Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 telah berakhir. Meski diwarnai sejumlah aksi boikot Pilpres, namun usaha itu dianggap tak berhasil. Benarkah?
Rencana boikot Pilpres misalnya datang dari pihak Organisasi Papua Merdeka. Tentara Pembebasan Nasional OPM mengumumkan akan menyerang obyek vital di wilayah Pegunungan Tengah dalam usaha menggagalkan Pilpres 2014.
Panglima Divisi VII Lapago, Erimbo Enden Wanimbo menegaskan, penyerangan terhadap sejumlah obyek vital dan markas dari aparat keamanan, mulai dilakukan pada Ahad, pekan lalu. “Kami menyerukan untuk memboikot Pilpres, kami hanya meminta referendum,” kata Erimbo dalam wawancara bersama wartawan di Markasnya di Pirime, Lanny Jaya.
Ia mengatakan, rencana penyerbuan berkaitan erat dengan perjuangan TPN OPM menuntut kemerdekaan bagi Papua. Selama ini, kata dia, pemerintah Indonesia tak pernah memberikan kesempatan bagi Papua untuk berkembang. Indonesia telah mengambil alam Papua dan mengeruk sumber daya alam yang maha dashyat serta hanya meninggalkan sedikit bagi mereka. “Papua bukan milik Indonesia, Indonesia juga melakukan pelanggaran HAM, mengambil tanah kami, merusak hutan, dan ini saatnya, kami mau meminta itu semua, kami mau merdeka dan berdiri sendiri,” ujarnya.
Menurut dia, persoalan pelanggaran HAM dimulai sejak pemerintah dan tentara memasuki wilayah pesisir dan pegunungan di Papua. Pada saat yang bersamaan, dilaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang jauh dari adil dan jujur. “Orang Papua dibunuh pada waktu Pepera, kami tidak bisa melawan, tapi sekarang, kami, dengan panah, akan melawan Indonesia dengan senjata, kita akan lihat siapa yang menang,” tegasnya.
Hasil Pepera 1969 ketika itu menunjukkan warga Papua menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera kemudian dibawa ke sidang umum PBB dan disetujui pada tanggal 19 November 1969. “Pepera itu tidak sah. Kami menuntut referendum ulang,” kata Erimbo lagi.
Erimbo adalah salah satu dari tiga ‘penguasa’ tentara Papua Merdeka di Pegunungan Tengah. Dua lainnya yakni, Purom Wenda dan Goliath Tabuni. Erimbo mengklaim sebagai pejuang muda yang memiliki ratusan prajurit di daerah Pirime hingga Bolakme. Tentaranya memegang senjata otomatis dan kerap mengganggu sejumlah pos militer.
Usaha menggagalkan Pilpres juga berlangsung di Paniai. Komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) OPM, Makodam IV Pembela Keadilan, mengklaim pencoblosan di sembilan distrik Paniai gagal dilaksanakan.
Pimpinan TPN-PB/OPM Paniai, Leo Magai Yogi mengatakan, kegagalan itu adalah hasil dari sosialisasi boikot Pilpres yang telah disuarakan pihaknya. “Saya sudah gerakan seluruh TPN-PB ke 9 distrik di seluruh Kabupaten Paniai. Sehingga pencoblosannya tidak dilakukan di distrik, tapi hanya di Enarotali (ibu kota kabupaten Paniai) saja. Artinya masyarakat pribumi di Paniai tidak memberikan suara,” kata Leo.
“Jadi, kalau di Paniai ada yang bilang proses Pilpres berjalan lancar, maka itu permainan elit-elit politik dan oknum tertentu. Bukan suara masyarakat yang pilih,” tegasnya.
Leo menegaskan, pihaknya menuntut digelar referendum sebagai bagian dari pembebasan Papua. “Referendum solusi bagi kami. Tak pantas anjing hidup sekandang dengan kucing,” tukasnya.
Dibagian lain, upaya ‘menghentikan’ Pilpres datang pula dari berbagai elemen di Papua. KNPB salah satunya. Beberapa aktivis juga menyerukan, Pilpres di Papua semestinya dibatalkan, karena yang dibutuhkan Papua sebenarnya adalah referendum.
Menanggapi hal itu, Ketua Sinode GKI (Gereja Kristen Injili) di Tanah Papua Pendeta Albert Yoku mengeluarkan imbauan pastoral yang dibacakan di semua gereja GKI se-Tanah Papua. Intinya, mengajak warga GKI untuk turut serta mengambil bagian dalam Pilpres dengan menggunakan hak suara secara bertanggung jawab, tidak terlibat kampanye hitam, serta berani menolak segala macam kecurangan. “Warga GKI di Tanah Papua (harus) dengan berani dan tegas menolak segala macam kecurangan dalam Pilpres, termasuk money politic, dan menjunjung tinggi kehidupan moral dan etika di atas dasar Iman Yesus Kristus,” ujar Yoku.
Mengajak warga untuk memilih juga dilakukan pastor John Djonga dan aktivis Yosepha Alomang. Keduanya meminta warga untuk tidak absen saat Pilpres lalu. “Satu suara itu penting, jangan golput,” kata John Djonga.
Mereka mengingatkan, warga Papua yang tidak ikut merasakan semangat pilpres, adalah masyarakat yang kehilangan hak-haknya karena ketidakpedulian negara.
Pilpres Lancar dan Aman
Upaya memboikot pilpres sejatinya hanya digerakkan oleh pihak yang merasa tidak ‘nyaman’ dengan pemerintah. Bahkan ancaman yang digelorakan OPM, nyata-nyatanya juga tak terbukti. “Berkat sinergitas kerja seluruh pihak, ancamam itu dapat kita tekan dan puji Tuhan Pemilu di Papua Barat berjalan lancar,” kata Wakapolda Papua Paulus Waterpauw saat berkunjung ke Manokwari.
Waterpauw pun turut senang dengan partisipasi Pemilih di Papua Barat, yang menurutnya lebih tinggi dibanding Papua. “Di Papua Barat informasi yang kami peroleh, partisipasipasinya mencapai 80 persen, sementara di Papua hanya berkisar antara 60-70 persen,” ucapnya lagi,
Wakapolda menambahkan, sejumlah ancaman memang tak terbukti. Ini dikarenakan aparat telah melakukan pengamanan ketat, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi OPM untuk melaksanakan rencananya.
Meski demikian, ia mengaku sempat terjadi sejumlah aksi pengibaran bendera bintang kejora di 4 titik di Kabupaten Nabire yaitu di Kantor Lurah Karang Mulia, Kantor Lurah Wonorejo, Kantor KNPI, dan kantor Badan Arsip Negara. “Nabire tidak masuk daerah rawan Pilpres. Kami mengaku kecolongan. Pelakunya belum diketahui sampai saat ini dan masih terus kami dalami. Sekitar pukul 05.00 WIT, bendera tersebut langsung diturunkan oleh aparat,” kata Paulus.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua menyatakan, pelaksanaan Pilpres, 9 Juli lalu di Papua berjalan sesuai tahapan.
Komisioner KPU Papua, Tarwinto mengatakan, Pilpres telah berjalan sesuai jadwal yang ada.
Terkait ancaman boikot Pilpres yang dikhawatirkan sebelum pilpres, serta wilayah yang dianggap rawan, ternyata tak terjadi. “Yang tujuh distrik di Yahukimo bahkan sudah berjalan. Kalau ada yang menyebut pelaksanaan pencoblosan di Dekai, Kabupaten Yahukimo tidak memenuhi syarat rahasia. Itu juga tidak benar,” ujarnya.
Kapolda Papua Irjen Pol Tito Karnavian mengatakan, pihaknya sudah mengantisipasi berbagai kerawanan gangguan kamtibmas baik di Papua dan Papua Barat. Antisipasi tersebut berupa menambah kekuatan personel polisi umum dan Brimob, yang didukung satuan TNI. “Sebelum hari pemungutan suara, kita sudah memprediksi hambatan dan kendalanya, antara lain penyaluran logistik yang bisa tertunda karena faktor geografis dan cuaca, serta hambatan dari kelompok pengganggu keamanan,” katanya.
Sejumlah daerah yang dianggap rawan dan berpotensi terjadi kekacauan, ditempuh perkuatan personel baik dari kepolisian maupun TNI. “Polda Papua terjunkan dua per tiga kekuatan yang ada hingga ke polsek-polsek dan di-back up oleh rekan-rekan TNI,” ungkapnya.
Ditempat terpisah, Kodam XVII Cenderawasih terus meningkatkan status pengamanan menjadi siaga satu sampai pada batas waktu yang belum ditentukan terkait adanya upaya boikot Pilpres dari kelompok sipil bersenjata di Papua. Seruan boikot Pilpres disebarkan lewat SMS (short message send), selebaran yang ditebarkan di jalan-jalan serta adanya rekaman video dari kelompok sipil bersenjata Erimbo Enden Wanimbo.
Ditegaskan Panglima, pihaknya tidak suka adanya kekerasan dan pertumpahan darah di Papua. “Saya sebenarnya sedih jika ada anggota OPM yang tewas, tetapi kalau mereka angkat senjata saya tidak segan-segan menumpas mereka. Saya tidak main-main, jadi sebaiknya tidak melakukan aksi-aksi kekerasan,’’ ujarnya.
Ada 6 wilayah di Papua yang dinyatakan rawan saat Pilpres, yaitu Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Keerom, perbatasan RI-PNG di Skouw Wutung Kota Jayapura, Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kabupaten Jayapura. ‘’Untuk wilayah-wilayah yang rawan, Kodam sudah menempatkan aparatnya di sana membantu Polisi.”
Dikatakan, Kodam XVII Cenderawasih menyiapkan 2300 personel untuk pengamanan Pilpres bersama dengan Kepolisian. Selain itu dalam membantu pendistribusian logistik, Kodam XVII Cenderawasih menyiapkan tiga helikopter
Jumlah Pemilih Menurun
Meski tak berdampak signifikan terhadap penyelenggaraan pilpres, namun usaha menggagalkan pencoblosan di Papua sedikit banyak telah memengaruhi warga untuk datang ke TPS.
Kurangnya sosialisasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat juga dituding sebagai penyebab menurunnya partisipasi masyarakat untuk mencoblos.
Menurut Wakil Ketua I DPR Papua, Yunus Wonda, pada hari H pencoblosan, banyak warga yang tak mendapatkan undangan atau C6. KPU baru mendistribusikan undangan pada malam dan pagi hari sebelum pencoblosan. “Bahkan ada satu TPS di Jayapura tidak sampai 20 orang yang datang sampai pukul satu lewat. Sementara ada 3-400, 500-an undangan yang tersisa. Bahkan ada yang sampai 1.000 undangan tidak bisa terdistribusi,” jelas Yunus Wonda.
Menurut dia, antusiasme pemilih lebih tinggi saat pemilu legislatif. “Tetapi di pilpres ini, saya lihat euforia dari rakyat sangat minim.”
Minimnya partisipasi pemilih, lanjut Yunus, karena adanya isu boikot pilpres yang dihembuskan oknum tertentu. Ini membuat membuat warga takut untuk keluar rumah dan masuk ke bilik suara.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)