Setiap menit hutan di Tanah Air berkurang sebanyak tiga kali lapangan sepak bola. Tak heran, jika lebih empat juta hektare hutan Indonesia rusak. Sekitar 80 persen dari kerusakan itu diduga akibat penebangan liar. Sejatinya, negara secara keseluruhan dirugikan sedikitnya Rp 30 triliun per tahun. Jumlah yang lebih dari cukup untuk membangun ribuan sekolah dan pusat kesehatan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Ironisnya, Malaysia yang disebut-sebut kerap melakukan “pemutihan” terhadap kayu selundupan asal Indonesia ini justru meraup untung lebih dari US$ 1 miliar per tahun. Selain itu, Malaysia juga tetap bisa mempertahankan jumlah produksi kayu dalam satu dekade terakhir sebesar 40 juta meter kubik per tahun. Padahal, kemampuan hutan mereka sudah berkurang setengahnya.
Ramin, kayu yang sebagian besar tumbuh di hutan rawa-rawa di Pulau Sumatra dan Kalimantan ini sudah di ambang kepunahan. Pasalnya, kayu yang sudah didaftarkan Indonesia sebagai jenis kayu langka ini diselundupkan secara besar-besaran ke Malaysia. Investigasi dari Badan Investigasi Lingkungan (EIA Telapak), belum lama ini, menunjukkan bahwa perdagangan kayu ramin itu berlangsung secara besar-besaran dan sistematis. Ada banyak pelabuhan di Malaysia yang didatangi kapal-kapal Indonesia. Di Semenanjung Malaysia, aktivitas itu terjadi di Pelabuhan Port Klang, Melaka, Muar, Pahang, dan Johor. Sementara di Kalimantan, pelabuhan tempat menyelundupkan kayu itu ada di Tanjung Manis dan Senari, Serawak.
Di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, misalnya. Pada musim hujan aktivitas penebangan liar itu meningkat mengingat kanal-kanal di lahan gambut di sana dipakai menghanyutkan kayu hasil tebangan ilegal. Ribuan meter kubik kayu ramin dalam bentuk gelondongan itu kemudian ditampung cukong atau penadah kayu ilegal. Nantinya, para cukong inilah yang akan menyelundupkan hasil hutan tersebut ke Malaysia. Di sinilah kemudian proses pemutihan kayu ilegal itu dilakukan oleh berbagai pihak di Negeri Jiran itu. Contohnya, petugas pabean setempat tak pernah mengecek sertifikat asal kayu. Cukup dengan uang 15 ringgit per meter kubik, kayu ilegal asal Indonesia itu langsung menjadi komoditas halal di Malaysia. Sebuah data dari analis independen menyebutkan lebih dari 60 persen produk kayu Malaysia dipasok dari penyelundupan.
Data tersebut bukanlah sekadar dugaan. Seorang petugas Pelabuhan Johor, Malaysia, Jack Abbas mengakui, jika 90 persen kayu selundupan asal Indonesia itu diberi dokumen-dukumen palsu. Begitu juga di Pelabuhan Senari, Malaysia. Menurut petugas pelabuhan, semua kayu yang ada di sana dari Indonesia dan hendak dipasarkan ke Amerika Serikat. Puluhan peti kemas yang ada tampak bermuatan kayu ramin dalam bentuk moulding dan dowel. Sementara kayu-kayu ramin yang berada di beberapa pelabuhan di Serawak salah satunya juga diduga berasal dari kawasan konservasi lahan basah Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Buktinya, sebuah truk penuh dengan muatan kayu bernomor polisi Serawak pernah ditangkap di Lubuk Antu, salah satu pintu masuk di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam setahun diperkirakan setengah juta meter kubik ramin masuk ke Serawak dengan cara diselundupkan.
Ramin dalam kesepakatan internasional disebutkan jika hendak diperdagangkan harus memiliki sertifikat cites atau spesies yang dilindungi. Ironisnya, Malaysia sejak awal adalah negara yang menolak usulan Indonesia agar ramin masuk dalam spesies yang dilindungi itu. Tapi, di balik itu Malaysia justru dengan canggihnya memalsukan sertifikat cites sehingga produk kayu ramin itu diperdagangkan dapat ke Eropa dan Negeri Paman Sam.
Berbeda dengan Kalimantan dan Sumatra, di Sorong, Papua, kayu merbau yang menjadi incaran mafia kayu untuk diselundupkan secara besar-besaran ke Malaysia, India, dan Cina. Padahal, hutan di sana selama ini dikenal sebagai hutan alam terbaik kedua yang ada di dunia. Tapi, karena adanya perampokan kayu itu, sekitar 65 persen hutan Papua rusak. PT Rimbunan Hijau, perusahaan asal Malaysia diduga sebagai pemain penting bisnis ilegal di Distrik Sermuk, Sorong Selatan, Papua. Perusahaan ini diketahui bermitra dengan PT Papua Silva Lestari. Dalam hal ini, PT Rimbunan Hijau mengambil kayu merbau di Sermuk.
Meski hasil hutan terus diambil, warga Kampung Mlaswat, sebagai pemilik sah kawasan hutan tersebut kondisinya jauh dari kehidupan yang layak. Menurut Kepala Dusun Mlawast Yance Sagilo, sebenarnya sudah ada retribusi bagi penebangan kayu di sana yakni Rp 5.000 per meter kubik. Sedangkan untuk kantor desa sekitar Rp 2.000 per meter kubik. Namun, PT Rimbunan Hijau yang beroperasi sejak tahun 2002 hanya membayar sebesar Rp 7 juta. Padahal, kayu yang dipotong mencapai 5.000 per meter kubik. Hitungan kasarnya, uang retribusi yang dibayarkan seharusnya sebesar Rp 125 juta. Kendati begitu, warga tetap tak berani meminta lebih dikarenakan diancam oleh seorang personel TNI bernama Kapten TNI Kaspar, Wakil Komandan Polisi Militer di Sorong.
Kapten TNI Kaspar ini disebut-sebut sebagai broker bagi masuknya pengusaha-pengusaha yang hendak bermain kayu merbau di Sorong. Apalagi, dalam surat perjanjian yang diperlihatkan pengurus adat Sermuk disebutkan adanya surat perjanjian kerja Kapten TNI Kaspar untuk mengelola kayu di Sermuk. Hal itu diperkuat dengan surat pelarangan penebangan kayu di Sorong oleh Kepala Dinas Kehutanan setempat sejak Januari 2002. Menanggapi hal ini, Kapten Kaspar membantah telah memaksa warga untuk menjual kayu ke PT Rimbunan Hijau. Apalagi, perusahaan itu sudah tak beroperasi dan digantikan oleh PT Papua Silva Lestari. Kendati begitu, keduanya adalah anak perusahaan asal Malaysia, Rimbunan Hijau Group. Perusahaan yang didirikan pada 1975 ini diketahui memiliki omzet sekitar US$ 1 miliar, 10 ribu pegawai, dan wilayah bisnisnya mulai dari Papua, Afrika hingga Rusia.
Entahlah siapa yang benar. Namun, penyelundupan kayu-kayu ilegal itu tetap saja berlangsung. Biasanya, menurut sejumlah warga, gelondongan kayu merbau itu diangkut kapal tongkang ke Laut Arafura. Di sana sudah menunggu kapal besar yang akan membawanya ke luar negeri. Terkadang juga, kayu-kayu itu dibawa ke Pulau Jawa dan Sulawesi dengan kapal-kapal kecil. Terakhir, jajaran TNI Angkatan Laut menggagalkan penyelundupan sekitar 17 ribu meter kubik lebih yang dibawa kapal berbendera Malaysia. Ini paling tidak menyelamatkan negara dari kerugian sekitar US$ 8,5 juta.
Lain lagi di Provinsi Riau. Di sana, tepatnya di Hutan Tesso Nilo, setiap tahunnya dibutuhkan sekitar 18 juta meter kubik kayu alam bagi industri kertas Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Asia Pulp and Paper (APP). Luar biasanya, hampir tak ada spesifikasi jenis kayu. Semua diangkut dan diolah menjadi bubur kertas. Di luar untuk kebutuhan kedua industri kertas itu, masyarakat juga butuh lima juta meter kubik kayu log per tahun buat kebutuhan furniture dan bangunan. Tak heran, pangsa pasar yang tinggi itu mendorong maraknya penebangan liar. Dahsyatnya, pembalakan kayu dilakukan 24 jam tanpa henti. Kayu-kayu ilegal itu bisa keluar dari hutan lantaran ada mafia dan personel aparat keamanan yang memperjualbelikan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Itulah sebabnya, dari 9,5 juta hektare luas hutan di Riau, kini yang tersisa hanya sepertiga. “Lebih disebabkan lemahnya penegakan hukum, kemiskinan, dan pasar yang terbuka,” ujar Zulfahmi, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau.
Di Tesso Nilo, para penebang kayu ilegal kerap melewati jalan sepanjang 250 kilometer yang dibangun pihak RAPP. Menurut pihak RAPP, mereka tak berkepentingan melarangnya. Tapi, RAPP membantah kayu-kayu ilegal itu sengaja dibiarkan melewatinya lantaran membawa bahan baku pabrik tersebut. Alasannya, kayu-kayu ilegal itu dipasok ke kilang-kilang kayu yang bertebaran di Pekanbaru. Sebaliknya, informasi yang dihimpun SCTV menyebutkan, kayu-kayu itu justru masuk ke pabrik pulp terbesar di Indonesia itu. Caranya, dokumen SKSHH dibuat aspal atau asli tapi palsu. Aksi ini pun mulus berkat permainan rapi dengan sejumlah petugas Dinas Kehutanan setempat. Tak hanya itu, sepanjang perjalanan ke Pekanbaru, truk-truk pengangkut ini juga menyetor upeti ke petugas terutama polisi.
Selain di Tesso Nilo, di wilayah Riau, pembalakan kayu juga marak terjadi di Hutan Rimbang Baling. Bukit yang sebenarnya berstatus suaka margasatwa itu menjadi sasaran para penebang liar. Di sini, para cukong bahkan sampai menyerobot hutan rakyat yang dikeramatkan. Warga setempat mengaku hanya kebagian sisa-sisa kayu yang tak sempat digergaji para cukong. Modus mengatasnamakan koperasi yayasan atau perusahaan bernuansa aspirasi lokal banyak dijumpai di hutan ini. Mereka biasanya bermitra dengan perusahaan besar di Pekanbaru yang jumlahnya mencapai ratusan.
Ironis memang. Tapi, pemerintah seakan menutup mata dari kenyataan tersebut. Padahal, sudah dapat diketahui. Selain merugikan negara, penebangan liar juga dapat menyebabkan terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor. Itulah sebabnya, selain korban jiwa, 80 juta hektare hutan Indonesia yang masih tersisa hanya tinggal menunggu detik-detik kematian.(ORS/Tim Sigi SCTV)
Sumber : Liputan6.Com