Parasnya menawan. Cerdas. Ia pejuang HAM di Papua.
Ia bukan anggota suku apa pun di Papua. Tidak mengerti bahasa mereka, beda budaya. Ia adalah orang pertama yang dipegang tangannya oleh masyarakat Papua jika ada persengketaan tanah adat.
Namanya Latifah Anum Siregar. Seorang pengacara yang di mata internasional lebih dikenal sebagai pembela hak asasi manusia. Jasanya menggalang upaya untuk mengidentifikasi hukum, tata-istiadat serta asas-asas penyelesaian sengketa tanah adat, selalu diapresiasi. Ia juga berhasil mengartikulasikan tradisi-tradisi ini ke dalam suatu bentuk tatanan hukum tertulis yang bisa digunakan ketika bernegosiasi dengan Pemerintah atau para pendatang dalam menuntaskan sebuah sengketa.
Dengan menjembatani hukum adat Papua dan hukum formal, Anum membuka akses kepada masyarakat adat untuk mendapat kesempatan setara dalam keadilan.
Menurut Latifah, pelanggaran HAM ekonomi, sosial, dan budaya di Papua senantiasa berlangsung tanpa ada tindakan untuk menghentikannya. “Sistem nilai dan simbol budaya lokal teralienasi dengan cepat, sistematis, dan terus-menerus. Akibatnya, rakyat mengalami disorientasi nilai dan lokasi,” katanya.
Anum atau biasa dipanggil Amo, lahir tanggal 26 April 1968 di Jayapura. Ia menjadi aktivis sejak masih mahasiswa, ketika bergabung dengan Pusat Peran Serta Masyarakat pada tahun 1989. Di awal tahun 1990an ia menjadi perempuan pertama yang duduk sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Papua. Pada tahun 2000, Anum bergabung bersama AlDP (Aliansi Demokrasi untuk Papua) dan menjadi direkturnya.
Ia menyadari telah memilih dunia berisiko. Keselamatannya sering dibayangi bahaya, bahkan berulang kali nyawanya terancam serta propertinya dirusak oknum yang tak terlacak pihak berwajib.
Diakui Sebagai Pejuang HAM
Karena kesungguhannya bagi mereka yang terabaikan, pada tahun 2008 ia menjadi salah satu dari lima tokoh pekerja HAM dicalonkan untuk meraih Front Line Award For Human Rights Defenders At Risk, suatu penghargaan internasional yang setiap tahun diberikan kepada para tauladan dalam perjuangan membela HAM di dunia. Penghargaan ini akhirnya dipersembahkan kepada Anwar Al-Bunni dari Suriah yang dijebloskan ke penjara oleh penguasa karena kegiatannya sebagai pengacara HAM di negara tersebut.
Tahun sebelumnya, Latifah juga mendapat perhatian internasional ketika ia terpilih menjadi satu dari empat tokoh yang diberi gelar “PeaceMaker” oleh Joan B. Kroc Institute for Peace and Justice, divisi dari Joan B. Kroc School of Peace Studies di Universitas San Diego, California, AS. Women PeaceMakers adalah program selektif untuk memfasilitasi para perempuan pembela HAM menuangkan cerita mereka, mendokumentasikannya dan menyebarkannya.
Setiap tahun dipilih empat orang dari berbagai negara di dunia untuk mengikuti program selama delapan minggu di San Diego. Karena pada tahun 2007 kebetulan lembaga ini memperingati ulangtahunnya yang kelima, cerita-cerita para PeaceMakers yang telah terkumpul diterbitkan dalam laporan berjudul “Is Peace Possible?” dan cerita Latifah hadir di situ.
Dalam tuturannya di terbitan “Is Peace Possible?”, Latifah menulis: “Some people raise questions why I, as a non-Papuan and Muslim, help Papuans who are Christians. This question indicates that there is still a lack of understanding among some people that the struggle for justice and truth and nonviolence is our responsibility regardless of religion, ethnicity and culture.” [“Ada orang-orang yang bertanya mengapa saya, sebagai orang yang bukan asli Papua dan seorang Muslimah, menolong orang-orang Papua yang Nasrani. Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa masih ada orang yang tidak paham bahwa perjuangan membela keadilan, kebenaran dan non-kekerasan adalah kewajiban kita semua, tanpa melihat perbedaan agama, suku dan budaya.”].
Anum pernah menjabat sebagai anggota DPRD di Papua. Pada 2007 sampai 2011, ia menjadi sekretaris jenderal Majelis Muslim Papua. Ia pernah diteror, diserang dan ditikam. Di kasus terakhir, ia bahkan mengalami nasib buruk saat dirampok usai sidang menggugat kepolisian di Jayawijaya.
Kasus ini bermula ketika Anum yang merupakan pengacara dari Areki Wanimbo – Tokoh Dewan Adat Lani Jaya – Mempraperadilankan polisi. Areki sebelumnya ditangkap pada 6 Agustus 2014 oleh Polres Jayawijaya terkait tuduhan tindak pidana makar. Insiden tersebut terjadi 16 September 2014, sekitar pukul 19.30 Wit pasca sidang di Pengadilan Negeri Wamena. Ia secara tiba-tiba, di tengah kota yang ramai, dirampok orang tak dikenal. Pelaku juga menikam Anum pada bagian pundak kiri. Ia kehilangan banyak benda seperti dokumen catatan proses persidangan dan kartu identitas.
Meski mengalami hari tak menyenangkan, ia tetap kuat dan kembali ke Jayapura mengikuti wisuda di Universitas Cenderawasih pada 18 September 2014. Anum berhasil lulusan dengan predikat memuaskan menyabet gelar master Hukum.
Dibesarkan di Keluarga Jaksa
Semangat perempuan berhati baja ini seperti emas. Meskipun lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang berlatar belakang jaksa militer, ia adalah sosok yang tak begitu menyukai dunia militer. “Keluarga kami sangat demokratis, saya bergabung ke LSM, itu karena inspirasi ibu,” ujarnya.
Aum mengakui, penegakan HAM di Papua tidak berjalan semestinya. Ada begitu banyak kepentingan dari mereka yang terlibat. “Penegak hukum juga tidak memiliki komitmen tegas untuk penegakan HAM. Pengaruh lain, ada kondisi sosial-politik yang turut mempengaruhi penyelesaian masalah HAM.”
Anum aktif menyuarakan dialog Jakarta dan Papua. Ia mengatakan dialog merupakan pendekatan untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan di Papua. “Dialog diprakarsai oleh masyarakat sipil, meskipun belakangan ini belum menemukan pola untuk mengintegrasikan misi dialog secara konkrit,” ucapnya.
Salah satu dokumen kampanye gagasan dialog yang dihasilkan Anum adalah buku “Menuju Papua Tanah Damai; Perspektif Non Papua” yang diterbitkan oleh AlDP. Buku itu memuat sejumlah pandangan dari komunitas non Papua mengenai gagasan dialog, dan bagaimana membangun Papua sebagai wilayah damai.
Bagi Anum, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai satu-satunya institusi pemerintah yang mencoba mengemas ide dialog, ternyata juga tidak mampu melaksanakannya. Apalagi, diluar itu, ada banyak perdebatan mengenai istilah dialog yang dilontarkan pemerintah, seperti; dialog tentang Papua atau dialog untuk kesejahteraan.
“Berbagai pendapat dari pemerintah masih sangat reaktif, belum mencerminkan sikap institusi dan konsistensi dalam memahami dialog, sebagai pendekatan penyelesaian masalah tanpa kekerasan,” pungkasnya.
(JO/dari berbagai sumber)