Alat berat mengangkat kayu hasil tebangan hutan. Foto Jerry Omona

Sebundel berkas terlihat kusut berserak diatas meja. Lembaran-lembaran penuh coretan itu telah berusia tiga tahun. “Sebagian lainnya sudah hilang,” kata Ernest Kaize, Kepala Kampung Senegi, Distrik Anim Ha, Merauke.Sembari mengapit rokok gulung, ia merapikan satu demi satu kertas terpisah.

Surat itu menjadi bukti ketika perusahaan pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Anim Ha. Proyek raksasa didorong hingga meludeskan tanah ulayat Kampung Senegi.

Sepanjang dua tahun terakhir, Ernest orang yang paling getol menolak investasi dilahan adat Malind Anim. Kini, dengan daya tersisa, ia hanya bisa memandang bagaimana pohon di dusunnya roboh oleh mesin besar.

Kampung Senegi dikuasai oleh perusahaan swasta nasional, PT Medcopapua Industri Lestari, milik Arifin Panigoro. Medco menguasai hampir sebagian Merauke dalam proyek yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate. Proyek ini beroperasi di Kota Rusa di wilayah kurang lebih 1.6 juta hektar

Lokasi MIFEE merupakan tempat tumbuhnya kayu alam, binatang dan sumber makanan bagi suku setempat. Kabupaten Merauke sendiri memiliki luas 4,7 juta hektar dengan 95,3 persen terdiri dari kawasan hutan.

Awalnya, konsep MIFEE merupakan usaha korporasi yang juga menaungi petani lokal. Lahan satu juta hektar dimanfaatkan dalam lima kluster. Tiap kluster sekitar 200 ribu ha terdiri dari 40 subkluster.

Kurang lebih 8.000 hingga 10.000 hektar lahan disiapkan untuk pertanian beras. Sementara 30.000 hektar lainnya untuk pertanian Tebu. Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas ini diperkirakan menelan investasi sekitar Rp 50 hingga Rp 60 triliun. “Kalau lahan ini semua dipakai, kami sudah tidak bisa mencari makan, saya tidak tahu bagaimana nasib anak cucu saya nanti,” katanya lagi.

S
Kayu hasil tebangan di Kampung Senegi, Merauke. Foto Jerry Omona

Di Senegi, kampung kecil,empat jam jauhnya dari Kota Merauke, PT Selaras Inti Semesta, anak Medco, beroperasi. Perusahaan yang bergerak dibidang Hutan Tanaman Industri itu memulai geraknya sejak 15 Februari 2010 di lahan seluas 301.600 hektar. PT SIS akan berada di Senegi hingga 60 tahun ke depan sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.18/Menhut-II/2009.

Kampung Senegi berada dalam kawasan konsensi. Sebelum memasuki kampung tersebut, pengunjung harus melewati pos jaga milik Selaras Inti Semesta. Dua satpam berjaga berseragam biru. Dari kejauhan, mesin pemotong dan pembersih meraung-raung. Beberapa alat berat menggusur pepohonan untuk membuka jalan.  

Ernest mengatakan, warga kampung telah dibohongi. Mereka dibayar hanya dengan 300 juta, sementara perusahaan ‘menginvasi’ lebih dari 300 hektar lahan. Uang yang diterima dibagi rata per keluarga 3 juta rupiah. Jumlah jiwa di Senegi sekitar 546. Jumlah Kepala Keluarga, 110. “Uang itu kami anggap sebagai ketuk pintu, bukan kontrak, tapi perusahaan menganggap itu sebagai pelunasan, kami tidak mengerti,” katanya dengan nada tinggi.

Awalnya, kata dia, pemilik tanah meminta dibayar Rp 2 miliar. Namun melorot menjadi 300 juta. Saat transaksi, wakil pemerintah dan kepala distrik  ikut hadir.

Selain dana tersebut, pemilik tanah juga mendapat kompensasi dari kayu yang ditebang, per kubik Rp 2000. Sayang, perusahaan tak jarang memanipulasi harga kayu. “Kita minta 10 ribu, tapi perusahaan maunya hanya dua ribu,” kata Bonafasius, bekas Kepala Kampung.

Kompensasi dibayar per tiga bulan kepada marga pemilik tanah. Tiap marga memperoleh angka berbeda, tergantung hasil atau jumlah kayu yang ditebang didusun mereka.

Bona menilai, masuknya investasi tak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mereka masih tetap miskin dan berharap dari hasil hutan. “Perusahaan tidak bawa keuntungan, kami tidak tahu untungnya dimana.”

S
Warga Kampung Senegi distrik Anim Ha

Sebelum PT Selaras Inti Semesta memulai proyek raksasa, dilakukan pertemuan dengan warga Senegi. Awalnya adalah sosialisasi pada tahun 2008. Selanjutnya ada lagi sejumlah pertemuan tapi kadang tidak menemui kata sepakat. “Dalam tiap kesempatan, perusahaan berjanji akan membangun sarana umum, mereka juga berjanji akan menyekolahkan anak kami menjadi pintar, tapi itu bohong,” kata Bona.

 Suatu ketika, mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze pernah mengumpulkan warga pemilik tanah di rumah adat Kampung Senegi. “Kami diajak supaya mau menerima perusahaan, dia (Gluba Gebze) katanya sebagai jaminan kita bisa hidup baik, nyatanya tidak terbukti,” kata Ernest Kaize.

Linus Gebze, ketua adat Senegi menuturkan, presentase Medco di bulan April tahun 2008, tampaknya pula tak berujung baik. PT SIS memberikan segudang janji namun enggan merealisasikannya. Misalnya akan dibangun sekolah, pusat pelayanan kesehatan, termasuk mendirikan pabrik penyulingan minyak kayu putih. “Kami masih punya sedikit rawa untuk mencari ikan, masih ada beberapa dusun sagu untuk bertahan,” katanya melanjutkan.

Kampung Senegi memiliki luas 100 hektar persegi. Profesi warga rata-rata petani dan pemburu. Bila lagi rehat, mereka berkumpul dan menghabiskan waktu dibawah pohon. Saat makan tiba, seorang dari para wanita akan memasak dengan lauk seadanya. Di waktu tertentu, ada makan besar jika seorang pemuda pulang dengan hasil buruan berlimpah.

Kehidupan warga Senegi begitu sederhana. Para Tetua yang tidak bekerja, memanfaatkan waktu menghisap tembakau. Kampung asri penuh dengan pepohonan itu aman dan jauh dari perselisihan besar. (Jerry Omona/Bersambung)

Note :
Ingin mendownload postingan “Mencari Hutan Senegi, Merauke”, 
silahkan klik icon PDF di sudat kanan bawah ini.

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *