Seruan Lima Untuk Aksi Iklim Dinilai Sangat Lemah.
Saat ini mulai terasa dampak dari perubahan iklim yang menyebabkan mencairnya es di Antartika akibat meningkatknya suhu bumi yang berdampak kepada kekeringan, banjir dan juga munculnya Topan Hagupit yang berdaya rusak kuat terutama di Filipina beberapa waktu lalu. Menurut Profesor Michael Oppenheimer dari Universitas Princeton, Amerika Serikat mengatakan bahwa topan kuat yang terjadi di Filipina; kekeringan selama tiga tahun di California, Amerika; dan semakin pesatnya es mencair di Antartika. Ini sedikit dari banyak tanda perubahan iklim yang terjadi tahun 2014. Oppenheimer juga bagian dari tim pakar yang menyusun laporan UN Climate Assessment atau Kajian Iklim PBB, yang ditujukan bagi para pembuat kebijakan dalam mengatasi dampak perubahan iklim . Perubahan iklim diakibatkan naknya emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer sehingga berdampak pada meningkatnya temperatur rata-rata dunia. Kenaikan gas rumah kaca mengakibatkan dua hal utama terhadap lapisan atmosfer paling bawah yakni fluktuasi curah huja yang tinggi dan kenaikan muka air laut.
“Jika kita tidak bijaksana dalam memutuskan bagaimana mengekang emisi gas rumah kaca, pada akhir abad ini suhu Bumi akan meningkat beberapa derajat Celsius dan mengakibatkan kondisi alam yang belum pernah terjadi dalam jutaan tahun,” kata Oppenheimer.
Rekor cuaca hangat dan disertai dengan curah hujan dan banjir menghancurkan kehidupan. Apa yang tidak biasa dan mengkhawatirkan tahun ini adalah tingginya suhu permukaan luas lautan termasuk bagian utara.” Seperti disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Meterorologi Dunia( WMO), Michel Jarraud. Seperti diperkirakan oleh WMO bahwa dalam 10 bulan pertama 2014, suhu rata-rata global sekitar 0,57 C di atas angka rata-rata dalam jangka waktu lama. Bila tren global tahun ini masih terus berlanjut dalam dua bulan ke depan, rekor tahun 1998, 2005 dan 2010 akan terlampaui dengan angka tipis. Artinya boleh jadi bahwa tahun 2014 adalah tahun dengan suhu terhangat di Bumi.
Menyikapi naiknya suhu bumi dan berdampak terhadap perubahan iklim membuat negara-negara di dunia perlu melakukan pertemuan dan mencari solusi bersama antara negara maju dan negara berkembang. Konferensi Perubahan Iklim Lima, yang diikuti oleh COP20/CMP10 United Nation Frame Convention on Climate Change (UNFCCC), telah berakhir pada Minggu, 14 Desember 2014 dini hari. Walau pertemuan tersebut sempat mengalami penundaan penutupan hingga 36 jam dikarenakan alotnya pembahasan dan perundingan di antara negara maju dan negara berkembang untuk menyepakati keputusan yang dimandatkan oleh COP19 di Warsawa, Polandia.
Pada akhirnya, setelah melalui serangkaian konsultasi informal yang secara langsung dilakukan oleh Presiden COP20/CMP10, Manuel Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru, keputusan yang dinamakan Lima Call for Climate Action diadopsi secara aklamasi oleh seluruh Negara Pihak UNFCCC pada Minggu, 14 Desember 2014, jam 01.25 waktu Lima, Peru.
Lima Call for Climate Action adalah keluaran dari pertemuan di Lima, Peru , dimana semua negara sepakat bahwa upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim dengan menggunakan aturan legal berbentuk Protokol sebagai pengganti dari Protokol Kyoto. Perjanjian Paris dipersiapkan untuk menggantikan Protokol Kyoto – perjanjian global yang memangkas emisi gas rumah kaca – yang sudah berakhir tahun 2012.
Dalam keputusan yang sama, seluruh negara juga menyepakati bahwa intended nationally determined contributions (INDCs) yang merupakan bentuk partisipasi aktif masing-masing negara yang harus disampaikan oleh seluruh negara sebelum berlangsungnya COP21 di Paris pada akhir 2015. Oleh karena itu, keputusan utama ini juga menekankan pentingnya berbagai aksi termasuk kolaborasi berbagai pihak untuk meningkatkan aksi mitigasi agar sejalan dengan Laporan Kajian IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Keputusan ini juga dilampiri dokumen draft elements for negotiating text yang akan menjadi basis Kesepakatan 2015 sebagai keluaran dari proses perundingan penanganan dan pengendalian perubahan iklim pasca 2020.
Sekretaris Jendral (SekJen) Perserikatan Bangsa-Bangas (PBB) Ban Ki-Moon memuji hasil konferensi di Peru dan menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk terlibat dalam “perundingan substantif” menjelang pertemuan perubahan iklim lain di Paris akhir tahun 2015. Ban Ki-Moon mengatakan negara-negara maju dunia perlu menyampaikan “komitmen nasional yang ambisius” untuk mengontrol polusi menjelang pertemuan di Paris itu.
Sementara itu Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) menyatakan hasil dari pertemuan di Lima memerlukan tindak lanjut di dalam negeri. “Penyiapan kontribusi Indonesia dalam bentuk INDCs harus dipastikan tidak menjadi beban tambahan dalam pelaksanaan pembangunan nasional,” ungkap Rachmat Witoelar dalam pertemuan di Lima kali ini.
“INDCs yang akan disampaikan Indonesia harus terfokus pada kebutuhan pembangunan nasional Indonesia. Dengan fokus pembangunan pada sektor maritim, ketahanan energi dan ketahanan pangan, sudah selaiknya Indonesia dapat memanfaatkan INDCs sebagai peluang untuk memastikan berjalannya proses pembangunan nasional yang sekaligus akan memberikan kontribusi pada upaya bersama untuk mencegah kehancuran dan bencana katastrofik akibat terjadinya perubahann iklim,” tambah Rachmat.
Menteri Lingkungan Peru, Manuel Pulgar-Vidal, selaku ketua pertemuan mengatakan ,“Sebagai naskah, ini tidak sempurna. Namun, mencakup posisi semua pihak.” Walau Ban Ki-Moon memuji hasil Lima, Peru namun disisi lain Sekretariat Perubahan Iklim PBB menyatakan sudah jelas bahwa janji untuk membendung emisi di pertemuan Paris pada Desember 2015 akan terlalu lemah untuk mencapai tujuan membatasi pemanasan global sampai dua derajat Celsius (3,6 F) di atas masa pra-industri. Sementar itu tanggapan juga muncul dari pakar iklim di World Wildlife Fund (WWF) Samantha Smith menyebut perjanjian Lima itu “sangat lemah”.
Beberapa hal yang menyebabkan lambatnya dicapai kesepakatan adalah terkait dengan pengurangan emisi , yang mana didalam draf naskah berjuluk ‘Seruan Lima untuk aksi iklim’ beberapa jam setelah draf sebelumnya ditolak perwakilan negara-negara berkembang. Mereka menuding negara-negara kaya mengabaikan tanggung jawab dan menyerahkan beban kepada negara berkembang. Draf yang telah disepakati menyebutkan negara-negara punya keprihatinan sama dengan tanggung jawab berbeda. Karena terdapat perubahan draf yang menyebut setiap negara ‘wajib’ memasukkan informasi terkait namun diubah menjadi negara-negara ‘boleh’ memasukkan informasi berbentuk angka yang menunjukkan bagaimana mereka memenuhi target emisi.
Pertemuan UNFCCC yang berlangsung di Lima, Peru selama dua pekan yakni 01- 14 Desember 2014 dan diikuti oleh 194 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyepakati kerangka kerja bagi setiap negara dalam menyusun rencana menangani perubahan iklim . Semoga akhir 2015 negara-negara maju dan berkembang bisa menyepakati rencana dan langkah kongkrit dalam mengurangi kenaikan suhu bumi. Karena kita tidak bisa kembali lagi ke masa lalu.
(Wirya Supriyadi/ dari berbagai sumber)