Asal usul Suku Asmat sama seperti suku asli di Selandia baru dan Papua Nugini yang berasal dari rumpun Polinesia. Suku Asmat terbagi dalam dua kelompok, yaitu yang berdiam di daerah pesisir dan pedalaman. Meskipun sama-sama Suku Asmat, kehidupan antara dua kelompok ini sangat jauh berbeda.

Populasi Suku Asmat tidak besar. Penduduk yang tinggal dalam satu kampung hanya 100-1000 orang. Mereka menghuni sebuah rumah keluarga. Maksud “rumah keluarga” adalah sebuah rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga (biasanya, sekitar dua sampai tiga keluarga). Masing-masing keluarga memiliki dapur dan pintu sendiri.

Selain rumah keluarga, di setiap kampung, memiliki satu Rumah Bujang. Rumah Bujang digunakan oleh Orang Asmat untuk menyelenggarakan upacara keagamaan dan adat

Dalam kehidupan sehari-hari, Orang Asmat berhadapan dengan dua kepemimpinan, yaitu pemimpin formal dari unsur pemerintah dan kepala suku yang berasal dari masyarakat. Seperti suku lainnya di Papua, kepala adat atau kepala suku memegang peranan sangat penting dalam tata kelola kehidupan sehari-hari.

Kepala suku bisa berasal dari suku tertua, marga yang dianggap tua atau bahkan bisa diangkat dari seorang yang dianggap berjasa, seperti berhasil memenangkan peperangan. Jadi, setelah kepala suku meninggal, dari unsur-unsur itulah kepala suku baru berasal.

Kehidupan Suku Asmat belum banyak terpengaruh oleh kehidupan modern. Salah satu contohnya adalah kebiasaan berhias. Mereka mencoreng wajah dengan berbagai warna. Warna-warna tersebut diperoleh dengan cara yang sederhana. Yakni merah, putih, dan hitam.

Untuk warna merah, didapatkan dari tanah merah yang banyak di sekitar. Warna putih dari kulit kerang yang sebelumnya ditumbuk sampai halus. Dan, warna hitam, dari arang kayu, yang juga ditumbuk sampai halus.

Dalam kehidupan Suku Asmat di zaman dulu, ada banyak kebiasaan yang dianggap aneh. Salah satunya, saat mereka membunuh musuhnya. Setelah dimatikan, mayat musuh tersebut akan dibawa pulang ke kampung. Selanjutnya, dipotong-potong, lalu dibagi-bagi ke seluruh penduduk.  

Orang-orang Asmat pandai membuat ukiran. Hebatnya, ukiran didesain tanpa sketsa terlebih dahulu. Ukiran-ukiran tersebut memiliki makna, yaitu persembahan dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi Suku Asmat, mengukir bukan pekerjaan biasa. Mengukir adalah jalan bagi mereka untuk berhubungan dengan para leluhur.

Suku Asmat percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat menyebabkan bencana bagi yang masih hidup, menyebabkan peperangan, juga menyebarkan penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, mereka akan membuat patung dan menyelenggarakan berbagai macam pesta. Di antaranya adalah Pesta Bis, Pesta Perah, Ulat Sagu, dan Topeng.

Tradisi Suku Asmat yang tetap lestari selain seni pahat kayu adalah tradisi berperang. Meski belakangan, tradisi ini mulai memudar.

Orang Asmat masih hidup dari alam.  Mereka berburu juga bertani. Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yahukimo dan Jayawijaya. Sebelum para misionaris pembawa ajaran agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan dan Khatolik.

Dalam hal berpakaian, Orang Asmat memiliki kekhasan. Seluruh bahan untuk membuat pakaian berasal dari alam. Tidak salah jika menganggap pakaian Suku Asmat merupakan representasi kedekatan mereka dengan alam raya.

Tidak hanya bahan, desain pakaian Suku Asmat pun terinspirasi dari alam. Pakaian laki-laki, misalnya, yang dibuat menyerupai burung dan binatang lain, dianggap melambangkan kejantanan. Sementara, rok dan penutup dada kaum perempuan menggunakan daun sagu sehingga menyerupai kecantikan burung kasuari.

Secara umum, pakaian laki-laki dan perempuan Asmat tidak terlalu berbeda. Pada bagian kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan pada sisi bagian atasnya dipenuhi bulu burung kasuari. Bagian bawah dan bagian dada (untuk perempuan) berupa rumbai-rumbai yang dibuat menggunakan daun sagu.

Pakaian adat tersebut belum sempurna jika tidak dilengkapi berbagai aksesori, juga menggunakan berbagai bahan yang tersedia di alam. Aksesori yang biasa dijadikan pelengkap pakaian tradisional adalah hiasan telinga, hiasan hidung, kalung, gelang, dan tas. Hiasan telinga terbuat dari bulu burung kasuari. Biasanya lebih pendek dibanding bulu burung kasuari yang digunakan pada penutup kepala.

Hiasan hidung hanya dikenakan oleh kaum laki-laki. Terbuat dari taring babi atau dari batang pohon sagu. Hiasan hidung yang dikenakan pria memiliki dua fungsi: simbol kejantanan dan untuk menakuti musuh. Sementara, aksesori kalung dan gelang dibuat dari kulit kerang, gigi anjing, dan bulu burung cendrawasih.

Esse (sebutan masyarakat Asmat untuk tas) merupakan aksesori yang penting. Selain berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai hasil ladang, esse juga dipakai ketika diadakan upacara-upacara besar. Orang yang mengenakan esse saat diadakan upacara adat dianggap sebagai orang yang mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Asmat akan melengkapi penampilan mereka dengan gambar-gambar ditubuh. Gambar yang didominasi warna merah dan putih tersebut konon merupakan lambang perjuangan untuk terus mengarungi kehidupan.

Seiring pengaruh modernisasi dan budaya dari luar, sebagian masyarakat Suku Asmat mulai meninggalkan pakaian tradisional mereka. Hanya masyarakat Asmat yang tinggal di pedalaman yang masih menggunakan pakaian tradisional tersebut.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *