Untuk Menuntaskan Berbagai Masalah yang Menyangkut Hak Masyarakat Hukum Adat

Hak masyarakat hukum adat, termasuk atas tanah, tergolong luput dari perhatian pemerintah. Barulah setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui tanah adat, masyarakat adat mulai mendapat perhatian lebih. Bahkan saat ini sudah disusun RUU mengenai perlindungan masyarakat hukum adat.

Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, mengatakan kurangnya perhatian itulah yang memicu banyaknya terjadi konflik agraria. Karena itu, pemerintah perlu memikirkan langkah konkrit untuk menuntaskan masalah yang bersinggungan dengan masyarakat hukum adat.

Komnas HAM telah membentuk Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Komisioner Inkuiri Nasional merupakan perwakilan dari berbagai pihak terkait yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, akademisi dan pakar di bidang masyarakat hukum adat, agraria, hukum dan HAM.

Sandra menjelaskan Inkuiri Nasional bertujuan meyusun data yang komprehensif terkait hak masyarakat adat dan permasalahannya. Sejak awal 2014, inkuiri nasional sudah melakukan penelitian tentang konflik agraria, pelanggaran HAM dan etnografi masyarakat hukum adat terkait.

Dari data yang terkumpul itu pekan depan Inkuiri Nasional mulai menggelar dengar pendapat umum (public hearing) di sejumlah wilayah terkait pelanggaran HAM terhadap masyarakat hukum adat. Yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Serta Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur. Kegiatan itu akan dihadiri perwakilan masyarakat hukum adat dan pihak yang sering diadukan seperti Kementerian Kehutanan, perusahaan dan pengelola taman nasional terkait.

Inkuiri Nasional akan menerbitkan rekomendasi kepada pemerintah agar hak-hak masyarakat adat lebih diperhatikan. Sandra mencatat berbagai regulasi yang diterbitkan menyangkut hak masyrakat hukum adat saling bertentangan. Ada regulasi mengakui hak masyarakat hukum adat seperti UUPA dan UU HAM. Tapi ada juga sebaliknya, tidak mengakui status hak masyarakat hukum adat seperti UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Sebab yang diakui pemerintah adalah pemilik tanah yang memegang sertifikat. Sedangkan kepemilikan tanah masyarakat hukum adat tidak didasarkan pada sertifikat.

Ujungnya, Sandra melanjutkan pemerintah tidak memberikan pengakuan terhadap hak tersebut. Sehingga memicu konflik agraria dimasyarakat yang terus berlarut sampai sekarang. Oleh karenanya, inkuiri nasional dibentuk dalam rangka membantu pemerintah untuk menuntaskan berbagai macam konflik yang bersinggungan dengan hak masyarakat hukum adat.

Apalagi, pemerintahan akan dipimpin oleh Presiden yang baru. Diharapkan, pemerintahan baru dapat menerbitkan kebijakan yang memperhatikan hak masyarakat hukum adat. “Selama ini pemerintah tidak pernah mengoreksi itu (pengabaian terhadap masyarakat hukum adat, red), makanya konflik agraria terus bermunculan,” kata Sandra dalam diskusi di gedung Komnas HAM Jakarta, Selasa (19/8).

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berharap hasil inkuiri nasional dapat membongkar kebenaran masyarakat hukum adat. Kemudian menerbitkan rekomendasi untuk pemerintahan baru. Selain itu masyarakat bakal mengawal pelaksanaan rekomendasi tersebut oleh pemerintah.

Bahkan Abdon berharap lewat hasil inkuiri nasional Presiden terpilih dapat menjalin kerjasama dengan masayrakat hukum adat. Sehingga, kebijakan yang diterbitkan pemerintah nanti selaras dengan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat. “Kami usulkan Komnas HAM menyatakan kepada Presiden terpilih bersedia mengulurkan tangan untuk membantu Presiden (menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat hukum adat,-red),” tukasnya.

Menurut Abdon Komnas HAM dan masyarakat hukum adat bisa memandu Presiden terpilih nanti untuk mengambil langkah kongkrit pasca diterbitkannya rekomendasi inkuiri nasional. Sehingga selama lima tahun kedepan pemerintah dapat mencari jalan melakukan rekonsiliasi nasional dengan masyarakat hukum adat. Hal itu perlu dilakukan karena selama ini pemerintah abai terhadap hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat.

Direktur Sayogo Institute, Noer Fauzi Rachman, berpendapat pemerintahan baru dituntut mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh regulasi yang saling bertentangan. Khususnya terkait dengan hak masyarakat hukum adat. Hal itu diperkuat dengan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang mengakui status hutan adat.

Akibatnya, Fauzi melanjutkan, pemerintah memasukan wilayah adat sebagai konsesi kepada perushaan dan pengelola taman nasional. Ketika perusahaan beroperasi, mereka kerap menyingkirkan masyarakat adat lewat operasi dan stigmatisasi. Sehingga masyarakat hukum adat kehilangan kampung halaman serta tempat tinggal.
Dengan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 itu Fauzi menilai secara norma status masyarakat hukum adat sudah dipulihkan. Sehingga ada pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai pemilik wilayah adat. “Masyarakat adat termasuk subjek hukum,” katanya.

Sebagai Presiden terpilih, Fauzi mengatakan Jokowi-JK dalam visi dan misinya berjanji untuk mengkaji ulang dan singkronisasi regulasi yang saling bertentangan serta mengabaikan hak masyarkat adat. Kemudian, mengagendakan pembentukan badan independen guna mengurusi konflik agraria wilayah adat. Lalu, melanjutkan legislasi RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan memasukan hak masyarakat adat dalam RUU lainnya.

Oleh karena itu Inkuiri Nasional berupaya menyusun bagaimana kondisi wilayah adat yang berada dalam hutan negara. Hasilnya nanti akan diusulkan kepada pemerintahan baru agar mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang layak dilaksanakan. Sehingga masalah pelanggaran HAM yang sistemik dan meluas terkait masyarakat hukum adat dapat diselesaikan.

Oleh : Ady

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *