oleh
John NR Gobai

Pengantar
Emawa dan Owaada adalah sebuah nilai budaya yang telah ada sejak dahulu dan telah hidup dan berkembang bersama Masyarakat Adat Suku Mee/ Ekagi, sehingga nilai inilah yang telah diyakini menjadi sebuah nilai yang akan tetap dipertahankan bersama dengan upaya mencari dan menemukan jati diri.

Emawa dan Owaada
Owaada adalah bahasa Suku Mee/Ekagi di Papua yang artinya Pagar Rumah, Emawa sebagai rumah laki-laki, namun dalam kehidupan sehari masyarakat biasanya memahami lebih dalam yaitu Owaada sebagai kebun bagi tanaman yang diyakini memunyai nilai khusus dalam budaya karena keberadaannya, sangat terkait dengan Tokoh dalam gerakan mesianis dalam Suku Mee/Ekagi. Disatu sisi Emawa dipahami sebagai sebuah rumah kebenaran,yang diartikan dengan: tempat ini adalah tempat pendidikan, tempat membangun relasi dengan sesama, dan tempat mensyukuri kehidupan dari Sang Pencipta atau yang disebut Ugatame.

Kehadiran Gereja pada tahun 1938, telah membagi masyarakat ini menjadi dua kelompok yaitu Katolik dan Protestan, perbedaan ini makin diperlebar dengan kebiasaan hidup para penyiar agama serta pengaruh politik di Negeri Belanda. Hal ini juga disebabkan oleh Tokoh Gereja yang lulusannya Sekolah Teologi setingkat SLTP. Kesadaran akan pentingnya Persatuan mulai muncul sejak tahun 2005, melalui Musyawarah Pastoral, Gereja Katolik menggagas hidup menggereja dengan menggali kembali konsep Emawa dan Owaada, karena konsep ini juga diketahui dan diyakini oleh Masyarakat Adat Suku Mee yang beragama Protestan. Dewan Adat Paniai dalam Musyawarah Adat telah membuat keputusan adat dan diajukan ke Pemda. Sejak itu konsep budaya Emawa dan Owaada menjadi nilai yang diterima oleh kelompok masyarakat majemuk, sehingga mulai dibangun Emawa di Gereja- Gereja, sebagai symbol budaya, dan itu adalah Rumah Kebenaran dan Owaada sebagai Kebun Kehidupan, dengan nilai ini telah memunculkan sebuah kesadaran bahwa Masyarakat Adat Suku Mee/ Ekagi.
Kesimpulan Konsep budaya Emawa dan Owaada telah menjadi Penyatu dengan dasar Suku Mee/Ekagi, mempunyai satu Tuhan yang dikenal Ugatame (Sang Pencipta) dalam perbedaan keyakinan sebagai orang yang beragama Katholik dan Protestan dan Perbedaan wilayah adat.

*Penulis adalah Ketua Dewan Adat Paniai dan Aktivis Hak-Hak Masyarakat Adat.
[sws_facebook_share]

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *