Reformasi membawa Polri ke dalam wajah baru, dari semata alat keamanan menjadi komunitas keadilan. Konsekuensinya, watak represif diganti dengan pendekatan dialogis.

Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam “Reformasi Hukum”, 2008, menuangkan sepenuhnya dalam artikel yang berjudul “Kekerasan Polri Versus Mahasiswa”. Baginya, dimana-mana, Polri mengenalkan konsep pengembangan dirinya lewat apa yang disebut pemolisian masyarakat (community policing). Namun hal tersebut ternyata tak sejalan dengan yang terjadi dilapangan. Kasus Universitas Nasional Jakarta, 2008 menjadi bukti dimana Polri masih menggunakan kekerasan.

Di Papua, kekerasan yang dilakukan Polri juga tersiar kemana mana. Imparsial dalam protes tertulisnya beranggapan, Polri perlu kembali menata dirinya. Terutama atas penggunaan senjata api (senpi) yang berlebihan.Imparsial menerbitkan surat bernomor026/SK/Sek/Imparsial/V/2009 dan mengecam tindakan aparat negara ini atas berbagai kasus terhadap warga di Papua.

Dalam surat tersebut, Imparsial mencatat sedikitnya 5 kasus penembakan dalam tahun 2009. Ini belum lagi ditambah kasus kekerasan lanjutan yang terjadi di tahun tahun berikutnya.

Diantaranya, penembakan terhadap 2 warga sipil, Dono (luka-luka) dan Safarudin (tewas) oleh Bripka DU yang sedang mabuk di Merauke, 23 Januari 2009. Penembakan Aparat Kepolisian Mimika yang menewaskan Simon Fader dan melukai beberapa lainnya, pada Minggu 25 Januari serta penembakan 27 Januari 2009 yang melukai Raymond Watubun (28) dan Kace Rahangmetan (35), makin mewarnai deretan kasus warga tewas di Mimika.

Ilustrasi (foto :SUMUT POS)
Ilustrasi (foto :SUMUT POS)

Dalam catatan Imparsial, terdapat juga insiden aparat kepolisian Nabire terhadap 7 warga sipil, 6 April 2009. Insiden itu menurut Imparsial telah melukai diantaranya Albertus Tagi (Siswa SD) yang menderita luka di punggung dan Yonandi Pigome (30) di kening.

Atas rentetan peristiwa itu, Imparsial mendesak Kapolri agar menindak tegas aparatnya yang telah melakukan tindakan kekerasan berlebihan. Khususnya terkait penggunaan senjata api.  “Kami sangat menyesalkan jatuhnya korban sipil, baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka, akibat kesewenang-wenangan aparat kepolisian di Papua dalam menggunakan senjata api,” kata Poengky Indarti dalam surat Imparsial.

Seperti Imparsial, KontraS, (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)  menilai seyogianya Polri sebagai penegak hukum dalam strategi pelaksanaan tugasnya harus merujuk pada Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum. Aturan ini telah diadopsi dari Kongres ke 8 PBB, September 1990 silam. KontraS juga menilai, diusianya yang makin dewasa, Polri seharusnya telah menanggalkan citranya sebagai institusi kekerasan konvensional.  

Dilain tempat, Amnesty International (AI) bahkan dengan tegas mendesak pihak-pihak yang berwenang di Indonesia untuk melakukan penyelidikan atas laporan-laporan yang menegaskan polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan. Misalnya saat membubarkan demonstrasi yang dilakukan secara damai di Nabire.  

Bagi AI, pihak-pihak yang berwenang di Indonesia harus memberikan kepastian kepada publik bahwa kebebasan berekspresi dan berkumpul dijamin di Papua. Mereka juga harus menyatakan dukungan terhadap kerja sah yang dilakukan pembela HAM. Menurut AI, tindakan-tindakan polisi boleh jadi telah bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) dan Kode Etik untuk Para Aparatur Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials).

Kedua pedoman atau prinsip ini menetapkan, antara lain, kekerasan harus digunakan sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ada dan harus dirancang untuk meminimalisasi kerugian atau luka. Hal ini seperti termuat dalam Administrasi Peradilan, seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya pada sesi Sidang Umum 1993 (Dok PBB.A/48/575, para.57).  

Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Edi Saputra Hasibuan menekankan perlunya evaluasi soal izin penggunaan senjata api terhadap tiap anggota kepolisian. “Sebagai saran kami, tiap anggota yang punya izin penggunaan senjata api harus dites setiap 6 bulan sekali,” terangnya.

Menurutnya, hal itu guna mengetahui kondisi kejiwaan dan psikologis anggota yang memiliki izin memegang senjata. “Ada anggota yang tidak memiliki izin, ada yang memiliki izin,” tambahnya.

“Agar tidak terjadi lagi (peristiwa penembakan), perlu peningkatan kedisiplinan. Masih lemahnya kedisiplinan anggota Polri ini merupakan tugas kami untuk memberikan support kepada kepolisian,” tandasnya.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

 

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *