Salah satu ajang festival dan budaya terbesar di Merauke, adalah pesta Dambu. Festival yang melibatkan ribuan orang ini digelar tiap tahun. Pada 2013 lalu, dilaksanakan dari 27-30 Juli, sedangkan tahun ini, baru saja usai tiga pekan lalu.
Pesta Dambu di Pulau Kimaam mengikutsertakan warga petani dari Distrik Kimaam, Waan, Tabonji dan Ilwayab.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Merauke, Daud Holenger mengungkapkan, dalam pesta dambu, berbagai kegiatan dilangsungkan, mulai dari pameran hasil kerajinan tangan, hasil alam berupa umbi-umbian, perlombaan panah tradisional, dayung menggunakan satu kaki, pasar malam serta beberapa kegiatan menarik lain.
Dalam ivent ini, budaya lokal diberikan perhatian khusus. “Karena dalam kesempatan itu, orang asli Papua akan memasarkan dan menjual semua potensi yang dimiliki,” katanya.
Dia mengaku, festival Dambu merupakan sarana yang sangat ampuh untuk mempercepat dan mengembangkan budaya dan pariwisata di Merauke. “Banyak potensi masyarakat belum diketahui. Apalagi topografi wilayah sangat jauh. Dengan demikian, dalam kesempatan itu, otomatis akan dimanfaatkan masyarakat dengan sebaik mungkin.”
Bupati Merauke Drs. Romanus Mbaraka, MT menjelaskan, pesta Dambu 2014 dilaksanakan pada 19 Agustus di Distrik Kimam. Para undangan membanjiri acara akbar itu dengan melalui jalan darat, juga laut lewat selat Mariana, Buraka maupun Bian.
“Makna Dambu adalah masyarakat memamerkan hasil bumi yang didapatkan dalam setahun. Disitu para pihak melakukan pengaduan antara satu dengan yang lain. Atau mereka saling pamer, saling mengkritik siapa terbanyak dan terbaik dari aspek kualitasnya. Hal itu akan memberi semangat untuk mengolah tanah mereka,” terang bupati.
Dari hasil ‘pamer’ tersebut, akan dinilai oleh juri, terutama tua-tua adat. Selanjutnya, diputuskan mana yang keluar sebagai pemenang. Pemenang tersebut, akan ditantang pada tahun berikutnya lagi oleh yang kalah. “Kegiatan ini dilakukan berkesinambungan. Dengan adanya Dambu sepanjang tahun, akan tersedia pangan yang sangat cukup bagi warga.”
Romanus menambahkan, Pesta Dambu dapat pula dimaknai sebagai usaha saling membalas hasil pangan. Tradisi ini turun-temurun diwariskan dan telah dimodernisasi. “Kalau nilai ini ditanamkan di seluruh Papua, saya kira orang Papua atau khususnya di Merauke, tidak akan lapar sepanjang tahun. Ini nilai positif dari pesta tersebut. Event ini menjadi acara wisata budaya yang bisa dikategorikan sebagai event specific.”
Festival Dambu dapat juga diartikan sebagai salah satu pesta ucapan terima kasih kepada Tuhan atas hasil panen, dengan menampilkan kompetisi seperti Kumbili, Ham dan Yaro yang paling besar dan panjang. Pada acara tersebut, diisi pula tarian, ritual tusuk telinga dan gulat tradisional.
Gali Potensi Merauke
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kini sedang berupaya untuk menggali potensi wisata Merauke. “Ini untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan daerah di kabupaten itu,” kata Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri Kemenparekraf M Faried.
Pihaknya menggandeng para pemangku kepentingan meliputi kepala-kepala adat, pastor, dan satuan kerja di Pemkab Merauke.
Faried menyarankan agar pengembangan bertahap dilakukan paralel antara aksesibilitas dan sarana pendukung pariwisata lainnya. “Yakni pengemasan obyek-obyek daya tarik wisata, dan akomodasi,” katanya.
Pihaknya juga mengupayakan agar lebih banyak investor masuk ke kawasan itu. Salah satu yang sedang dijajaki adalah jaringan Swiss-Belhotel yang sudah menyatakan akan turut bekerja sama menghidupkan pariwisata di Merauke.
Hotel tersebut mengoperasikan 103 kamar dan beroperasi sejak awal 2012. “Memang sudah ada Festival Dambu di Kimaan yang merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Merauke. Tapi ke depan, perlu lebih banyak lagi atraksi wisata agar investasi terus mengalir ke wilayah itu, yang kedepan diharapkan bisa menyejahterakan masyarakat setempat.”
Dinas Pariwisata Merauke mencatat jumlah wisatawan nusantara yang mengunjungi Merauke pertahun rata-rata mencapai 6.000 orang.
Merauke sendiri merupakan satu dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua. Nama Merauke berasal dari ungkapan “Maro ka ehe liki” yang berarti ‘sungai ini bernama Maro’. Kebetulan, Kota Merauke terletak di tepi Sungai Maro. Melalui perjalanan waktu, sebutan Maroke atau Meroke akhirnya berubah menjadi Merauke.
Secara umum potensi wisata di Merauke dapat dipilah-pilah berdasarkan wisata alam, sejarah, dan budaya. Wisata alam meliputi pantai-pantai di bagian selatan, taman nasional, suaka margasatwa atau cagar alam, dan penangkaran buaya. Wisata sejarah antara lain melihat Tugu Pepera yang menceritakan kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. Ada juga tugu peringatan masuknya agama Katolik di Merauke. Lainnya, Tugu Kembar yang hanya terdapat di Sabang dan Merauke.
Menanam Padi
Festifal dambu telah memotivasi warga menanam padi. Festival yang dikembangkan dari kebiasaan Masyarakat Adat Sub Suku Khima-Khima melakukan kompetisi hasil panen itu, telah menjadikan Kimaam dilirik investor.
Hasil panen padi di kawasan itu dapat dibilang tak kalah dengan produksi padi di daerah transmigran di Kota Merauke. Dalam sebuah kesempatan, warga Kampung Sabon, Distrik Waan, pernah meminta Pemerintah Merauke menambah cetak sawah baru seluas 500 ha di daerah itu.
Permintaan disampaikan masyarakat melalui kepala distrik Waan saat panen perdana padi pada cetak sawah baru seluas 82 ha di Kampung Sabon baru-baru ini.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Merauke Ir. Bambang Dwiatmoko, M.Si mengatakan, masyarakat Kampung Sabon begitu antusias dan serius menanam padi. Itu terlihat dari 82 sawah yang dicetak, masyarakat berhasil menanam seluas 87 ha.
Dikatakan, selain cetak sawah baru 100 ha di Kampung Sabon, di tahun 2013, pihaknya juga melakukan optimalisasi lahan seluas 100 ha di Distrik Kimaam, Kampung Woner, Kimaam, Mambum, Kumbis, Sabudom dan Teri. Untuk Distrik Waan sendiri, lanjut Bambang, tidak hanya padi yang dikembangkan, tapi juga umbi-umbian. “Bahkan pada saat panen padi itu, juga dilaksanakan pesta Dambu,” ujarnya.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)