami perubahan cuaca paling panas tercepat adalah Jakarta, yang diperkirakan akan mencapai suhu paling panas di tahun 2029. Selebihnya, rata-rata berbagai kota di Asia akan mengalami cuaca paling panas di tahun 2040-an.

Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat

Perubahan iklim memang berpengaruh terhadap semua sisi kehidupan manusia. Di Kalimantan Barat, pada 2006, dua desa di Kecamatan Tanjung Lokang dilaporkan mengalami kekurangan pangan akibat kemarau yang membuat ladang mereka gagal panen dan juga pasokan bahan pangan terhenti akibat sungai-sungai mengering.

Masih di Kalimantan Barat, pertengahan 2010, Orang Iban yang tinggal di Sungai Utik-Kapuas Hulu melaporkan mengalami gagal panen akibat tanaman padi mereka mati tanpa alasan yang jelas. Orang Sungai Utik juga melaporkan bahwa siklus pertanian mereka terganggu akibat cuaca yang berubah-ubah sehingga pergantian musim pun menjadi tidak jelas. Akibat dari peristiwa ini, produksi beras menurun drastis dimana hasil panen 2010 mengalami penurunan hingga sekitar 70 %.  Akibat dari peristiwa itu, mereka harus berkonsentrasi pada tanaman karet untuk bisa menutup kekurangan kebutuhan berasnya. Sejumlah kabupaten di provinsi Kalimantan Barat, terutama Kapuas Hulu dan Sintang juga dilaporkan terendam banjir selama lebih dari delapan bulan yang mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan harta bendanya dan juga mengalami penurunan kualitas hidup (HuMa dan Kamar Masyarakat DKN, 2010).

Di Papua, untuk mengatasi kekeringan, masyarakat petani ikan di Genyem melapisi kolam ikan dengan terpal. Sementara itu, nelayan di Distrik Demta, Jayapura, juga mulai kesulitan melaut karena cuaca yang tidak menentu. Kalaupun sempat melaut, hasil tangkapannya sangat kurang jika dibanding dengan waktu sebelumnya.

Dampak perubahan iklim benar-benar terasa di Papua. Meski belum dilakukan kajian secara ilmiah, sejumlah bencana banjir di Papua, ditengarai terjadi akibat perubahan iklim secara global. Hujan yang terus menerus – yang tidak lagi sesuai musim – menciptakan genangan dibanyak tempat. Drainase tak lagi mampu menampung air, dan mengakibatkan banjir besar. Perusakan hutan dan pembukaan lahan baru, juga turut menjadi pemicu bencana banjir di Jayapura menelan korban jiwa.

Bencana banjir dapat terlihat ketika hujan lebat di Jayapura pada 22 Februari 2014 lalu. Saat itu, banjir bandang yang disusul longsor mengakibatkan belasan warga tewas. Kepala Pusat Informasi dan Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan longsor terjadi di tiga lokasi yaitu Distrik Jayapura Utara, Distrik Abepura, dan Distrik Jayapura Selatan. “Korban jiwa dilaporkan meninggal 11 orang,” kata Sutopo.

33
Penebangan Liar dalam Cagar Alam Cyclops (Angkasa) Kota Jayapura—2014

Berdasarkan data kejadian, longsor menyebabkan 15 unit rumah rusak berat, dan 40 rumah rusak ringan. BPBD Kota Jayapura, bersama TNI, Polri, Badan Sar Nasional dan relawan langsung melakukan evakuasi dan pendataan menggunakan peralatan seadanya. Menurut Sutopo, hujan deras yang mengakibatkan banjir, telah membawa material berat. Material itu menghantam rumah penduduk. Banjir berasal dari Sungai Ato, Sungai Anapri, dan Sungai STM.

Sementara itu, di Merauke, banjir merendam sejumlah kawasan setelah daerah itu dilanda hujan deras pada awal Februari. Banjir menggenangi Jalan Pendidikan dengan ketinggian hingga betis orang dewasa.  “Air dengan cepat naik dan langsung menggenangi jalan. Saya sampai terjebak disini (Jalan Misi) karena takut motor saya mogok saat menerobos genangan air,” ungkap salah seorang warga Merauke, Syuhadar, seperti dari Bintang Papua.

Selain jalan protokol, genangan di kawasan Asmat juga merendam sebagian pemukiman warga. Misalnya di Jalan Ermasu, Jalan Aru, dan Jalan Biak, dengan ketinggain air sekitar 60 sentimeter.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Papua, Didi Agus Prihatno mengatakan, dua daerah di Papua yang memiliki intensitas tinggi mengalami bencana banjir yakni Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura.

“Berdasarkan pencitraan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Jayapura sejak bulan Januari-April akan terjadi cuaca ekstrim yang berpotensi bencana banjir,” ujarnya.

Didi menjelaskan, dari hasil pencitraan BMKG tersebut ternyata sudah ada enam kabupaten/kota di Provinsi Papua yang mengalami bencana seperti banjir, longsor, gempa bumi dan puting beliung.

“Ke-enam kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Supiori,” urainya.

Hanya, kata Didi, dari enam kabupaten/kota tersebut dua di antaranya paling tinggi berpotensi bencana yakni Kota dan Kabupaten Jayapura. Dalam tahun ini Kota Jayapura sudah tiga kali mengalami banjir, sedangkan Kabupaten Jayapura dua kali mengalami banjir.

Picture1
Banjir Merendam Kantor DPR Provinsi Papua Foto : Victor Mambor (JUBI)

“Bencana banjir yang terjadi berulang-ulang ini membuktikan bahwa akar masalah penyebab banjir belum ditangani secara baik, sehingga setiap kali curah hujan tinggi, maka akan terjadi banjir.”

Didi melanjutkan, dengan belum ditanganinya akar permasalahan tersebut, membuat Kota Jayapura yang tadinya tidak pernah, akhirnya mengalami banjir berulang-ulang. Banyak bangunan rusak, termasuk infrastruktur jalan yang sangat vital digunakan masyarakat setiap saat.

“Pemda setempat juga sudah melakukan penanganan darurat, namun belum dapat mengatasi bencana ini,” katanya lagi.

Ia menambahkan, di Papua sejak Januari hingga April diperkirakan akan mengalami curah hujan yang tinggi. “Ini merupakan fenomena alam yang tidak bisa ditolak,” ucapnya. (DIPJERAT/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *