Pro kontra investasi sawit di Merauke, terus berlanjut. Disisi lain, dapat meningkatkan pendapatan daerah, memangkas pengangguran dan memberi dampak pada sektor industri. Namun, kehadiran sawit juga mendatangkan bencana pada rusaknya hutan alam.
Dari berbagai sumber, sekitar enam perusahaan sawit telah beroperasi di Merauke dalam proyek raksasa; Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE). Perusahaan ini dituding mencemari tiga sungai yang mengalir di kawasan pemilik tanah. Yakni Sungai Kum, Bian, dan Maro. Akibat pencemaran limbah perusahaan, ikan-ikan banyak ditemukan mati.
Enam perusahaan sawit berskala besar itu adalah PT Dongin Prabhawa (Korindo Group), PT Bio Inti Agrindo (Korindo Group), PT Central Cipta Murdaya (CCM), PT Agriprima Cipta Persada, PT Hardaya Sawit Papua dan PT Berkat Cipta Abadi.
Carlo Nainggolan dari Sawit Watch mengatakan, dari hasil investigasi dampak pencemaran limbah perusahaan sawit, ketiga sungai sudah berubah warna dan mengeluarkan bau tak sedap. “Masalah air bersih tidak cukup bagi warga yang bermukim di sekitar kali itu,” katanya, seperti dirilis Mongabay.com.
Perkebunan sawit di sepanjang Kali Bian dan Kali Maro, lanjut dia, menimbulkan masalah besar bagi pemilik ulayat. Perusahaan membersihkan lahan dengan membakar, mengakibatkan air tercemar, situs budaya masyarakat rusak, dan kekayaan alam hilang. Perusahaan sawit, katanya, harus bertanggung jawab memulihkan dan memberikan kompensasi kepada pemilik di sepanjang pesisir Kali Bian, Kaptel, dan Kali Maro.
“Ditambah lagi kontrak 35 tahun. Kami memperkirakan, kalau kontrak diperpanjang hingga 120 tahun, pemilik tanah bukan hanya kehilangan hak ulayat tapi hutan mereka makin rusak.”
Proyek MIFEE, dimulai Agustus 2010 di lahan seluas 1, 2 juta hektar. Kasawan ini sebelumnya merupakan hutan alam, dan tempat sumber makanan pokok bagi Suku Malind Anim. Pada September 2012, Badan Perencanaan Investasi Daerah (Bapinda) Merauke, mencatat 46 perusahaan mendapat izin. “Dari 46, 10 perusahaan sawit. Perusahaan ini di Sungai Digoel, dan Malind Anim,” kata aktivis Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Nelis Tuwong.
Sepuluh perusahaan sawit itu adalah PT. Dongin Prabhawa (Korindo Group) PT. Papua Agro Lestari, PT. Bio Inti Agrindo (Korindo Group), PT. Mega Surya Agung, PT. Hardayat Sawit Papua, PT. Agri Nusa Persada Mulia, PT. Central Cipta Murdaya (CCM), PT. Agri Prima, PT. Cipta Persada dan PT. Berkat Cipta Abadi. Aktivitas perkebunan sawit dimulai sejak 1997 melalui PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Group.
Atas aktivitas perusahaan sawit tersebut, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) mendesak pemerintah segera mencabut dan membatalkan izin lokasi sejumlah investor. “Perusahaan telah membongkar hutan adat yang selama ini kami lindungi. Ini menghilangkan berbagai macam obat-obatan tradisional,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken.
Sawit Watch dan SKP adalah dua lembaga yang konsen terhadap masalah sawit di Merauke. Keduanya mendesak pemerintah mengevaluasi berbagai izin lokasi dan HGU perusahaan sawit yang kini telah beroperasi.
Pemerintah Merauke
Terkait masuknya sawit, pemerintah setempat pernah berencana menghentikan investasi sejumlah perusahaan. Meluasnya perkebunan sawit dikhawatirkan mengancam ketersediaan air di wilayah itu. “Kita memahami Merauke ini dari aspek hidrologi hanya tergantung pada air hujan, air rawa, air tanah, tidak ada air yang mengalir dari gunung. Padahal, kelapa sawit ini butuh air banyak. Merauke pun bisa kering kerontang kalau terlalu banyak kelapa sawit,” kata Bupati Merauke Romanus Mbaraka, dalam sebuah kesempatan.
Ia mengatakan, dampak pembukaan perkebunan sawit akan dikaji dengan lebih baik khususnya pengaruhnya terhadap ketersediaan air tanah. Berdasarkan kesesuaian ruang, perkebunan kelapa sawit diarahkan ke wilayah Merauke utara, yaitu di daerah hulu sungai.
Berdasarkan data Pemkab Merauke, komoditas kelapa sawit dan tebu lebih diminati para investor ketimbang tanaman pangan, seperti padi, jagung, kedelai.
Sementara itu, Kepala BPMD Merauke, Chaeruddin mengatakan, Badan Penanaman Modal Daerah mencatat ada 6 perusahaan (investor) kini sedang menginvestasikan modalnya di Merauke.
Aktivitas perusahaan tersebut dimulai dengan pembukaan lahan, pembibitan dan penanaman bibit. Terkait peran BPMD, Chaeruddin menambahkan, pihaknya hanya bersifat memfasilitasi administrasi perusahaan. BPMD menerima laporan dari perusahaan dan meneruskannya ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat.
“Kami ini sifatnya pintu masuk saja, artinya memfasilitasi urusan administrasi. Terutama yang berkaitan dengan pelaporan kemajuan perusahaan yang akan kami teruskan ke BKPM pusat. Kalau administrasinya beres, investor akan berhubungan dengan instansi terkait,” tandasnya.
Menggiurkan
Potensi lahan sawit di Merauke memang menggiurkan. Yang terbaru, adalah PT IJS yang berniat merambah lahan Merauke. Perusahaan ini berencana membuka perkebunan dan pabrik pengolahan sawit di Distrik Ulilin dan Elikobel di areal seluas 18 ribu hektar lebih.
Ketua Tim Teknis Komisi Penilai Amdal Provinsi Papua, Ir Frans Linting mengatakan pembahasan terhadap dokumen Kerangka Acuan, Amdal, Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) perusahaan itu telah dilakukan. Selanjutnya, akan dibahas dalam rapat komisi berbagai elemen. “Tim teknis telah menyetujui dan merekomensikan hasil dari penilaian ini, di mana tim teknis selanjutnya akan membawanya ke dalam rapat komisi, bahwa dari sisi teknis kegiatan (PT IJS) ini layak,” kata Frans.
Namun, sambungnya, ada beberapa catatan khusus kepada PT IJS yang mesti dikerjakan. Yakni, perusahaan wajib berkoordinasi dengan BKPRD Kabupaten Merauke terkait efektifitas luasan yang akan digunakan berdasarkan surat Bupati Merauke nomor 339 tahun 2013 tentang Pemberian Ijin lokasi seluas 18.587,5 hektar kepada PT IJS.
Kedua, perusahaan wajib mengajukan klarifikasi terhadap lampiran peta lokasi pada ijin lokasi, sebagaimana SK Bupati Merauke Nomor 339 tahun 2013. Untuk kepentingan tersebut, perusahaan perlu berkoordinasi dengan Tim BKPRD Kabupaten Merauke.
Ketiga, pramakarsa wajib memperbaiki dan melengkapi dokumen. Pramakarsa juga wajib membuat peta lokasi, layout kebun inti dan plasma, serta peta lainnya sesuai kaidah topografi. Berikutnya, program CSR yang disepakati oleh pramakarsa agar dikoordinasikan dengan masyarakat dan Pemerintah Merauke sehingga tidak menimbulkan konflik.
Studi Amdal, RKL dan RPL oleh PT IJS, disusun berdasarkan KA Amdal yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Papua nomor 21 tahun 2014 tentang kesepakatan kerangka acuan rencana pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit seluas 18.587,5 hektar di Distrik Ulilin dan Elikobel, tertanggal 30 Juni 2014.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)