Rawa Biru merupakan salah satu sumber air bersih di Merauke. Bagaimana nasibnya kini ?
Rawa Biru masuk dalam wilayah Distrik Sota dengan luas DAS (Daerah Aliran Sungai) 4.791,671 km2. Luas badan air aktualnya; 95 ha. Penduduk yang diam di wilayah DAS Rawa Biru bermukim dibeberapa kampung. Yakni, Rawa Biru, Yanggandur, Sota, Tomerau dan Kampung Kondo. Rawa Biru berada dalam kawasan Taman Nasional Wasur. Teridentifikasi sekitar 32 jenis burung hidup disini.
Sebagai sebuah kawasan dilindungi, Rawa Biru menjadi prioritas yang selalu dijaga. Taman Nasional Wasur (TNW) sendiri memiliki bidang tanah kering. Luasnya mencapai 413.810 hektar. Luasan tanah kering itu yang kemudian diabadikan menjadi sebuah Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri KehutananRepublik Indonesia Nomor 287/Kpts-VI/1997. TNW pada bagian Utara dibatasi oleh Sungai Maro dan bagian Selatan berbatasan dengan Laut Arafura.
“Kekayaan yang ada di lahan basah ini sungguh mengagumkan,” kata bekas Kepala Balai Taman Nasional Wasur, Tri Siswo Raharjo.
Kawasan Wasur kini memegang fungsi hidrologi sebagai paru-paru dunia dan filter terhadap angin serta menjaga kestabilan iklim. Di lokasi inilah sering dirayakan Hari Lahan Basah Sedunia.
Menjawab Kebutuhan Air
Rawa Biru termasuk dalam danau tadah hujan. Semua habitat yang hidup disana termasuk manusia bergantung padanya. Kerap Rawa Biru disebut pula sebagai penyangga bagi lingkungan dan manusia di Merauke.
Penelitian tentang Rawa Biru pernah dilakukan untuk menjawab kekurangan air. Dalam sebuah kajian tentang Studi Freshwater (Management Plan) Rawa Biru, beberapa tahun silam, oleh Fakultas Geografi UGM bersama Yayasan WWF Indonesia Region Sahul Papua, didapati tiga faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan Rawa Biru. Diantaranya pemanfaatan air yang lebih besar selama musim kemarau, adanya perubahan tatanan air permukaan dan hutan jarang yang mengalami perubahan fungsi.
Kajian ekosistem air permukaan Rawa Biru – Torasi Merauke ini menggunakan citra penginderaan jauh dan SIG (Remote Sensing and GIS for Surface Water Resourcesin Rawa Biru – Torasi Merauke Papua).
Hasil kajian ketika itu menunjukkan, problema lingkungan terkait keberadaan permukaan di DAS Rawa Biru – Torasi telah mengalami penurunan debit. Antara lain disebabkan oleh pengambilan air yang makin banyak di musim kemarau, pembangunan tanggul jalan trans Irian dan meningkatnya lahan terbuka.
Kondisi tersebut diikuti juga dengan perubahan lingkungan dalam DAS. Pada akhirnya menyebabkan pendangkalan rawa, berkurangnya debit, serta menurunnya kualitas dan kuantitas air.
Dari hasil klasifikasi citra satelit, juga menunjukan, sejak 1990 telah terjadi penutupan tumbuhan Tebu Rawa di dekat pulau Kelapa, dan daerah ujung selatan badan Rawa Biru. Pada tahun 1997 terjadi perubahandengan terbukanya kembali badanair. Kondisi ini relatif sama dengan citrahasil perekaman tahun 2001. Adanya perubahan permukaan air yang semula tertutupoleh tebu rawa menjadi badan air yangterbuka disebabkan oleh hasil program pengendalian populasi tebu rawa, yangtelah dilakukan sebelum Mei 1997.
Hasil kajian tersebut merekomendasikan beberapa hal agar kerusakan ekosistem di Rawa Biru tidak berlanjut, sekaligus tidak membahayakan ketersediaan sumber air domestik. Diusulkan adanya 5 solusi. Yakni, Mechanical approach atau penggunaan alat berat seperti traktor untuk membuka lahan yang telah dangkal. Biological control approach atau mengembangkan insect atau ikan local yang dapat mengontrol populasi tumbuhan air, Hydrological solution atau meningkatkan tinggi muka air dengan membangun tanggul di outlet utama Rawa Biru dan membuka kembali saluran dari sungai Torasi ke Rawa Biru.
Selanjutnya, keempat, Burning, yakni selama musim kemarau pengendalian vegetasi dapat dilakukan dengan pembakaran, tetapi perlu dipertimbangkan efek terhadap kualitas air. Dan terakhir adalah Economic approach. Yakni panen tumbuhan rawa untuk bahan baku kerajinan atau lainnya.
Kombinasi dari pendekatan hidrological,pembakaran terkontrol, dan pendekatan mekanik lebih memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu yang singkat. Penentuan solusi ini didasarkan pada pertimbangan fungsi komponen utama ecologi. Selama musim banjir permukaan air Rawa Biru meningkat. Sebaliknya pada saat musim kemarau potensi kebaran lebih mudah terjadi. Kedua komponen tersebut telah berhasil menjaga mosaic dan penyebaran vegetasi selama ini. Landscape yang dihasilkan merupakan proses pengendalian oleh api dan banjir selama ratusan tahun.
“Kita hanya bisa berharap agar Rawa Biru tetap terjaga dan tetap dapat menyediakan air untuk warga di Kota Merauke,” kata Marco Watimena, pemerhati lingkungan.
(Jerry Omona/JERAT/JUBI)