Mereka adalah manusia pekerja. Alam telah membentuknya begitu sangat kuat. Namun kini, saat badai “pendatang” masuk ke tanahnya, mereka pun mulai terasing.
Perempuan bermata sipit itu duduk disamping dagangannya. Diujung kaki yang dilunjurkan, Noken (tas bawaan tradisional) tergeletak. Isinya buah Pinang. Dikejauhan, deru mikrolet berkejaran. Seperti Eta, di jalan masuk pasar Mopah, pedagang sayur lain ikut berjejeran. Puluhan perempuan paruh baya ini duduk diatas tikar kusut.
Eta tinggal di Kelapa Lima, Merauke. Kompleks perumahan warga asli yang rata-rata dihuni oleh suku Muyu. Mereka telah berada di sana semenjak berpuluh-puluh tahun. Asalnya dari Boven Digoel. Merauke sendiri milik suku Malind Anim.
Istilah Muyu diperkirakan muncul bersamaan dengan masuknya Missi Katholik yang dibawa oleh pastor Petrus Hoeboer berkebangsaan Belanda, 1933 di kampung Ninati, daerah Muyu bagian utara, Boven Digoel. Eksplorasi pertama di daerah Muyu awalnya dimulai dengan sebutan Perkemahan Swallow (Swallow Bivouac). Swallow adalah sebuah kapal yang saat itu, Februari 1909, berlabuh di sungai Digoel, dekat muara sungai Kao. Pada Mei tahun yang sama, kapal itu berlayar ke hulu dari Sungai Digoel. Dari 27 Maret hingga 6 April, ekspedisi itu mengarungi Digoel hingga ke hulu Sungai Kao, 50 km jauhnya.
Diperkirakan, dalam ekspedisi tersebut, Missi Katholik mengadakan kontak pertama dengan penduduk setempat. Tepatnya di pinggiran Sungai Kao dengan sub suku Kamindip yang hidup di wilayah dusun mereka di pinggiran Sungai Mui. Dalam sub suku ini, terdapat klen bernama Muyan. Klen Muyan yang diperkirakan mengadakan kontak pertama dengan para ekspedisi. Perkenalan ini kemudian membawa mereka menyebut seluruh penduduk dari Selatan hingga ke Utara dengan satu istilah, Muyu. Di versi lain, istilah Muyu muncul karena penduduk setempat menyebut Sungai Kao di bagian barat dengan Fly di bagian Timur dengan istilah “ok Mui” atau “Sungai Mui” kepada orang Belanda. Penyebutan itu akhirnya berubah menjadi Muyu.
Orang Muyu juga menyebut dirinya dengan istilah Kati. Artinya “manusia sesungguhnya”. Sebutan ini berbeda dari suku-suku tetangga di Mandobo bagian Barat dan Selatan, suku bangsa Ngalum di bagian Utara serta orang Awin di bagian Timur, termasuk suku di Negara Tetangga Papua New Guinea (PNG).
Suku Muyu sendiri mendiami daerah sekitar sungai Muyu yang terletak di sebelah Timur laut Merauke. Mereka tersebar di beberapa desa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Muyu.
Bagi orang Muyu, keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi yang terpenting. Keluarga inti terdiri dari seorang laki-laki, istri beserta anak. Berbagai bentuk kehidupan orang Muyu menunjukkan peran penting keluarga inti, terutama soal pemukiman dan penguasaan tanah serta harta. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu dan daun nibung. Sehari-harinya, orang Muyu hidup dari berburu, memelihara babi dan berkebun. Suku Muyu memercayai adanya kekuatan tertinggi yang menciptakan hewan, tanaman, dan sungai-sungai. Mereka juga percaya arwah orang mati masih mengadakan kontak dengan yang hidup. Sangat sedikit buku yang membahas soal suku Muyu.
Bila dibandingkan dengan suku lain di Papua, Muyu memiliki ciri yang sedikit berbeda. Misalnya dengan suku Asmat. Rumah panggungnya sangat tinggi antara 4 hingga 6 meter, sedangkan Asmat hanya 2 meter. Suku Muyu sering berperang. Mereka juga kerap individualistis. Hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Orang Muyu memelihara babi dan berkebun sendiri-sendiri. Dalam kasus poligami, tiap istri memiliki gubuk, babi, dan kebun sendiri. Pengetahuan spiritual diturunkan hanya dari ayah ke anaknya. Tidak ada pemimpin untuk kelompok besar. Menariknya, orang Muyu memiliki alat bayar. Namanya Ot. Sering digunakan sebagai mas kawin dan barang tukar dalam upacara pesta babi. Pesta babi digelar untuk mencari Ot sebagai hadiah imbalan dari tamu. Barang-barang hasil bumi maupun kapak dan panah diperjualbelikan dengan Ot. Sistem ekonomi ini cukup maju dan akhirnya memotivasi tindakan mereka. Saat ini suku Muyu telah berkembang dengan pesat. Jumlahnya ribuan.
Sistem barter barang-barang dalam suku Muyu adalah hal unik yang baik bahkan dijaman sekarang. Dengan bertukar barang, dua orang individu bertukar rasa percaya, dan menjalin relasi lebih dari sekedar “penjual-pembeli”. Relasi sebagai teman inilah yang sering menjadikan mereka begitu erat satu dengan yang lain.
Sub Suku Muyu
Dalam suku Muyu atau Kati terdapat sejumlah sub suku dengan wilayahnya masing-masing. Jumlahnya delapan. Antara lain sub suku Kamindip di bagian selatan. Mereka menempati kampung Sesnuk, Anggamburan dan Umap. Kemudian, Sub suku Okpari yang menempati ibukota distrik Mindiptana, kampung Wanggatkibi di bagian Utara, kampung Imko di bagian Timur dan kampung Amuan di bagian tengah Timur laut. Selanjutnya, Sub suku Kakaib di bagian Timur dari distrik Mindiptana. Mereka mendiami kampung Kombut, Mokbiran, dan sebagian kampung Kawangtet. Berikutnya, Sub suku Are dan Kasaut di bagian Utara, berbatasan langsung dengan suku Ngalum dan wilayah distrik Waropko. Mereka menghuni kampung Simpang, sebagian wilayah ibukota distrik Waropko, serta sebagian kampung Tembutka.
Sub suku lainnya, yakni Kasaut, lebih banyak menempati bagian utara di kampung Upkin dan Ikhcan. Ada juga Sub suku Jonggom yang mendiami bagian Timur Laut di kampung Ninati, Yetetkun dan sebagian kampung Tembutka. Selanjutnya, Sub suku Ninggrum, tetangga dari Jonggom, juga menguasai bagian Timur Laut di kampung Ninggrum. Sub suku ini merupakan yang terbesar hingga menempati beberapa kawasan di wilayah PNG.
Selanjutnya, Sub suku Kawibtet, mereka berada di tengah-tengah Okpari, Are, Jonggom, dan Kakaib. Terakhir, Sub Suku Kawiptet. Mereka menguasai kampung Kanggewot, Upyetetko dan sebagian Kawangtet.
Beberapa kampung di wilayah Boven Digoel, yang sering disebut kampung lama, hanya didiami sedikit orang Muyu. Sebagian besar dari mereka hijrah ke Negara tetangga PNG. Pengungsian itu disebabkan perang antara TNI dan OPM pada tahun 1984 di daerah Muyu.
Orang Muyu kini memang telah berubah. Mereka tidak lagi seperti dulu dengan “perang”. Mereka kini berperang dengan keberadaannya. “Kita hanya ingin maju,” seperti kata Eta.
(Jerry Omona/tabloidjubi/JERAT)