Mereka hidup dan berjuang untuk tanahnya.
Yakin, hutan bukan hanya untuk diperas tapi juga dihormati.

Warga Kampung Senegi - Merauke
Warga Kampung Senegi – Merauke

Sejak dulu suku-suku di Papua telah melanglang buana mencari makan. Mereka berpindah untuk mempertahankan hidup. Suku-suku ini tidak merusak. Mereka sangat menghormati tanah bak seorang ibu. Beberapa ratus tahun setelah itu, suku dari luar Papua mulai masuk. Merusak lahan dan mengeksploitasi sumber daya alam.

‘Merajai’ kekayaan alam terjadi di banyak tempat. Di Merauke, Orang Marind berjuang keras untuk bisa kembali memperoleh haknya sebagai pemilik tanah. Medco dianggap sebagai salah satu yang harus bertanggungjawab atas perusakan hutan dan lahan di tanah Orang Marind itu.

Perusahaan ini beroperasi disebagian besar wilayah Merauke dalam proyekyang disebut MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Dalam konsep MIFEE, Merauke menjadi lahan garapan korporasi yang juga menaungi petani lokal. Lahan satu juta hektar dimanfaatkan dalam lima kluster. Tiap kluster seluas 200 ribu ha terdiri dari 40 subkluster.

Departemen Kehutanan bahkan mengalokasikan 585 ribu ha untuk pengembangan produksi tanaman pangan, khususnya padi. Status lahan tersebut nantinya disewakan kepada swasta dalam bentuk hak guna usaha.

Pemda Merauke telah mendapat komitmen dari beberapa perusahaan untuk membangun pertanian di sana. Antara lain Artha Graha, Bangun Tjipta, Comexindo International, Medco Group, Digul Agro Lestari, dan Klinik Agropolitan Gorontalo. Sejumlah perusahaan itu kini sudah memulai aktivitas di lapangan.

Sekurangnya 8.000 hingga 10.000 hektar lahan telah disiapkan untuk pertanian beras. Sementara lahan seluas minimal 30.000 hektar juga telah disiapkan untuk pertanian gula.

Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas, atau “food estate” di  Merauke, diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp 50 triliun hingga Rp 60 triliun. 

Tidak hanya Orang Marind di Selatan Papua, di bagian utara, tepatnya di Teluk Bintuni, Masyarakat dari tujuh suku besar yang bermukim di kawasan itu; Irarotu, Wamesa, Sebiar, Simuri, Kuri, Soub dan Moskona, juga mengalami nasib serupa.

Jauh sebelum Indonesia mengekploitasi sumber daya alam, Teluk Bintuni telah dijadikan kawasan eksploitasi SDA oleh penguasa-penguasa terdahulu (Belanda). Misalnya terlihat dengan didirikannya pelabuhan minyak Belanda saat itu.

Setelah pemerintah Indonesia masuk ke Papua, kawasan teluk Bintuni tetap menjadi kawasan eksploitasi terkemuka.Proyek LNG Tangguh dianggap sebagai biang terpuruknya tujuh suku. Proyek LNG (gas alam cair) Tangguh mengambil kawasan di daerah lepas pantai (offshore) dan daratan (onshore) di sekitar kawasan Teluk Bintuni.

Secara administratif, lokasi proyek LNG Tangguh ini tercakup ke dalam tiga wilayah yaitu Kabupaten Manokwari, Fak-Fak dan Sorong dengan cadangan LNG terbukti 14.7 TCF (Triliun Kaki Kubik).

LNG Tangguh adalah mega-proyek untuk menampung gas alam yang berasal dari beberapa Blok di sekitar Teluk Bintuni, seperti Blok Berau, Blok Wiriagar dan Blok Muturi. LNG ini melengkapi pengilangan gas yang sudah ada di Indonesia, yaitu di LNG Arun, Aceh dan LNG Bontang, Kalimantan Timur.

Proyek LNG Tangguh mulai dibangun sesuai dengan persetujuan Pemerintah dan partner pada bulan Maret 2005. Proyek raksasa ini dikerjakan jangka panjang bersama Fujian LNG di Cina, K-Power dan POSCO di Korea, serta Sempra Energy di Meksiko

Berbagai kalangan sebelum LNG Tangguh dibangun memang meragukan proyek tersebut bisa sukses. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dulunya sempat membentuk tim negosiasi untuk membicarakan kembali harga LNG Tangguh terutama untuk pembeli CNOOC, di LNG receiving  terminal Fujian, Cina. 

Setelah MIFEE dan LNG tangguh, PT Freeport Indonesia di Timika, juga mempunyai cerita sendiri menguras alam.

 

Otonomi Khusus

Orang Papua benar-benar terjepit. Usai kekayaannya dikeruk, kini datang lagi ‘musibah’ dalam bentuk ketidakpastian pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Dana triliunan rupiah yang digelontorkan tiap tahun bagi Papua, tak jelas kemana.

Kebijakan otonomi khusus (otsus) yang diterapkan di Papua mulai tahun 2002, sebenarnya memungkinkan wilayah itu menjadi kaya raya. Sejak 2002 hingga 2013, dana otsus yang telah dikucurkan sudah sebesar Rp 32,709 triliun (Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Papua). Pada 2014, jumlah itu bertambah Rp 4,777 triliun dan Rp 2,5 triliun yang berasal dari dana infrastruktur.

Namun, semua kelimpahan itu belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan di Papua. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, proporsi penduduk miskin Papua pada September 2013 masih 31,53 persen, jauh di atas angka nasional (11,37 persen). Indeks Pembangunan Manusia Papua juga ada di peringkat terendah nasional. Indikator itu jadi sinyal penting atas situasi nyata kehidupan masyarakat Papua.

“Program otsus tidak berhasil mendorong masyarakat asli mengambil peran-peran ekonomi,” kata Thaha Al Hamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua. Kenyataan ini mengingkari salah satu tujuan otsus, yaitu memberdayakan ekonomi warga Papua.

Kegagalan itu berpotensi menciptakan migrant capture di Papua. Akses terhadap proses dan manfaat pembangunan pun ditangkap dan dikuasai para migran non-Papua. Orang Papua mengalami peminggiran, tak ikut menikmati pembangunan. Kalaupun ada, hanya segelintir elite Papua, terutama mereka yang punya jabatan birokrasi (John Jonga dan Cypri JP Dale, 2011).

Proses peminggiran sudah tampak dari perubahan komposisi penduduk. Penelitian Jonga dan Dale menyebutkan, akibat dari transmigrasi resmi pada masa Orde Baru ataupun migrasi spontan, komposisi penduduk Papua dan non-Papua berubah dari 96 : 4 menjadi 49 : 51 pada 2010.

Pertumbuhan penduduk asli Papua hanya 1,84 persen per tahun, sementara non-Papua 10,82 persen. Dengan demikian, dalam tiga dekade ke depan warga Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.

 

Kekerasan

Marjinalisasi orang asli Papua diwarnai pula oleh berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di samping kekerasan politik, seperti pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Opinus Tabuni, Mako Tabuni, peristiwa Abepura 2011 dan Wamena 2012, tak sedikit kekerasan yang terjadi karena dipicu pilkada ataupun konflik dengan perusahaan tambang dan pemegang hak pengusahaan hutan.

Pengambilalihan tanah ulayat oleh perusahaan besar kerap menyisakan masalah. Bukan saja kompensasi yang tak sebanding, melainkan juga ”perampasan” tanah, alat produksi, dan sumber penghidupan mereka yang diikuti dengan penghancuran ekologi. Sebagian warga yang kehilangan tanah ulayatnya beralih menjadi pekerja di proyek.

Jika proses peminggiran terus terjadi, otsus yang bercita-cita memajukan Papua bukan tak mungkin justru membangkitkan kembali ingatan akan kemerdekaan.

(Jerry Omona/JERAT/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *