Kayu Ilegal
Kayu Ilegal di Wagaru, Otermeta dan Kampung Awegro Distrik Kuri – Teluk Bintuni Papua Barat

Perusahaan pemegang IUPHHK PT. Wukirasari Diduga Lakukan Penebangan Kayu Bulat diluar RKT. Perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HA) dari PT.Wukirasari diduga kuat melakukan penebangan kayu bulat jenis Merbau diluar RKT.

Temuan, kondisi fisik kayu berada di lokasi berbeda, namun diberikan lebel sesuai rencana kerja tahunan (RKT). Selain itu, pihak perusahaan belum membayar sepenuhnya kompensasi hak ulayat masyarakat adat terkait jumlah kubi-kasi kayu bulat yang ditebang tahun 2013, buntutnya aktivitas perusahaan sementara dihentikan. 

Mediasi pun dilakukan. Tanggal 20 Juni 2014 pertemuan di lokasi perusahaan dengan masyarakat pemilik hak ulayat, dimediasi LSM Bin Madag Hom Teluk Bintuni. Pihak perusahaan yang diwakili Manager Pengusahaan Hutan (MPH), Sutisna, Romilus Tatuta, anggota DPRD Teluk Bintuni Daerah Pemilihan II yang meliputi juga wilayah lokasi perusahaan beroperasi.

Pertemuan itu, apa yang disampaikan masyarakat adat tak dapat dipenuhi karena pengambil keputusan berada di pulau Jawa, MPH angkat tangan. Maka, disepakati, untuk sementara dihentikan aktivitas perusahaan kayu tersebut. Bahkan dapat berdampak pada karyawan di rumahkan, hingga tuntas persoalan.

Pertemuan berikut di kantor DPRD Teluk Bintuni yang dihadiri pula oleh Kepala Dinas Kehutanan Ir. Putu Suratna, MM yang didampingi stafnya. MPH Perusahaan didampingi kepala kantor Cabang Perusahaan di Bintuni, Yanwar, serta perwakilan masyarakat dan LSM Bin Madag Hom.

Hasilnya, pihak Dinas dan pihak perusahaan akan menyampaikan laporan dan mengupayakan pertemuan antara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan pimpinan utama perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HA) dari PT. Wukirasari, di Surabaya dengan masyarakat pemilik hak ulayat.

Pada pertemuan itu juga, terungkap kalau Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LP-HHBK) tak melaksanakan tugas dilapangan ketika aktivitas perusahaan di tahun 2013. Hal ini erat kaiatan, buntutnya masyarakat pemilik hak ulayat merasa dirugikan dan ketika ditelusi data, maka mereka meminta kompensasi untuk kubikasi kayu yang sudah ditabang sesuai laporan diakhir tahun 2013 lalu, dengan dinominalkan 2 milyar rupiah lebih.

Direktur Bin Madag Hom, Yohanis Akwan, SH bersama anggota DPRD Teluk Bintuni Romilus Tatuta dan beberapa warga masyarakat pemilik hak ulayat sebelumnya telah melakukan pemantauan lapangan, dan mengambil data termasuk dokumentasi foto keberadaan kayu serta kerusakan lingkungan oleh perusahaan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur tentang standar verifikasi legalitas Kayu dari PT Wukirasasi sebagai pemegang IUPHHK nomor 477/KPTS-II/2008 tanggal 31 Desember tahun 2008 dengan luasan 116.320 Ha di Wilayah Kampung, Wagura Distrik Kuri Kabupaten Teluk Bintuni diduga sangat bertentangan dengan aturan legalitas pengelolaan hutan lestari maupun standar pedoman verifikasi lagalitas kayu (SVLK).

Contoh, penebangan di luar wilayah RKT, Penebangan Hutan yang tidak di berengi dengan adanya penanaman kembali, penembangan hutan yang dekat pada bibir kali, tidak adanya Tenaga Teknis Kehutanan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Ganis PHPL) atau WASGANIS PHPL yang di tugaskan di lapangan untuk memverifikasi legalitas kayu dan adanya komflik antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan pihak perusahaan terkait belum dibayarnya kubikasi kayu milik masyarakat yang sudah di tebang sebanyak 20.118,70 meter kubik yang belum di bayarkan Tahun 2013 pada RKT Tahun 2013.

10301291_1554964281397930_822810400889563626_n

Data ini bagi Bin Madag Hom, sebuah LSM yang juga bergerak di bidang lingkungan hidup ini sudah cukup mengisyaratkan perusahaan harus diberikan raport merah. Pasalnya penebangan kayu tersebut mulai dari blok tebangan hingga ke TPK dan lokpon tidak di verifikasi sehingga dari sesi aturan masyarakat dan Negara mengalami kerugian yang tidak sedikit sehingga penting untuk di evaluasi kinerja IUPHHK dari PT Wukirasari.

Romilus Tatuta begitu kesal dengan perbuatan perusahaan tersebut. Termasuk tanggungjawab sosial perusahaan bagi masyarakat asli Papua di daerah tersebut. Seperti pemukiman masyarakat serta fasilitas umum lainnya.
Kata Romilus, hasil kebun dan laut masyarakat mau jual saja ke perusahaan, dibilang tak ada uang untuk beli. Kemauan perusahaan yang dipaksakan. “Pihak perusahaan tak mau dengar masukan dari mayarakat adat tapi masyarakat adat yang harus ikuti kemauan perusahaan. Itu yang terjadi,” ujar Romilus Tatuta, yang kini kembali terpilih sebagai anggota DPRD Teluk Bintuni untuk periode ketiga.

Pihak LSM Bin Madag Hom, kata Yohanis Akwan, akan terus mendampingi masyarakat adat, pemilik hak ulayat atas hutan kayu di Wagura, Otermeta dan kampong Awegro Distrik Kuri dalam menghadapi persoalan tersebut. Termasuk rencana melaporkan kejahatan lingkungan, serta dugaan pelanggaran pidana lainnya yang dipandang dilakukan oleh pihak perusahaan ke Kepolisian Resort (Polres) Teluk Bintuni.
“Kami menemukan sejumlah pelanggaran di bidang kehutanan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut. Realitas dan fakta lapangan, banyak sekali kasus mulai dari prasyarat, produksi, berkaitan pula soal ekologi lingkungan, dan sosial masyarakat. Aktivitas perusahaan ini sangat buruk sekali, maka dilaporkan ke Polres dan juga pada Dinas serta pihak terkait di bidang Kehutanan,” ujarnya.

Dia juga memperlihatkan dua peta operasi perusahaan kayu yang akan berakhir tahun 2020 tersebut, yang di keluarkan dari pusat dan juga peta RKT tahun 2013 yang ditandatangani oleh Kadin Kehutanan Provinsi dan Kadin Kehutanan Teluk Bintuni.
Jika upaya yang dilakukan tak direspon secara serius oleh pejabat Negara itu berarti pejabat Negara “turut bermain” atas pelanggaran HAM di bidang lingkungan di tanah Papua, khususnya yang terjadi di wilayah Provinsi Papua Barat, hal yang terjadi antara Teluk Bintuni dan Kaimana saat ini. “Kejahatan terhadap lingkungan, kami anggap itu pelanggaran HAM Berat, seperti yang kami amati dilakukan oleh perusahaan ini” katanya.

Maka, persoalan perusahaan dengan masyarakat pemilik hak ulayat yang terjadi ini perlu mendapatkan perhatian luas, tak kecuali masyarakat adat 7 suku di Teluk Bintuni. Sebab, tinggal selangkah lagi, gunung Nabi, gunung keramat itu dibabat habis hutannya, dan tinggal mitos.

[Daniel/@jendela_papua/bbm pin:28089477/]

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *