Pengukir Asmat sementara membuat patung bernilai seni tinggi. Foto, sesawinet
Pengukir Asmat sementara membuat patung bernilai seni tinggi. Foto, sesawinet

Erick Sarkol memegang dua ukiran patung Asmat dari kayu. Di tangan kirinya, patung berwujud pria setengah membungkuk memegang sebuah pemukul. Patung yang lainnya berwujud kepala dengan badan yang belum jadi.

“Patung ini dibuat oleh pengukir berpengalaman, pengukir sejati,” ujar Erick sambil mengangkat ukiran patung manusia Asmat di genggaman tangan kirinya. ”Ini dibuat oleh seseorang yang bukan pengukir,” tutur kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat itu sambil menunjukkan ukiran patung di tangan kanannya.

Dia lihai menilai ukiran Asmat. Dia tahu betul sebuah ukiran dibuat oleh siapa. Ini karena ukiran Asmat, terutama ukiran patung, pada dasarnya dibuat sesuai dengan citra diri si pematung. Secara fisik, bentuk wajah patung adalah ”potret” diri si pengukir.

Pengukir juga memiliki gaya masing-masing. Dengan demikian, ukirannya bisa dibedakan antara satu pengukir dan pengukir lainnya. ”Tidak semua orang Asmat bisa mengukir. Keahlian mengukir biasanya bakat yang diturunkan keluarga, dari orangtua kepada anak, juga cucu,” ujarnya.

Pada awalnya, pengukir Asmat membuat ukiran patung untuk media upacara pemanggilan roh. Karena itu, di dalam patung untuk upacara adat diyakini ada roh leluhur. Patung itu menjadi ”hidup”. Patung seperti ini tidak boleh diperjualbelikan.

Sebagai kurator sekaligus Kepala Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di Agats, Erick hampir setiap tahun berkeliling kampung dan distrik di seluruh Kabupaten Asmat.

Dia menyeleksi karya-karya pengukir yang akan diikutsertakan dalam Pesta Budaya Asmat. Ini adalah gelar budaya tahunan sekaligus ajang kompetisi bagi para pengukir Asmat. Di sinilah kemampuan Erick diuji.

Karya-karya ukiran terbaik, baik patung maupun panel, dilombakan dalam festival tersebut. Ada ratusan ukiran yang dibagi dalam beberapa kategori. Setelah dinilai juri, karya ukiran itu dilelang secara terbuka.

Nilai lelang relatif tinggi. Sebuah karya ukiran, misalnya, bisa terjual sampai puluhan juta rupiah. Sebagai gambaran, nilai transaksi lelang 227 ukiran Asmat saat Pesta Budaya Asmat di Agats beberapa tahun lalu mencapai Rp 1,518 miliar. Inilah yang menggoda para pengukir Asmat.

Karena itu, berbagai cara dilakukan agar karya ukiran mereka bisa sebanyak mungkin lolos seleksi dengan harapan dapat terjual banyak. Tak jarang, seorang pengukir menitipkan ukirannya yang diatasnamakan orang lain agar bisa ikut dilombakan. Tentunya, ini pun dengan harapan agar semakin banyak karya dia terjual dengan nilai tinggi.

Di sinilah Erick menguji dan menilai ukiran-ukiran itu. ”Orientasi uang seperti itu merugikan pengukir karena nama mereka bisa tenggelam. Justru orang yang bukan pengukir bisa lebih dikenal,” ujarnya.

Kejelian menilai ukiran Asmat dipupuk Erick selama bertahun-tahun, sejak dia bergabung dengan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat pada 1974. Sebelumnya dia adalah guru honorer selama delapan bulan di SD YPPK di Kampung Ayam, Agats. ”Awalnya saya tak tertarik dengan karya ukiran Asmat, tetapi lama-kelamaan tertarik juga,” kata Erick, yang sebelum menjadi kurator bertugas di bagian perpustakaan museum.

Erick Sarkol (kiri) bersama beberapa warga di dalam Museum Asmat di Kota Agats. Foto Hidupkatolik
Erick Sarkol (kiri) bersama beberapa warga di dalam Museum Asmat di Kota Agats. Foto Hidupkatolik

Tak hanya tertarik, Erick bahkan juga belajar mengukir. Dia juga dikenal sebagai pengukir gaya Asmat. Karena itu, dia dipercaya dan dihormati para pengukir Asmat.

Jebolan sekolah guru di Merauke ini pernah keluar dari Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat pada 1986. Ia lantas bergabung dengan Yayasan Asmat. Tahun 1992, Erick kembali ke museum.

Ketika itu ia sangat ingin mengunjungi museum. Betapa kagetnya Erick saat mengetahui banyak koleksi ukiran yang dipajang dalam kondisi rusak.

Hati nurani Erick terusik dan terpanggil untuk kembali bekerja di museum, menjaga koleksi warisan budaya Asmat. Selama 1992-2001, dia diangkat menjadi asisten kurator. Pada 2002 Keuskupan Agats, sebagai pemilik dan pengelola museum, mengangkat dia sebagai kurator, menggantikan Yuvensius A Biakai yang diangkat sebagai Bupati Asmat.

Erick sangat berhati-hati menjaga ukiran-ukiran Asmat. Dia pernah jengkel kepada siswa-siswa sekolah yang berkunjung ke museum karena berlarian ke sana kemari. Seorang kolektor ukiran Asmat pun pernah menawar sebuah masterpiece museum berupa perisai kayu yang diukir menggunakan tulang kasuari dengan harga ribuan dollar AS. Tentu saja tawaran itu dia tolak.

Erick bersyukur, belakangan ini para pengukir muda Asmat mulai bermunculan sejak digelarnya Pesta Budaya Asmat setiap tahun. Pesta budaya itu diadakan sejak tahun 1980.

(Jerry Omona/Kompas/JERAT)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *