Sudah sejak 2010, ide dan upaya realisasi ‘dialog Jakarta-Papua’ diwacanakan. Namun, hingga kini, dialog yang dianggap sebagai jalan terbaik mengakhiri kekerasan dan membangun kepercayaan antara pemerintah pusat dan warga Papua, belum juga terwujud.
Melihat mandegnya hal ini, sebuah buku berjudul, “Angkat Pena Demi Dialog Papua”, yang ditulis para akademisi, aktivis dan tokoh agama, menggemakan lagi tuntutan yang sama: segera lakukan dialog!
Mientje Roembiak seperti dirilis ucanews.com, salah satu penulis buku tersebut mengatakan, dialog adalah hal mendesak, mengingat, kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Papua sejak bergabung bersama Indonesia tahun 1969.
Josie Susilo Hardianto, wartawan senior Indonesia, yang beberapa tahun terakhir bekerja di Papua, menggambarkan ironi situasi di Papua dalam buku ini. Mengutip Amandus Giay, seorang tua adat dari kampung Bomomani di Dogiyai, Josie menulis, warga Papua mengalami kehadiran pemerintah lewat aparat keamanan, entah itu polisi atau tentara. “Mereka dengan mudah ditemui hingga di berbagai pelosok wilayah Papua, berseragam atau tidak. Sementara itu, dokter, perawat, guru, pejabat kecamatan hingga bupati justru lebih sulit ditemukan,” tulis Hardianto.
Laporan sejumlah lembaga HAM yang tergabung dalam Human Rights and Peace for Papua juga menunjukkan bahwa antara Oktober 2011 dan Maret 2013, telah terjadi peningkatan eskalasi kekerasan, dimana pelakunya yang merupakan polisi dan militer dalam banyak kasus, tidak mau bertanggung jawab. Bentuk kekerasan ini berupa pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, dengan korban warga sipil, jurnalis, juga aktivis HAM.
Tahun 2011, Presiden SBY pernah menyampaikan pernyataan untuk membangun Papua dengan hati, termasuk mengusulkan wacana komunikasi konstruktif. Faktanya hingga kini, Jakarta tidak pernah mengambil langkah yang jelas untuk memasuki proses dialog dan terlihat terus menaruh curiga bahwa dialog hanya akan menjadi jalan bagi pemisahan Papua dari Indonesia.
Brigjen TNI Sumardi, Sekertaris Desk Papua Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) misalnya, mengatakan, pemerintah menolak istilah dialog Jakarta-Papua. “Tidak ada istilah dialog Jakarta-Papua,” tegasnya.
Meski demikian, ia menolak tuduhan bahwa Jakarta tidak bersedia menggelar dialog dengan orang Papua. Selama ini, katanya, dialog sudah berjalan. “Dialog yang dimaksud adalah dialog interaktif yang bertujuan membicarakan pembangunan Papua ke depan,” ujarnya.
Pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini masih bergerilya di hutan tampaknya juga masih tegas menolak dialog ini. Lambert Pekikir, koordinator OPM di perbatasan Papua dan Papua Nugini mengatakan, dialog hanya membuang-buang waktu.
Menurut dia, dalam konsep OPM, bukan dialog yang utama, namun sebuah perundingan dengan di dalamnya hadir pemerintah Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta negara-negara anggota PBB. “Di sini Resolusi PBB No. 2504 yang dikeluarkan Majelis Umum PBB tanggal 19 November 1969 harus diubah. Bahwa Pepera dulu tidak sah, cacat hukum, dan manipulasi sejarah, itu fakta,” ucapnya.
Viktor Yeimo, pimpinan Komite Nasional Papua Barat, menegaskan dialog bukan jalan keluar menuju Papua yang adil dan sejahtera. “KNPB tetap pada prinsip referendum, bukan dialog.”
Ia mengatakan, sejarah mencatat Penentuan Pendapat Rakyat di Papua tidak dilakukan sebagaimana mestinya. “Ada kesalahan, referendum menjadi jalan keluar ke mana nanti Papua, bukan dialog,” ungkapnya lagi.
Pepera 1969 dilaksanakan sebagai bagian dari perjanjian New York. Pepera digelar dalam tiga tahap. Pertama dilangsungkan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera. Kedua, pemilihan Dewan Musyawarah Pepera dan ketiga, pelaksanaan Pepera dari Merauke hingga Jayapura.
Hasil Pepera ketika itu menunjukkan warga Papua menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera kemudian dibawa ke sidang umum PBB dan disetujui pada tanggal 19 November 1969.
Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan, HAM dan gerakan sosial yang pada 2012 menulis buku ‘Paradoks Papua’ bersama Romo John Djonga, imam aktivis Papua, mengingatkan semua pihak agar tidak terlena menanti realisasi dialog.
Menurutnya, memang dialog itu penting dan perlu segera dilakukan. Namun kata dia, ada banyak sekali agenda konkret dan mendesak yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, LSM serta lembaga-lembaga agama. “Apakah (kita perlu) menunggu dulu dialog baru dapat memenuhi hak-hak orang Papua di pedalaman, akan guru dan sekolah berkualitas, dokter-dokter dan rumah sakit? Apakah tunggu dulu dialog untuk bisa memberhentikan kebrutalan militer?” kata Cypri.
Bagi alumnus Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda ini, hal yang urgen adalah kebijakan pembangunan yang tepat, komprehensif dan benar-benar adil bagi orang Papua. “Contohnya, guru dan sekolah-sekolah berkualitas untuk orang Papua di pedalaman. Dokter dan pelayanan kesehatan yang prima. Hentikan pembabatan hutan dan pencaplokan tanah, karena itu lumbung pangan orang Papua”.
Ditempat terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Djoko Suyanto mengatakan, dialog Papua akan melibatkan Organisasi Papua Merdeka dan mereka yang tinggal di pedalaman. Dialog untuk menyatukan pandangan mewujudkan Papua yang adil dan sejahtera.
Ia mengatakan perlu ada mekanisme untuk berdialog. Dialog tidak harus formal. “Dialog harus ada satu kesamaan pandangan, format dialog itu juga seperti apa, dialog itu bukan dalam bentuk besar-besar, tapi penting ada komunikasi konstruktif,” tukasnya.
Djoko menuturkan, kerap dialog sulit diwujudkan karena beragamnya suku dan segmentasi di Papua. “Kalau mau mengumpulkan segmentasi masyarakat, itu juga tidak mudah, sehingga di sini perlu adanya agenda.”
Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti menegaskan, menjadi PR bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mempersiapkan dialog antara Jakarta dan Papua.
Win-Win Solution
Dialog Jakarta Papua merupakan salah satu solusi bagi penyelesaian persoalan di Bumi Cenderawasih. “Ini merupakan win win solution, seperti dulu ketika kita menerima otonomi khusus, meski dalam banyak hal, otsus lebih menguntungkan Jakarta,” kata Beatus Tambaip, pembicara dalam peluncuran buku ‘Angkat Pena demi Dialog Papua’ di Aula Sekolah Tinggi Fajar Timur, Abepura, tahun lalu. Baginya, Dialog Jakarta Papua sebagai langkah menyampaikan aspirasi secara bermartabat.
Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua menambahkan, dialog menjadi alternatif dari banyak solusi yang ditawarkan bagi Papua. “Dan semua itu sudah dikerjakan, kita tidak lihat hasilnya, dialog hadir memberi peluang untuk Papua mengemukakan keinginannya,” kata Anum.
Peluncuran buku itu dihadiri puluhan aktivis dengan sejumlah penanggap dan pembicara. Buku ‘Angkat Pena demi Dialog Papua’ sebelumnya diluncurkan di Jogjakarta dibuka Gubernur DIY Sri Sultan HB X. Sultan sekaligus menjadi pembicara dalam diskusi di Gedung Teatrikal Dakwah, UIN Sunan Kalijaga. Buku ini merupakan kumpulan opini tentang dialog Jakarta – Papua selama kurun tahun 2001 – 2011.
Sri Sultan optimis, sekelumit permasalahan di Papua harus dilaksanakan melalui paradigma baru komunikasi dialogis. Dialog, menurutnya bukan semata – mata NKRI, atau bahkan Papua merdeka. Melainkan, kerelaan untuk mau duduk bersama dan setara membicarakan semua permasalahan. “Komunikasi antara Papua dan Jakarta, merupakan rekomendasi yang paling mungkin untuk menyelesaikan masalah – masalah non fisik,” katanya ketika itu.
(JERAT/dari berbagai sumber)
Note :
Ingin mendownload postingan ini, silahkan klik icon PDF di sudat kanan bawah.