Laode Caludin (51), Ketua Kelompok Nelayan Borobudur di Kelurahan Padarni, Distrik Manokwari Barat, Manokwari, Papua Barat, baru saja tiba usai melaut semalam. Setelah membersihkan isi perahu, ia kemudian bergegas menuju jembatan kayu disamping rumahnya. Perahu ia tambatkan begitu saja pada sebuah tiang kecil.
Rumah Caludin, sama seperti pemukiman Padarni, berdiri dari papan. Perahu yang sudah dibersihkan, akan dipakai lagi esok hari mencari ikan di laut lepas. Kompleks Borobudur merupakan wilayah nelayan yang sangat terkenal di Manokwari. Terbagi dalam empat kawasan Borobudur dengan jumlah perahu mencapai 243. “Disini, 400 lebih Kepala Keluarga berprofesi sebagai nelayan, hidup kami memang dari melaut,” kata Caludin, sore itu.
Saban hari, Caludin memulai aktivitasnya di pagi hari dengan membuat umpan ikan dari plastik bekas, atau menjual hasil tangkapan di pasar tidak jauh dari rumahnya. Ikan Ekor Kuning dijual mulai dari Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per ekor. Ada juga tangkapan lain seperti cumi dan Tuna.
Pria beranak tiga itu sudah 25 tahun menjelajah laut. Setelah ikan dijual, sore harinya, jika cuaca bersahabat, ia akan kembali bertolak menuju perairan jauh. “Biasanya sekitar 60 mil, atau 3 sampai 4 jam dari darat, dulu, kita bisa dapat ikan hanya di lima sampai sepuluh mil, sekarang ikan tambah susah, itu mulai dari tahun 2000,” ucapnya.
Pendapatannya pun menurun jauh. “Dulu, saya bisa dapat sepuluh sampai 15 juta per bulan, sekarang, sejuta pun sulit,” tambah sesepuh para nelayan itu.
Sulitnya mencari ikan, kata dia, dipengaruhi oleh perubahan cuaca sejak tahun 2000. Cuaca yang tidak menentu mengakibatkan pula beberapa orang hilang diterjang badai. “Sekitar empat bulan lalu, ada dua orang tenggelam, namanya Laule (35) dan Anisa (22). Mereka tiga hari dilaut karena perahunya terbalik dihajar gelombang tinggi.”
Peringatan dini atau antisipasi badai, kerap diperoleh nelayan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Manokwari. “Biasanya ada SMS, tapi kan cuaca ini berubah tiap saat, jadinya kita bikin kelompok penyelamat nelayan sendiri, agar kalau ada kejadian nelayan hilang, langsung ada bantuan yang dikirim,” katanya.
Kelompok penyelamat itu terdiri dari puluhan pria dewasa yang mengetahui seluk beluk laut. Berdiri sekitar awal 2000an di kompleks Borobudur. “Saya sendiri pernah hanyut sehari semalam karena perahu terbalik menghantam kayu.”
Ketika itu, Caludin melaut sendiri. Kejadiannya sekitar pertengahan 2004. “Saya waktu itu pasrah, kalau memang harus dipanggil Tuhan, saya siap,” ceritanya.
Kabar selamatnya Caludin tersebar hingga ke sudut kampung. Para remaja menganggap Caludin sebagai tokoh nelayan yang hebat. “Saya bersyukur bisa selamat, padahal waktu itu, tidak banyak orang yang dapat lolos di tengah lautan.”
Sulitnya memperkirakan masa badai, membuat nelayan tidak berani mengambil resiko melaut jika informasi angin dan pergerakan awan tidak akurat. Dimasa normal, sebelum tahun 2000, musim mencari ikan sudah dapat dipastikan. “Biasanya dulu, kalau bulan 3 dan 4, itu masa teduh, arus dan angin kurang, di bulan ke lima sampai 8, ada angin Timur Tenggara atau Angin Selatan, nelayan bisa mencari ikan, tapi harus berhati-hati. Nah di bulan 9-10, itu musim pancaroba, selanjutnya di bulan 11 sampai Februari, itu angin barat, gelombangnya tinggi. Jadwal musim ini sudah dari nenek moyang dulu, tapi sekarang, semua itu berubah, musim tidak menentu,” tukas Caludin panjang lebar.
Caludin tak mengetahui adanya perubahan iklim secara global. “Tidak tahu, intinya, kita disini, sudah susah mendapat ikan, ikannya menjauh terus dibawa arus, arusnya juga tidak tentu, itu disebabkan arah angin yang susah diprediksi. Setiap hari, kita mencari bertambah jauh, kalau dulu, hanya satu dua jam jauhnya, sekarang bisa lebih dari empat jam dari daratan,” katanya.
Sulitnya memperoleh ikan, juga dirasakan Laode Musadi (45), warga nelayan di Borobudur II. “Kalau ada angin besar, ikannya tidak muncul ke permukaan, dulu, kita dapatnya sekali melaut bisa 200 ekor, sekarang, hanya 50 sampai 100 ekor saja,” ujarnya. “Yang sudah tidak bisa didapat itu Ikan Tuna. Tidak tahu ikannya hilang kemana,” tambahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, selain menjual hasil tangkapan, ia juga membuka kios kecil disamping rumah. “Kalau tidak begitu, mau dapat uang dari mana.”
Perubahan Iklim Dipicu Perusakan Hutan
Direktur JASOIL (Jaringan Advokasi Sosial dan Lingkungan) Tanah Papua, Pitsau Amafnini berpendapat, perubahan iklim dipicu perusakan hutan secara besar-besaran. “Ada pembukaan hutan untuk lahan kelapa sawit, ada pula illegal loging. Perusahaan mengambil untung dua kali lipat, setelah hutan ditebang dan kayunya diambil, lalu dijadikan kebun luas untuk menanam sawit,” katanya.
Perusahaan yang mengelola sawit diantaranya PT. Medco Papua Hijau Selaras yang mulai beroperasi pada 2009. “Ekspansinya di Kabupaten Manokwari begitu menjanjikan, beberapa distrik di wilayah Transmigrasi yaitu Sidey, Masni dan Pantura kemudian menerima perusahaan ini dengan sistem sewa lahan dengan jangka waktu 30 tahun. Nampaknya perusahaan sawit ini tidak mengalami kendala yang berarti dilapangan karena sedikit demi sedikit tanah adat milik masyarakat diambil untuk ditanami sawit,” ujarnya.
Karena belum memiliki pabrik untuk diproduksi menjadi minyak mentah, Medco Hijau Selaras melakukan kerja sama dengan PT PN II Prafi, salah satu perusahaan yang sudah beroperasi puluhan tahun di Kabupaten Manokwari dengan luasan 17.817,56 hektar.
“Dengan kontrak 30 tahun, perusahaan biasanya membebaskan tanah adat dengan harga yang sangat murah, 1 meter 45 rupiah, kemudiaan perusahaan akan menggusur hutan dan mulai menanam. Hutan lebat yang awalnya rumah bagi satwa liar, dirubah menjadi lahan terbuka.”
Komunitas Masyarakat Lokal di dua Distrik Sidey dan Masni, kini sudah tidak memiliki lagi lahan berkebun maupun berburu. “Semua sudah dilepaskan oleh kepala Suku untuk hutan sawit, sedangkan komunitas masyarakat adat yang seluruh hidupnya digantungkan di hutan, baik itu berkebun dan berburu, menjadi miskin, mereka cenderung dipekerjakan sebagai pekerja kasar di perkebunan.”
Pitsau menambahkan, pemerintah tak pernah mampu mengalahkan investasi sawit di Indonesia. Pembukaan hutan untuk sawit bukan hanya merusak tanah namun juga telah memundurkan usaha menopang kelangsungan bumi. “Perusakan hutan kemudian menimbulkan efek gas rumah kaca, dampaknya mulai kita rasakan sekarang, mengapa hari ini panas sekali,” katanya.
Menurut dia, seharusnya, dengan hutan tropis yang terbentang begitu luas, negara-negara berkembang bisa lebih arif dalam pemanfaatannya. Tidak hanya untuk sekedar mengambil dan menebang, tetapi bagaimana mengelolanya sebagai sumber pertumbuhan ekonomi sekaligus tempat pelestarian lingkungan.
Pitsau menambahkan, selain rusaknya hutan, faktor utama tingginya emisi gas rumah kaca akibat penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan serta pembuangan limbah. “Di Manowakri, limbah ada dimana-mana, hutan juga sudah habis, sekarang, tinggal bagaimana pemerintah mau menggalakkan penanaman pohon di tiap rumah tangga, bila perlu, bikin Perda wajib tanam pohon di rumah masing-masing,” paparnya.
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang sangat ekstrem. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbondioksida di atmosfer. “Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut dan menimbulkan kenaikan permukaan laut, ini bahaya ke depan bagi pulau-pulau karena bisa saja tenggelam.”
Dr. Eng. Hendri, Koordinator Perubahan Iklim di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Papua mengatakan, perubahan iklim global sudah mulai dirasakan. Negara kepulauan seperti Palau, Micronesia, Solomon, Haiti, Maldives, Marshall, Seychelles, Samoa, Bahamas, Tuvalu bahkan diperkirakan akan menerima dampak perubahan iklim pada 2020. “Hal ini menunjukkan perubahan iklim tidak hanya enter point di Manokwari, Papua Barat, tapi sepanjang daerah di Samudera Pasifik,” katanya.
“Kita sudah sulit memperkirakan musim, yang dulunya musim dapat dipastikan, semuanya kini jauh berbeda dan bertolak belakang dengan teori. Kalau para nelayan mengatakan mereka sulit memantau laut, ya itu benar,” jelasnya.
Ia berharap,ada upaya antisipasi dari pemerintah sebelum benar benar terjadi bencana. “Jepang saja yang sudah memiliki teknologi tinggi, masih harus menerima dampak begitu besar dari tsunami, bagaimana nanti dengan Papua, pasti akan lebih parah,” pungkasnya.
(Jerry Omona/JERAT)