Selama periode 2001-2014, pemerintah pusat telah menyalurkan dana Otonomi Khusus (Otsus) senilai Rp 57,7 triliun kepada Provinsi Papua. Bagaimana efektivitasnya?
Menurut Rizal Djalil, Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dana Otsus Papua belum efektif bagi kesejahteraan rakyat Papua. Dia menyebutkan sejumlah indikatornya.
Pertama adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang pada 2012 tercatat sebesar 65,86. “Ini terendah dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia, yang punya rata-rata nasional sebesar 73,29,” kata Rizal dalam Forum Ilmiah tentang Dana Otonomi Khusus 2014 di Universitas Cendrawasih.
IPM di Papua, lanjut Rizal, memang semakin membaik dari tahun ke tahun. Misalnya pada 2001, IPM Papua masih 60,1. Kenaikan Dana Otsus setiap tahunnya ikut berpengaruh terhadap perbaikan IPM Papua. Namun, korelasi antara kenaikan Dana Otsus dan IPM ternyata sangat kecil.
“Setiap penambahan (dana) Otsus sebesar Rp 1 juta hanya meningkatkan IPM Papua 0,000001521. Pengaruhnya sangat kecil, mendekati nol. Dengan kata lain, tambahan dana Otsus tidak signifikan terhadap peningkatan IPM,” papar Rizal.
Indikator kedua adalah angka kemiskinan. Ini pun sebenarnya membaik, di mana pada 2002 angka kemiskinan di Papua masih 51,21 persen dan kemudian terus menurun hingga 30,66 persen pada 2012. Namun lagi-lagi, ternyata korelasi kenaikan dana Otsus dengan penurunan angka kemiskinan tidak signifikan.
“Setiap tambahan Rp 1 juta dana Otsus hanya menurunkan persentase penduduk miskin di Papua sebesar 0,00000172 atau mendekati nol. Dapat disimpulkan dana Otsus tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Papua,” tegas Rizal.
Menurut Rizal, belum efektifnya dana Otsus disebabkan belum adanya perencanaan pembangunan daerah yang spesifik mengatur grand design pelaksanaan di lapangan. “Kondisi ini mengakibatkan tidak optimalnya pemanfaatan dana Otsus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.”
Agar dana Otsus lebih efektif, Rizal mengemukakan sejumlah masukan. Pertama, mengkaji kembali undang-undang yang mengatur Otonomi Khusus Papua yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kedua, menyusun grand design program Otsus dengan jangka waktu 15 tahun.
Ketiga, meningkatkan fungsi pembinaan pemerintah pusat dengan memberikan asistensi dan transfer pengetahuan di bidang keuangan, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Keempat, membentuk lembaga sosial yang bergerak di bidang percepatan pembangunan Papua.
Aceh dan Papua memang memperoleh dana otonomi khusus tiap tahun. Pada 2014, kedua propinsi mendapat sebesar 13,648 triliun rupiah. Alokasi dana Otsus tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195 dan 196 yang diteken Menteri Keuangan M. Chatib Basri pada 17 Desember 2013.
Dana sebesar itu dibagi bagi: Provinsi Aceh Rp 6,824 triliun atau 2% dari pagu Dana Alokasi Umum. Adapun Provinsi Papua Rp 4,777 triliun, dan Papua Barat Rp 2,047 triliun. “Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dialokasikan setara 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional (Rp 6,824 triliun), dengan proporsi 70% (Rp 4,777 triliiun) untuk Provinsi Papua, dan 30% (Rp 2,047 triliun) untuk Provinsi Papua Barat,” bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1,2) PMK Nomor 196/PMK.07/2013 itu.
Khusus untuk Papua dan Papua Barat, lansir situs sekretariat kabinet RI, pemerintah juga memberikan Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus sebesar Rp 2,5 triliun, dengan rincian Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua Rp 2 triliun, dan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua Barat sebesar Rp 500 miliar.
Masuk Dalam APBD
Menurut Peraturan Menteri Keuangan itu, penggunaan Dana Otonomi Khusus merupakan bagian dari pendapatan daerah dan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014.
“Penggunaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Qanun Aceh,” bunyi Pasal 3 PMK No. 195/PMK.07/2013.
Sementara Pasal 9 PMK No. 196/PMK.07/2013 menegaskan, tata cara penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat serta Dana Tambahan Infrastruktur dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PMK. No. 196/PMK.07/2013 juga menegaskan, bahwa Dana Otsus Papua dan Papua Barat ditujukan untuk pendanaan bidang pendidikan dan kesehatan. Adapun Dana Tambahan Infrastruktur ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur.
Terkait penyaluran dana itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat bisa meningkat secara signifikan dalam lima hingga 15 tahun ke depan. “Dana Otsus Papua dan Papua Barat (untuk) tahun depan (2015) jumlahnya Rp 7 triliun, di luar anggaran yang sudah ada,” kata SBY, saat puncak acara Sail Raja Ampat, di Pantai Waisai Torang Cinta, Kota Waisai, Pulau Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat, pekan lalu.
Menurut dia, dana Otsus ini dikucurkan pemerintah agar terjadi percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat. “Ini sesuatu yang menjadi kebijakan pemerintah dan prioritas yang pemerintah jalankan,” ujar SBY. “Saya berharap mari kita sukseskan bersama.”
SBY menyatakan akan menyampaikan kepada presiden terpilih, Joko Widodo, agar percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat terus dilanjutkan. “Kalau ini bisa dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan oleh beliau, maka kemajuan tanah Papua akan bisa datang lebih cepat lagi.”
Rawan di Korupsi
Dana Otonomi Khusus rawan dikorupsi. Dalam beberapa kasus, dana otsus digunakan untuk membeli jam dinding atau pajangan kantor pemerintah. “Dana otsus adalah untuk mempercepat pemenuhan hak, dana otsus ada setelah Otsus, dana itu untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan atau guna pemanfaatan yang dapat mengangkat orang Papua menjadi lebih baik,” kata Yusak Reba, Direktur Institute for Civil Strengthening.
Menurut dia, penggunaan dana tersebut rawan disalahgunakan. “Dari temuan BPK, ternyata ada banyak kejanggalan dalam peruntukannya, dimana dana untuk pembangunan infrastruktur dipakai untuk membeli jam dinding,” ujarnya.
Dugaan penyimpangan dana Otsus tertuang dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun anggaran 2002 hingga 2010.
Didalam laporan BPK nomor ; 01/HP/XIX/04/2011 tanggal 14 April 2011 itu, terdapat penyelesaian pekerjaan terlambat, namun tidak dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp17 miliar lebih. Ada pula temuan pengadaan barang/jasa melalui dana Otsus pada enam pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat sebesar Rp326 miliar lebih.
Selain itu, penggunaan tidak tepat sasaran dengan peruntukan senilai Rp248 miliar lebih, dan masih banyak lagi. “Ini sebenarnya melanggar ketentuan dalam UU Otonomi Khusus, dana dibelanjakan namun tidak sesuai peruntukan. Bisa juga ada wewenang yang menyimpang dari ketentuan undang-undang,” kata Reba.
Ia berpendapat, terdapat unsur kesengajaan dari pemakaian anggaran otsus. “Sebenarnya dana otsus harus diatur pelaksanaannya dalam Perdasus, kalau tidak ada aturan yang melandasi, pemerintah dapat saja sesuka hati membelanjakan,” pungkasnya.
Otonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Selain hal-hal yang diatur secara khusus, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum di seluruh daerah di Indonesia.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)