Kabar peredaran dan perdagangan senjata api di Papua, tak bisa dianggap enteng. Bila dibiarkan, taruhannya; runtuh keutuhan NKRI.
Kepolisian sendiri terus menelisik jaringan peredaran senjata tersebut. Diduga, sejumlah senjata berasal dari Philipina Selatan dan Papua Nugini yang akan diseludupkan ke wilayah konflik di daerah pegunungan Papua. “Kami masih mengembangkan kasus ini,” kata mantan Kapolda Papua Irjen Polisi Tito Karnavian, beberapa waktu lalu.
Tito menjelaskan, terungkapnya jaringan perdagangan senjata dari Mindanao, Philipina Selatan melalui Pulau Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, bermula ketika seorang pria berinisial JM tertangkap membawa ratusan amunisi bersama 3 pucuk senjata, jenis Armalite AR-15, Revolver dan FN di Pelabuhan Sorong, 6 Mei lalu.
Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa tersangka JM merupakan jaringan kelompok bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya.
Polda Papua juga sedang mengusut dugaan keterlibatan oknum pejabat salah satu Kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang diduga mendanai pembelian senjata. “Kami baru memiliki satu alat bukti, dan kami masih mencari bukti lain keterlibatan oknum pejabat itu.”
Setelah penangkapan terhadap JM, tidak lama kemudian, Rabu 25 Juni 2014, empat pria didapati membawa senjata yang akan diseludupkan. Mereka anak buah Purom Wenda, panglima Tentara Pembebasan Nasional di Lanny Jaya. Penangkapan terjadi di jalan Abe Pantai, Kota Jayapura, dengan barang bukti amunisi 1.216 butir, 2 pucuk senjata laras panjang jenis Engle Loop. Petugas langsung mengamankan pelaku atas nama Edy Wakur (37 tahun), Deni Wetipo (19 tahun), Tiba Tabuni (42 tahun), dan Rampi (20 tahun).
Panglima TPN OPM Lanny Jaya, Purom Okiman Wenda mengaku anak buahnya telah ditangkap polisi karena membawa senjata api. “Iya, itu anak buah saya,” ujarnya.
Pasukan Purom memiliki puluhan senjata otomatis. Ia disebut-sebut sebagai satu dari tiga ‘penguasa’ di wilayah pegunungan tengah Papua, selain Erimbo Enden Wanimbo dan Goliath Tabuni yang bermarkas di Tingginambut, Puncak Jaya.
Purom berafiliasi dengan kelompok Erimbo yang menguasai Jayawijaya. Erimbo sendiri membangun markasnya di daerah gunung terjal, di kawasan Distrik Pirime, Lanny Jaya. Perjalanan dari Wamena, ibukota Jayawijaya ke Pirime, sekitar tiga jam menggunakan kendaraan darat.
Dalam sebuah pertemuan, antara JERAT dan pasukan Erimbo di awal Juli 2014, pasukannya sekitar seratus orang, membawa busur dan panah. Mereka mewarnai tubuh dengan arang dan menari menyambut kedatangan wartawan. “Kami hanya mempercayai Anda. Leluhur bangsa Papua merestui pertemuan ini. Sampaikan pada dunia bahwa kami siap berperang,” kata Erimbo.
Kasus Lama
Sebelum pengungkapan kasus Philipina, Polisi sebenarnya sudah pernah menggagalkan beberapa kejadian peredaran senjata api di Papua.
Misalnya, dengan menangkap RT yang membawa puluhan amunisi dari Papua Nugini di Pelabuhan Jayapura, 26 Februari lalu.
Pada 2011, Kepolisian Daerah Papua juga menemukan 11 senjata api laras panjang beserta amunisinya dalam sebuah bengkel milik PT, 53 tahun, di Jalan Raya Abepura, Kamkey, Kelurahan Awiyo, Kota Jayapura. Temuan belasan pucuk senjata itu, sebut polisi, tidak terkait dengan keberadaan kelompok separatis.
Pada awal 2012, polisi sukses pula mengungkap transaksi perdagangan senjata api di Timika. Empat orang terlibat dari transaksi tersebut, diringkus. Awalnya polisi mencurigai gerak-gerik tersangka A alias N (26) yang berangkat dari Ambon menumpangi kapal Pelni. Dalam aksinya, A dibantu oleh LE (24). Keduanya menjual senpi kepada JL alias P (36). Transaksi dilakukan di rumah AM (32).
Dari keempat tersangka, polisi menyita barang bukti berupa 2 pucuk senjata api rakitan, 1 laras pendek dan panjang, serta 61 butir peluru. Berdasarkan keterangan tersangka, senjata itu dijual dengan harga Rp 10 juta. Polisi menjerat keempatnya dengan pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api.
Dua tahun sebelumnya, Juni 2010, Polda Papua juga berhasil menggagalkan pengiriman puluhan amunisi ke Puncak Jaya. Amunisi kaliber 5,56 sebanyak 38 butir, amunisi AK-47 tujuh butir, dan satu magazen yang terbungkus rapi dalam kardus amplifier itu dikirim menggunakan pesawat komersil Manunggal dari Jakarta ke Wamena, melalui Bandara Sentani Jayapura.
Pengiriman amunisi ini, diduga ada kaitannya dengan serangkaian aksi penyerangan pos-pos keamanan di Puncak Jaya. Misalnya pada 14 Juni 2010, saat kelompok bersenjata menyerbu Pasukan Brimob yang sedang melakukan patroli rutin di Kampung Yambi, Distrik Mulia, Puncak Jaya. Penembakan itu menewaskan seorang anggota Brimob Kelapa Dua, Brigadir Satu Agus Suhendra.
Harus Dihentikan
Peredaran senjata api di Papua harus dihentikan. Karena dampaknya, dapat mengena pada warga sipil. Dari berbagai pengungkapan kasus di Papua, kata Tito, mantan Kapolda Papua, membuktikan bahwa pasokan senjata kepada kelompok-kelompok sipil di wilayah Pegunungan Tengah, tidak hanya dari hasil rampasan, namun juga melalui perdagangan ilegal dengan pihak asing. “Kelompok sipil yang sering melakukan aksi kriminal, umumnya mendapat senjata rampasan dari aparat yang lengah, seperti di Pos Kulirik, Puncak Jaya. Selain itu, mereka juga sudah mulai memasok persenjataan dari luar negeri melalui jalur perdagangan senjata ilegal.”
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny Franky Sompie mengatakan, pengiriman senjata biasanya melalui jalur yang sulit diawasi. “Seperti masuk lewat pantai, menggunakan perahu, atau lewat sungai-sungai,” ungkap Ronny.
Tapi, untuk jalur-jalur masuk resmi, lanjut Ronny, pihaknya sudah bekerja sama dengan instansi terkait. Itu membuat kecil kemungkinan senjata api ilegal masuk lewat bandara atau pelabuhan resmi.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)