Wacana pembentukan kementerian khusus untuk Papua makin gencar. Apakah sudah saatnya?
Tokoh masyarakat Mimika, Yosep Yopi Kilangin berpandangan, sudah waktunya Presiden-Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla membentuk kementerian khusus untuk mengurus Papua. “Ini penting, karena sampai dengan sekarang, komitmen persatuan orang Papua ke dalam pangkuan NKRI memerlukan perkuatan. Apalagi dalam kondisi di mana orang Papua semakin sedikit di pemerintahan,” kata Yopi Kilangin di Timika.
Yopi berharap kabinet yang nanti dibentuk oleh Jokowi-JK dapat juga mengakomodasi putra-putri Papua terbaik yang memiliki keahlian di bidangnya. “Namun hal itu bukan karena hadiah tapi karena yang bersangkutan memang layak dan memiliki kapasitas sebagai Menteri,” harapnya.
Putra almarhum Moses Kilangin, salah satu tokoh pejuang Pepera itu menambahkan, duet Jokowi-JK mesti pula banyak memberikan kebijakan afirmatif untuk mempercepat kemajuan orang asli Papua dalam segala bidang.
Wacana pembentukan kementerian khusus Papua terus bergulir. Salah satunya disuarakan saat Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa. PKB mengusulkan sejumlah perubahan dalam tubuh Kementerian Keuangan serta usulan pembentukan kementerian yang khusus mengurusi Papua.
Ketua DPP PKB Marwan Jafar mengatakan, Percepatan Indonesia Timur kurang maksimal. Dana otonomi khusus yang mencapai Rp 8 triliun patut dijaga agar tidak terjadi kebocoran. Untuk itu, Kementerian Percepatan Pembangunan Papua dinilai sebagai solusi terbaik.
Usulan ini sejatinya sejalan dengan visi Jokowi yang sudah membuktikan kepeduliannya terhadap Papua dengan memilih Bumi Cenderawasih sebagai tempat pertama kampanye capres. Apalagi bagi Jokowi, wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah satu. Satu visi, satu tujuan. Ibarat tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, akan terasa sakit seluruh badan.
Kesungguhan Jokowi membenahi Papua juga terungkap melalui pernyataan Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto bahwa salah satu agenda prioritas pemerintahan kedepan adalah merintis pengembangan dialog untuk menuntaskan secara bertahap luka-luka politik lama yang masih membekas di hati masyarakat Papua.
Dialog sangat penting, kendati Presiden SBY pernah melakukannya dengan sejumlah tokoh gereja Papua di Puri Cikeas tanggal 16 Desember 2011. Sayangnya, hasil dialog itu dinilai belum terealisasi kongkret di lapangan. Buktinya, Presiden SBY dalam dialog itu meminta gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dihentikan. Tetapi faktanya, sepanjang tahun 2012 dan 2013 aksi-aksi penembakan dan penyerangan oleh kelompok OPM masih tetap marak, bahkan menunjukkan intensitas yang terus meningkat.
Tahun ini pun aksi yang sama belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setidaknya sudah 20-an kali aksi penembakan. Karena itu, jika dalam pemerintahan Jokowi nanti ada kementerian khusus Papua, wacana dialog damai yang sudah lama disuarakan sejumlah kalangan di dalam maupun di luar negeri, bisa segera direalisasikan. Dan yang tidak kalah penting adalah mulai membangun saling percaya, bahwa dialog yang hendak dijalankan bertujuan untuk menyejahterakan orang Papua dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
MRP Dukung Kementerian Khusus Papua
Sementara itu, terkait pembentukan Kementerian Khusus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat mengungkapkan persetujuannya. “(Memang) sangat dibutuhkan satu kementerian yang khusus menangani persoalan Papua, sehingga masalah-masalah yang ada bisa diselesaikan secara lebih cepat dan efektif,” kata Ketua MRP Papua Barat, Vitalis Yumte.
Disebutkan, beragam persoalan pelik di Papua, yang biasanya dilaporkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), selama ini sering tak bisa tuntas secara cepat. Hal tersebut karena yang disuruh menangani adalah para pejabat eselon III atau IV, yang tak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan.
Kondisi ini, lanjut Vitalis, telah menghambat proses percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat. “Ini menjadi pergumulan kami selama ini.”
Sejalan dengan Yumte, peraih penghargaan bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” 2005 dari Kanada, Yan Christian Warinussy, berpendapat, mutlak dibentuk sebuah kementerian untuk ‘mengamankan’ Papua. “Kementerian ini akan bertugas memastikan bahwa konflik dan kekerasan di Papua harus segera diakhiri, dan juga penting membangun sebuah platform perdamaian yang bersifat permanen yang bisa digunakan untuk masa depan Papua Baru,” kata Yan.
Dilain kesempatan, Pemerintah Papua ikut mendukung pembentukan kementerian khusus yang menangani perbatasan.
Sekda Papua, TEA Hery Dosinaen mengaku, permasalahan di perbatasan sangat kompleks. Pemprov kata dia, telah menyarankan kepada Delegasi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi Tata Kelola Wilayah Perbatasan Antarnegara untuk mengadakan kementerian yang khusus mengelola masalah ini.
“Kami harapkan, ada satu kementerian khusus untuk menata perbatasan, karena itu merupakan wajah negara kita. Jangan hanya melihat di Batam atau memoles Batam,” tuturnya.
Kontra
Usulan pembentukan kementerian khusus Papua menuai pro dan kontra. Gagasan tersebut dinilai mengada-ada dan tak mencerminkan asas keadilan antar sesama daerah di Indonesia Timur. “Usulan itu terlalu premature dan tidak mempertimbangkan aspek keadilan. Emang di Timur itu hanya Papua? bagaimana dengan Maluku, dan Maluku Utara yang selama ini justru jauh dari perhatian pusat? Apalagi kita tahu bahwa Papua itu sudah diberikan keistimewaan oleh pusat berupa status Otsus, bahkan pernah mengisi posisi di kabinet sebagai menteri. Lantas kenapa Maluku tidak dibicarakan? Ada apa dengan Maluku?” ungkap juru bicara EKS KTI, Fuad Bachmid.
Mantan Ketua Presidium Nasional Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Se-Indonesia itu menambahkan, semestinya yang menjadi prioritas adalah Maluku. Sebab, Maluku telah ikut berkontribusi menjaga kedaulatan bangsa dan menegakan prinsip NKRI. “Kenapa? karena Maluku butuh bukti nyata untuk diperhatikan, bukan hanya janji kosong para elite di pusat,” tegas Fuad.
Fuad menyatakan, pihaknya menolak usulan tersebut, dan akan membuat mosi tidak percaya terhadap pemerintahan jikalau usulan itu disetujui.
Menurut dia, disetujuinya usulan itu secara tidak langsung menggambarkan pengkhianatan besar atas janji kampanye Presiden terpilih Jokowi-JK terhadap rakyat Indonesia Timur, khususnya Maluku yang telah berkontribusi besar memenangkan paket koalisi Indonesia Hebat ini.
Tak hanya itu, Fuad juga menyatakan akan menggalang kekuatan besar dari berbagai elemen di Indonesia Timur untuk mempertanyakan konsistensi pasangan Jokowi-JK terhadap nasib Maluku.
Ide membentuk kementerian khusus Papua awalnya datang dari Komisi I DPR RI, beberapa tahun lalu. “Di Inggris, ada menteri yang menangani Irlandia Utara, seharusnya ada juga kementerian khusus untuk Papua,” kata Anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya.
Dikatakan Tantowi, persoalan yang kerap terjadi di Papua terkait aspek kesejahetraan. Meski demikian, Tantowi mengakui, bahwa pemerintah pusat telah mempunyai itikad politik yang relatif baik untuk mensejahterakan Papua. Hanya saja, implementasi kebijakan itu tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat. “Niat baik pemerintah sudah ada, yakni adanya dana otonomi khusus. Tapi itu percuma, dana otsus itu seperti memberikan mobil mewah, tapi gak ada petunjuk manualnya. Pemerintah harus mengatasi itu yakni dengan membentuk kementerian khusus agar dana otsus bisa dimonitor,” urainya.
Penyelesaian untuk Papua, lanjut Tantowi, penting diposisikan seperti menangani persoalan perbatasan dengan negara tetangga.
“Urgensi Papua ini tinggi. Papua dilirik negara asing, mereka melihat sumber daya alam Papua, ada negara yang memang pengen Papua lepas. Tapi proses penanganan oleh pemerintah, seperti biasa biasa saja, tidak ada gebrakan,” pungkasnya.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)