Surat Suara (Ilustrasi)
Surat Suara (Ilustrasi)

Kecurangan dalam Pemilihan Umum bukan lagi cerita baru. Dalam momen Pilpres 2014, kecurangan nampaknya juga tak bisa dihindari. Lihat saja di Papua, dimana sejumlah pemilih di Kota Jayapura, dengan mudahnya mencoblos lebih dari satu kali.

 Papua memang diprediksi menjadi wilayah rawan pelanggaran akibat jauh dari pantauan media.

 Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokras (Perludem) Ferry Junaedi mengatakan, berkaca di Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu, Papua paling banyak ditemukan bentuk penyelewengan pemilu.  

 Menurutnya, Papua tidak diragukan lagi sebagai sarang kecurangan. “Maka tidak heran dalam sidang PHPU pileg di Mahkamah Konstitusi (MK), Papua berada diperingkat pertama dimana terdapat 100 gugatan diajukan ke MK,” ujarnya dia.

 Maraknya proses perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pileg di MK, kata Ferry, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi KPU dan Bawaslu untuk mencegah jual beli suara. Termasuk menekan bentuk kecurangan lainnya sehingga persoalan pilpres tidak menumpuk di MK. Konteksnya indepensi KPU dan Bawaslu penting dibutuhkan agar masyarakat percaya terhadap penyelenggaraan pilpres.

Baginya, Bawaslu sejauh pengamatan selama ini, bergerak lamban mengantisipasi dan mencegah kecurangan pemilu di Papua. Temuan-temuan Bawaslu dilapangan jarang dituntaskan, umumnya Bawaslu lebih banyak duduk manis menerima laporan dari masyarakat. Laporan pun terkadang tidak ditindaklanjuti. “Belum ada langkah kuat dari Bawaslu terkait pelanggaran muncul dilapangan. Artinya Bawaslu bisa dibilang gagal memotret, memetakan dan mencegah persoalan sehingga banyak pelanggaran pemilu menumpuk di MK,” tukasnya.

 

Sementara itu, indikasi kecurangan pasca pilpres, misalnya, mulai ditemukan pada formulir C1 yang diunggah ke situs KPU. Salah satu indikasi kejanggalan yakni, adanya modifikasi angka pada kolom rincian perolehan suara.

Menyikapi kecurangan penggelembungan suara terhadap salah satu pasangan capres dan cawapres itu, Kelompok Penyelenggara pemungutan Suara (KPPS) TPS 01 Kampung Yahim, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, mengantisipasinya dengan menuliskan angka di sebelah kolom jumlah rincian perolehan suara sah agar formulir C1 tidak dimanipulasi.

Pada TPS 01, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 35 suara. Oleh panitia KPPS, ditulis: ‘tiga puluh lima’ di samping nama pasangan capres-cawapres. Sedangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memperoleh 317 suara, dituliskan ‘tiga ratus tujuh belas’. Total seluruh suara sah berjumlah ‘tiga ratus lima puluh dua’, dan jumlah suara tidak sah satu.

Formulir C1 ini kemudian ditandatangani oleh panitia KPPS yang berjumlah tujuh orang dan dua saksi dari pasangan capres-cawapres.

 

Kecolongan

KPU tampaknya memang kecolongan dengan ‘ulah’ sejumlah KPU Kabupaten/Kota yang sudah mengunggah hasil rekapitulasi suara tingkat kab/kota (DB1) melalui website KPU, padahal rekap suara kab/kota menurut jadwal baru bisa dimulai Rabu (16/7).

Hasil rekapitulasi tingkat kabupaten/kota tersebut setelah dicek kembali melalui website pemilu2014.kpu.go.id, ternyata sudah dihapus oleh KPU. Tidak ada data yang ditampilkan.

Setelah ditelusuri melalui lamannya pilpres2014.kpu.go.id/db1.php, layanan untuk menampikan hasil rekap DB1 itu masih tersedia, namun tidak menampilkan data apapun. Hanya keterangan ‘Fitur ini menunggu rapat pleno tingkat kabupaten’.

Sebelumnya, pantauan pukul 16.40 WIB, Selasa (15/7/2014), laman itu menampilkan data hasil rekapitulasi tingkat kab/kota. Ada 14 kabupaten/kota yang sudah mengunggah hasil rekapitulasinya dalam website KPU RI.

Format pengunggahan sama dengan hasil rekap kecamatan yaitu dibedakan ‘terverifikasi’ dan ‘belum terverifikasi’. Sudah terverifikasi menurut provinsi yaitu: Bengkulu (1 kab/kota), DKI Jakarta (1 kab/kota), dan Papua (1 kab/kota).

Belum terverifikasi menurut provinsi yaitu: Aceh (2 kab/kota), Sumatera Utara (2 kab/kota), Jambi (1 kab/kota), Bengkulu (1 kab/kota), Jawa Barat (2 kab/kota), Kalimantan Timur (1 kab/kota), Gorontalo (1 kab/kota), Papua (1 kab/kota)

Atas berbagai dugaan kecurangan ini, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pun membuka 6 posko pengaduan bagi masyarakat yang menemukan kecurangan terkait proses pilpres.

Komnas HAM melakukan pemantauan proses pilpres di DKI Jakarta (Jabodetabek), Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. “Mencermati seluruh potensi pelanggaran HAM yang terjadi akibat tindak pidana pilpres 2014 atau praktik-praktik manipulasi suara, maka Komnas HAM membuka posko pengaduan,” ujar Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas.

Menurut Hafid, posko ini akan dibuka di kantor Komnas HAM selama 24 jam untuk melayani masyarakat. Selain di Jakarta, posko juga akan dibuka di 6 kantor Komnas HAM yang ada di daerah. “Posko dibuka di 6 daerah yaitu di Aceh, Sumbar, Kalbar, Sulteng, Maluku, Papua,” kata Manager Nasution, koordinator pemantauan pilpres.

Manager menyebutkan posko dibuka hingga pelantikan presiden Oktober nanti. Meski membuka posko, Komnas HAM sifatnya hanya akan memberi masukan atau desakan untuk penyelesaian masalah. “Kasus-kasus kami mendorong diselesaikan di masing-masing tingkatan permasalahan.”

Hafid menjelaskan bahwa posko pengaduan ini dibuat sebagai bagian tanggung jawab moral institusi Komnas HAM. Posko disebut sebagai upaya Komnas HAM agar pilpres berjalan baik dan tidak ada konflik. “Pengaduan akan kami tindaklanjuti terserah nanti bagaimana mekanismenya. Kami akan bertemu dengan panglima TNI, kapolri, KPU untuk memberikan masukan,” ungkap Hafid.

Komnas HAM menyatakan jika ada temuan atau pengaduan kecurangan akan diserahkan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam menindaklanjutinya. Dalam hal ini KPU, Bawaslu, dan Polri.

 

Pilpres Ulang

Pelaksanaan Pilpres telah usai. Meski demikian, tidak untuk sejumlah TPS yang harus menggelar pemilihan ulang karena berbagai alasan. Di Nabire Papua, Komisi Pemilihan Umum diminta melangsungkan pilpres ulang di lima kampung/kelurahan yang berada di Distrik Wapoga. “Kami minta pemilu ulang karena saat Pilpres 9 Juli lalu terjadi sejumlah kecurangan di Wapoga. Terjadi pelanggaran undang-undang tentang pemilu,” ujar Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) di Distrik/Kecamatan Wapoga, Yuli Ernawati Wamafma di Nabire.

Yuli menjelaskan, terdapat lima kampung di Distrik Wapoga yakni Samanui, Totoberi, Keuw, Taumi dan Kamarisano yang merupakan ibu kota distrik. Seharusnya ada enam tempat pemungutan suara (TPS) di daerah itu. “Taumi adalah salah satu kampung yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten yakni Nabire. Transportasi satu-satunya ke kampung itu dengan helikopter dengan memakan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dan perahu boad satu hari,” ujarnya.

Kemudian jika menggunakan perahu dan speedboad ke Taumi memakan waktu dua hari satu malam. Pengantaran logistik ke kampung itu terlambat. “Logistik baru dikeluarkan dari KPU Nabire pada 8 Juli, kemudian diantar ke ibu kota distrik. Tanggal itu, saya sudah berada di Samanui untuk memastikan sudah ada TPS atau belum dan apakah logistik sudah tiba atau belum,” katanya.

Semsampai di Taumi ternyata belum ada TPS yang disiapkan, anggota dan ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara juga tidak berada di lokasi itu. Logistik berupa kertas suara, kotak suara dan formulir C1 juga belum tiba.

Dia mengaku, ketika tiba dan memastikan kesiapan, masyarakat bertanya apakah mereka juga ikut mencoblos atau tidak. “Ketika masyarakat tanya, saya bingung lalu saya kumpulkan masyarakat dan minta mereka bersabar jika logistik tiba baru warga menyiapkan TPS untuk nyoblos,” ujarnya.

Logistik baru tiba di lima kampung itu pada Rabu, 9 Juli, itu pun sudah pukul 13.00 WIT yang sebenarnya sudah waktunya mengakhiri pencoblosan dan dilanjutkan penghitungan suara. TPS juga sudah ditutup.

Tempat pemungutan suara juga tidak disiapkan. Karena menunggu logistik pilpres lama datang, akhirnya masyarakat di daerah itu pergi ke kebun dan berburu.

Tiba-tiba kepala distrik setempat, Berry Saroy datang dari ibu kota distrik yakni kampung Kamarisano. Ia datang dengan tangan kosong tidak membawa logistik pilpres.

Kepala distrik bermaksud membawa perwakilan masyarakat ke Kamarisano ibu kota distrik. Ternyata sudah ada perwakilan warga dari empat kampung itu dikumpulkan, disiapkan mewakili masyarakat untuk memilih/mencoblos. Pencoblosan sistem perwakilan itu kemudian dilakukan dan sejumlah warga setempat sepakat semua surat suara dicoblos untuk pasangan capres nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Beranjak dari itu Ketua Panwas Yuli melayangkan surat ke KPU Nabire untuk minta pemilu ulang. “Kami masih tunggu jawaban dari KPU Nabire,” ujarnya.

Selain di Nabire, persoalan Pilpres juga terjadi di Kabupaten Yahukimo. Disana, sebanyak 14 distrik harus menggelar Pilpres susulan lantaran tidak adanya logistik yang diterima. Cuaca buruk telah menghambat distrikbusi logistik Pilpres ke daerah itu. Jumlah pemilih yang belum menggunakan hak pilihnya di 14 distrik tersebut sebanyak 60.447 orang.

Wakil Ketua Bidang Strategi Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, M Romahurmuziy mengatakan, hasil penghitungan suara di Kabupaten Yahukimo, tidak berdampak signifikan untuk mendongkrak perolehan suara Pemilu Presiden.

Romy, sapaan akrabnya mengatakan, masyarakat yang bisa menggunakan hak pilihnya di Papua ditaksir mencapai dua persen dari total seluruh pemilih di Indonesia. Sehingga, tidak mungkin berdampak berarti. “Di sana kan suaranya sekitar empat juta. Kalau 4 juta dari 190 kan sekitar dua persen saja. Sehingga, tidak akan banyak berpengaruh kalau itu hanya Yakuhimo,” katanya.

 ***

Berbagai kasus pelanggaran Pilpres di Papua, tak pelak telah menciderai demokrasi. Itu belum lagi ditambah dengan banyaknya warga yang memilih golput.  

Komisoner KPU Papua, Tarwinto mengatakan, dibeberapa daerah, memang terjadi penurunan partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. “Tapi kami belum bisa memberikan keterangan seberapa besar penurunananya sebelum ada rekapitulasi dari seluruh Kabupaten dan Kota. Sedangkan informasinya, di Kabupaten Merauke partisipasi masyarakat turun hingga 50 persen. Kota Jayapura dan Yapen juga demikian,” kata Tarwinto.

Padahal lanjut Tarwinyo, jauh sebelum hari pencoblosan KPU setempat telah melakukan sosialisasi ke masyarakat agar menggunakan hak pilihnya. “Mungkin antusias masyarakat dalam Pilpres, 9 Juli lalu disebabkan kekecewaan masyarakat pada Pemilihan Legislatif, 9 April,” kata Tarwinto.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

  

 

 

 

By Admin