Kilas Balik HAM Perempuan Papua

Berdiri di Tengah Kekerasan

Pemenuhan HAM bagi Perempuan di Papua ternyata belum sepenuhnya dilakukan. Kasus kekerasan pada perempuan masih selalu mengisi koran pagi.  

Salah satu pedagang Papua di Sorong. Perempuan Papua pekerja keras. Foto Jerry Omona
Salah satu pedagang Papua di Sorong. Perempuan Papua pekerja keras. Foto Jerry Omona

Perlakuan buruk terhadap kaum hawa bahkan berjalan lurus dengan grafik penganiyaan yang menimpanya. Dalam tahun 2007, kekerasan pada perempuan di Papua masuk dalam peringkat ketiga terbesar seluruh Indonesia. Disusul Maluku dan Yogyakarta. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), Papua berada di angka 13,62%, Maluku 10,39%, dan Yogyakarta 9,14%. Survei mengambil sampel 68.800 rumah tangga dengan blok sensus perkotaan dan pedesaan.

 

Wien Kusdiatmono, penanggung jawab operasional memaparkan, kasus tak terbantahkan itu terjadi 3,06% di perkotaan, dan 3,08% di pedesaan. Penelitian ini juga menyimpulkan, diantara 100 orang, diperkirakan tiga kekerasan dialami perempuan. Jumlah peristiwanya 3 juta dengan 2,27 juta korban.

 

Situasi mengerikan ini paling banyak berbentuk penghinaan, 65,3%, penganiayaan (25,3%), pelecehan (11,3%), penelantaran (17,9 %), dan dalam rupa lainnya yang tidak didefinisikan (16,2%). Menurut Wien, penganiayaan tertinggi di Papua dengan persentase 70,3%.  

 

Survei tersebut tak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh pada 2014. Wakil Ketua Bidang Program Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dr Margaretha Hanita mengatakan, Papua masih merupakan wilayah dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, terbesar. Yakni mencapai 1.360 untuk setiap 10.000 perempuan.

 

Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ella Yulaelawati mengatakan, Indonesia memang memprihatinkan dalam masalah gender, dimana pada 2012, berada di peringkat 108 dari 169 negara Indeks Pembangunan Gender. “Indonesia juga tercatat negara pemasok perdagangan anak perempuan, antara lain untuk prostitusi, pekerjaan rumah tangga dan eksploatatif lainnya.”

 

Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua

Dominggas Nari dalam “Potret Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua, dari Perspektif Hak Asasi Manusia” menyebutkan, persoalan ini merupakan suatu gejala yang universal. Hampir semua masyarakat di dunia pada setiap tahapan sejarahnya, membawa serta dirinya dalam berbagai bentuk kekerasan. Sekjen PBB di depan konferensi Perempuan sedunia ke 4 di Beijing tahun 1985, justru menyebutkan, karena sifat keuniversalan praktek tersebut, maka ia harus dikutuk secara universal pula. Keuniversalan dari gejala  ini menyentak “keadaan” yang merupakan produk dari suatu tatanan kehidupan kemasyarakatan yang serupa, tapi tidak sama sekali diantara masyarakat-masyarakat di dunia

 

Di Papua, kekerasan terhadap perempuan, begitu luar biasa. Namun masyarakat belum memahamimya sebagai bentuk dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. “Dalam sistem budaya Orang Papua, kaum perempuan mendapat tempat yang cukup baik. Namun hal ini bukan berarti sama dalam praktek kehidupan, perempuan lepas dari kekerasan,” sebut Nari.

 

Umumnya perempuan yang menerima kekerasan adalah yang tidak bekerja. Juga disebabkan oleh pola pikir yang menempatkan laki-laki sebagai sosok pemberani, tegas, dan memiliki status lebih tinggi. Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengatasi masalah ini dengan menurunkan sejumlah undang-undang, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dan UU Nomor 5 Tahun 1998, Ratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Merendahkan Martabat Manusia. Sayangnya, regulasi itu tidak dijalankan semestinya.

Demonstrasi menentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Foto www.beritafoto.net
Demonstrasi menentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Foto www.beritafoto.net

 

Frederika Korain dalam sebuah seminar bertajuk Pemenuhan HAM Perempuan Papua, menjelaskan, 80% perempuan Papua masuk dalam kategori miskin absolut. Hal ini menjadi alasan mereka sering menerima perlakuan tak adil. Mereka juga memiliki kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah dibandingkan wanita di provinsi lainnya.

 

Yusan Yeblo, Aktifis Perempuan menyebutkan, kekerasan ternyata tidak hanya pada kalangan berpendidikan rendah. Perempuan perkotaan, juga mengalami hal serupa. Bahkan, walau suami-istri di dalam keluarga adalah pejabat di kantor yang sama, tetapi di rumah, istri tetap sebagai orang yang harus melayani.

 

Program pemerintah, kata dia, tak banyak juga membantu perempuan keluar dari tekanan kekuasaan laki-laki. Soalnya, pejabat yang berkuasa di pemerintahan dan DPRD, lebih dominan kaum pria yang dibesarkan oleh adat. “Saya menyerukan kepada semua perempuan Papua untuk bersatu menuntut hak dan martabat, sama derajat dengan pria,” kata Yeblo.

 

Mas Kawin

Salah satu penyebab terpenting sikap pasrah istri terhadap suami, sekaligus menjadi sumber rentannya kekerasan adalah mas kawin. Makin tinggi nilai mas kawin, beban moril yang ditanggung istri makin besar. Istri merasa seakan-akan ‘dibayar mahal’. Karena itu, seluruh diri, jiwa raganya mesti dibaktikan untuk suami.

 

Mas kawin saat pertunangan atau menjelang pernikahan wajib ditanggung pihak suami dan keluarga. Besar mas kawin tergantung kesepakatan kedua pihak. Makin besar mas kawin, makin besar pula beban moril yang ditanggung sang perempuan selama perjalanan hidup berkeluarga. Perempuan harus berpenampilan dan berperangai serba ‘menyenangkan’ untuk keluarga pria. Dalam struktur sosial, perempuan dari keluarga berada atau terpandang memiliki mas kawin dengan nilai sampai puluhan juta rupiah. Sekitar 250 suku di Papua memiliki mas kawin berbeda-beda.

 

Dalam adat, posisi perempuan sejatinya bagai buah simalakama. “Perempuan Papua masih berada dalam belenggu yang mengikat tanpa daya untuk melakukan perubahan,” kata Hana Hikoyabi, mantan Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP).

 

Hana menjelaskan, sejak reformasi 1998, pemerintah telah mengambil kebijakan penyelesaian masalah Papua dengan memberikan otonomi khusus. Namun sejauh ini, implementasinya tetap saja tidak sesuai harapan. Ironisnya, permasalahan tentang kekerasan perempuan melebar ke sektor lain.

Upaya bersama, lanjut Hana, menjadi salah satu langkah paling efektif menegakan keadilan di Papua. “Paling penting adalah menghilangkan sikap masyarakat yang memberi beban ganda secara negatif kepada perempuan,” papar Hana.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua Annike Rawar mengakui kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua, begitu kompleks. Menurut dia, bukan hanya laki – laki saja yang patut disalahkan, tetapi juga wanita. “Miras (minuman keras) salah satu pemicu timbulnya kekerasan.”

Perkembangan teknologi informasi yang kian canggih, dibarengi maraknya aplikasi sosial media, situs kencan serta siaran infotaiment ‘murahan’ kata Annike, ikut pula berperan merusak keharmonisan rumah tangga. “Hal ini membuka peluang perselingkuhan. Rumah tangga yang dulunya utuh, kini renggang,” ucapnya.

(Jerry Omona/Dari Berbagai Sumber)

 

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *