Kura-Kura Moncong Babi. Foto turtletortoiseterrapin.blogspot.com
Kura-Kura Moncong Babi. Foto turtletortoiseterrapin.blogspot.com

Sepanjang lima tahun terakhir, penyelundupan lebih dari 2.500 ekor kura-kura moncong babi lewat Jakarta digagalkan. Reptil air endemis Papua bagian selatan ini sangat digemari sebagai hewan peliharaan ataupun santapan di luar negeri.

 

Dalam daftar Konvensi Perdagangan Internasional terkait Spesies Terancam Punah dari Tanaman dan Hewan Liar (CITES) 12 Januari 2005, kura-kura dengan bentuk moncong seperti babi ini diklasifikasikan dalam Apendiks II. Artinya, keberadaan di alam tak terancam punah meski perdagangannya harus dikendalikan.

 

Namun, di dalam perundangan konservasi Indonesia, kura- kura moncong babi (Carettochelys insculpta) termasuk satwa dilindungi. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, turunan dari Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, satwa ini tidak boleh dimanfaatkan kecuali untuk tujuan penelitian dan penangkaran.

 

Dengan status ini, pemanfaatan kura-kura moncong babi hanya bisa dari penangkaran. Tidak ada kuota pengambilan dari alam. Apalagi dalam Badan Konservasi Dunia (IUCN), kura-kura ini dimasukkan dalam kategori terancam punah (endangered). Artinya, pengambilan kura-kura ini dari alam merupakan bentuk pidana.

 

Upaya penangkaran kura-kura moncong babi secara komersial, menurut catatan Kementerian Kehutanan, hanya pernah diajukan CV Terraria Indonesia. Namun, kurang sukses.

 

Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, tahun 2002-2012 baru berhasil menangkarkan 117 ekor. Tahun 2013, mereka mengajukan rencana produksi 25 ekor.

 

Di CITES, selain disebut kura-kura moncong babi (pig-nosed turtle), fauna ini disebut fly river turtle, new guinea plateless turtle, dan pitted-shell turtle. “Produksi sangat rendah, namun penyelundupan sampai ribuan ekor. Ini menunjukkan, minat pasar terhadap kura-kura moncong babi sangat tinggi,” kata Novianto Bambang Wawandono, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Kehutanan.

 

Harga tukik kura-kura moncong babi sekitar Rp 100.000 per ekor. Harga kura-kura dewasa berukuran lebih dari 35 sentimeter bisa Rp 5 juta per ekor. Tujuan ekspor gelap biasanya ke Hongkong, Taiwan, dan China.

 

Meski dilindungi, di Indonesia belum ada riset menyeluruh yang bisa menggambarkan kondisi hewan ini di alam. Lalu mengapa dimasukkan dalam CITES? Kementerian Kehutanan beralasan, perlindungan terhadap spesies ini diutamakan meski minim data ilmiah. “Fauna ini endemis dan eksotis. Hanya ada di Indonesia, Papua Nugini, dan sebagian Australia. Karena itu, meski belum diketahui kelimpahannya, kami lindungi dulu daripada tiba-tiba sudah punah di alam,” kata Bambang.

 

Sebuah hasil penelitian berupa survei populasi sarang di Sungai Vriendschap, Asmat, Papua, yang dilakukan peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari di Papua Barat, Oktober-November 2009 selama 4 minggu, didapatkan populasi sarang ada 720 buah. Penelitian November 2011 selama 3 minggu menemukan 131 sarang.

 

Salah seorang peneliti, Richard GN Triantoro, mengatakan, jumlah sarang belum menggambarkan populasi secara keseluruhan selama puncak musim peneluran yang berlangsung sepanjang September-November. “Namun, dari populasi ini dapat digambarkan masih banyaknya jumlah sarang,” katanya.

 

Richard cenderung menyebut kura-kura moncong babi dengan labi-labi moncong babi. Menurut dia, moncong babi memiliki cangkang lunak seperti labi-labi pada umumnya. Adapun cangkang kura-kura keras.

 

Eksploitasi besar-besaran

Pemburu telur moncong babi ilegal terus berkeliaran. Pada 2011, pemburu berhasil memanen telur di 1.327 sarang dengan rentang waktu pemanenan 2 bulan dan paling lama 5 bulan 1 minggu. ”Dapat dibayangkan berapa ribu butir yang dieksploitasi setiap tahun dari alam jika dalam semusim peneluran pencari telur di Sungai Vriendschap mencapai 20 orang lebih,” ujarnya.

 

Ia mengatakan, pemanenan telur biasanya dilakukan pagi hari setelah labi-labi selesai bertelur. Namun, kini dengan banyaknya pemburu dari luar dan masyarakat lokal, pemanenan dilakukan dini hari. Tujuannya agar bisa mendapat telur lebih dulu. Pemanenan dilakukan mulai pukul 03.30 menggunakan senter sebagai penerang dan tugal (tongkat penusuk pasir) untuk mendeteksi sarang.

 

Melimpahnya jumlah sarang yang dapat dipanen saat ini membuat para pemburu dan masyarakat lokal berpikir bahwa pemanenan tidak akan memengaruhi kelestarian labi-labi moncong babi di alam. Dampaknya, pemanenan telur dilakukan tanpa memikirkan kelangsungan generasi labi-labi moncong babi di masa depan.

 

Hasil penelitian menunjukkan, intensitas pemanenan sarang di Sungai Vriendschap mencapai 100 persen. Artinya, seluruh sarang yang ditemukan dipanen tanpa menyisakan satu pun sarang utuh di alam. Selain telur, penangkapan induk juga dilakukan untuk konsumsi makanan, terutama selama musim peneluran. ”Dikhawatirkan labi-labi moncong babi makin cepat punah karena beberapa tahun terakhir pemanenan dilakukan secara intensif,” kata Richard.

 

Padahal, kura-kura moncong babi perlu waktu 20 tahun untuk menjadi dewasa atau hampir sama dengan manusia. Bayang-bayang ke arah kepunahan sudah di depan mata. Penyebabnya, beberapa generasi hilang akibat tidak ada penerus yang berkembang di alam sebagai pengganti induk serta hilangnya induk akibat dikonsumsi setiap tahun.

 

Kura Kura Moncong Babi. Foto www.voaindonesia.com
Kura Kura Moncong Babi. Foto www.voaindonesia.com

Penyelundupan digagalkan

Penggagalan penyelundupan tertinggi terjadi pada 12 Februari 2009. Pihak berwajib menyita 12.247 tukik dan induk labi-labi moncong babi dari sebuah kapal yang bertujuan ke Hongkong. Induk labi-labi akan dijual ke sejumlah rumah makan dengan menu kura-kura.

 

Pada Januari 2014, 687 kura-kura moncong babi juga berhasil digagalkan pengirimannya di Bandara Soekarno-Hatta. Usaha ilegal ini terkuak setelah paket yang membungkus kura-kura ini pecah.

 

Sebelumnya, pada 2011, 609 kura-kura berhasil dikembalikan pihak bea cukai Hongkong melalui Bandara Soekarno Hatta (BSH). Habitat identik tersebut diamankan bea cukai Hongkong sejak Januari 2011 dan ditaksir bernilai hingga Rp10.89 miliar.

 

Meskipun sukses diamankan, hingga saat ini pemerintah Indonesia masih belum bisa mendapatkan penyelundup hewan langka yang dilindungi undang-undang internasional tersebut.  “Kami hanya menerima pengembalian hewan langka ini dari Hongkong. Dan langsung kami kembalikan ke habitatnya di Papua Selatan,” kata Oza Olivia, Kepala Bea Cukai BSH.

 

Plt Kepala Direktorat Konservasi Keanekaraman Hayati pada Kementerian Kehutanan Nunu Nugraha mengatakan, upaya penyelundupan kura-kura ini bukan pertama kalinya. Pada Maret 2010, sebanyak 530 kura-kura berhasil pula diamankan sebelum sampai keluar negeri.

 

Kepala BKSDA BSH Musyaffak Fauzi mengatakan, di luar sana, untuk satu kura-kura diperdagangkan antara 15-20 Dollar Amerika. Dan ditaksir, dengan barang yang langka di habitatnya ini, harga jualnya bisa lebih mahal lagi. “Untuk yang sekarang ini bisa mencapai Rp10.89 miliar kalau dijual. Beruntung, bisa diselamatkan.”

 

Koordinator Konservasi Satwa Langkah WWF, Choirul Sholeh, mengatakan upaya penyelundupan satwa langka tersebut tergolong modus baru. “Biasanya melalui paket dengan memalsukan dokumen pengiriman barang,” katanya. Berdasarkan catatan WWF, penyelundupan satwa langka dari Papua memang cukup banyak. Hewan yang menjadi incaran di antaranya nuri kepala hitam, kakaktua kuning, dan burung Cendrawasih.

 

Habitat

Di Papua, kura-kura moncong babi diketahui hidup di beberapa sungai besar di bagian selatan. Namun, seberapa luas wilayah jangkauannya belum diketahui pasti. Spesies ini mendapat nama “moncong babi” berkat penempatan lubang hidungnya pada akhir moncong yang mirip sepert batang. Ia memiliki warna abu-abu atau abu-abu agak kecoklatan di bagian atas wajahnya. Dan, putih ke kuning pada bagian bawah wajah.

 

Kayuhannya agak lebar dengan masing-masing dua cakar. Dibanding cangkang kura-kura lain yang agak keras, cangkang kura-kura moncong babi tertutup kulit lembut. Pejantannya tidak pernah meninggalkan air, sedangkan betinanya hanya pergi dari air jika harus bertelur di tepi sungai.

 

Kura-kura di Asia, apa pun jenisnya, terkena dampak dari perdagangan internasional. Di mana mereka diburu untuk dimakan, bahan obat tradisional, dan dijadikan peliharaan yang di saat bersamaan habitat mereka hancur karena polusi.

 

Dikatakan para pakar, meski kura-kura dan penyu sudah bertahan selama 220 juta tahun di Bumi, cangkang kerasnya tidak lagi jadi pelindung yang tepat. “Cangkang bekerja efektif melawan predator alam tapi bukanlah tandingan melawan niat manusia yang ingin memakan mereka,” kata Peter Paul van Dijk, Deputi dari Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group (TFTSG).

 

Menurut dia, satwa unik dan memiliki nilai komersial ini perlu dilestarikan dan diatur pengelolaannya.

 

Semoga labi-labi eksotik dari Papua ini nantinya tidak hanya dapat dilihat di akuarium kebun binatang, tetapi juga masih dapat ditemui oleh anak cucu kita di masa depan bergerak lincah dan bebas di alam.  (JO/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *