Kekerasan terhadap wanita masih terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan ini paling sering terjadi di Papua.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise menyatakan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua merupakan yang tertinggi di Indonesia. Tingginya konsumsi minuman keras (miras) ditengarai sebagai akar maraknya kekerasan.

“Saya prihatin kekerasan pada perempuan di Papua tinggi. Pemda, gereja dan masjid harus bersama-sama menangani masalah ini,” ujar Yohana, usai mengunjungi Mesjid Agung Al-Falah dan GKI Immanuel, Nabire, Papua.

Mengutip data Komnas Perempuan pada 2013, rata-rata kasus kekerasan pada perempuan di Papua mencapai 1.360 kasus untuk setiap 10 ribu perempuan. Kebanyakan kekerasan terjadi dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Yohana mengungkapkan, mayoritas kasus kekerasan pada perempuan didominasi KDRT dengan prosentase 56%, kekerasan seksual (24%), perdagangan perempuan (18%) dan kasus lainnya (2%).

Hasil pertemuan dengan sejumlah pejabat di Jayapura dan Nabire, terungkap konsumsi miras menjadi salah satu penyebab tingginya kasus kekerasan di Papua.

Bahkan untuk menekan tingkat kekerasan akibat miras, Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano, melakukan sebuah langkah ekstrem. Jika ada orang mabuk di jalan, petugas menangkap dan merendamnya di kolam buaya agar mereka kapok.

Selain itu, wali kota telah membuka tempat pelaporan khusus untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kantor Pemberdayaan Perempuan Kota Jayapura yang telah bekerja sama dengan kepolisian. “Tidak dipungut biaya untuk melapor,” terang Benhur.

Sementara itu, Wakil Bupati Nabire Mesak Magai mengungkapkan kekerasan biasanya kerap terjadi, usai mabuk-mabukan, laki-laki pulang ke rumah sambil marah-marah. Dia menambahkan, jika istri melakukan kesalahan sedikit, spontan suami yang mabuk langsung memukul atau menendang istri. Perilaku seperti ini, lanjut dia, menyebabkan dampak traumatis pada anak-anak. Pasalnya praktik kekerasan itu dilakukan di depan mata mereka.

Walau hampir semua pejabat yang ditemui menuding miras sebagai pemicu tingginya kasus kekerasan, Yohana meminta agar pemerintah melakukan riset terlebih dahulu. “Banyak yang bilang kekerasan pada perempuan di Papua tinggi karena miras, adat dan budaya. Tapi saya belum bisa bilang itu secara resmi, harus diteliti dulu,” kata dia.

Yohana juga berjanji akan memerintahkan jajarannya untuk turun ke desa-desa, menyambagi gereja dan mesjid menyosialisasikan kampanye antikekerasan pada perempuan. Dia juga memeringatkan praktik kekerasan pada istri di rumah kini digolongkan dalam ranah pidana. Hal ini sesuai dengan amanah UU Nomor 23/2004 tentang pencegahan KDRT.

Pelaku Kekerasan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan Papua melonjak cukup besar.

Sebelumnya di dua tahun lalu, Sylvana Apituley, Ketua Gugus Kerja Papua Komnas Perempuan menyatakan, kasus kekerasan ini merata terjadi di seluruh Papua. Angka terbesar terjadi terkait dengan kekerasan seksual, fisik dan psikis. Pelakunya, kata dia, tidak hanya dilakukan warga sipil, tetapi juga oleh aparat keamanan. “Kondisi ini didukung oleh situasi politik, sosial, ekonomi dan keamanan Papua,” kata Sylvana.

Dari hasil pemantauan tersebut, menurut Sylvana, sudah dilaporkan kepada pemerintah, DPR dan kepolisian. “Sayangnya, Mabes Polri belum memberikan respons.”

Komnas berharap Mabes Polri bersikap serius menyikapi laporan. Komnas menilai, sulitnya menekan angka kekerasan terhadap perempuan karena kuatnya pendekatan keamanan oleh aparat. “Kami minta kebijakan keamanan fokus pada human security yang berperspektif gender.”

Jeirry Sumampouw dari Departemen Perempuan dan Anak Perwalian Gereja Indonesia menyatakan, solusi kekerasan di Papua adalah menarik semua pasukan keamanan. Kata dia, persoalan Papua tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan.

Korban Kekerasan
Perempuan Papua adalah korban kekerasan ganda negara. Dalam lapis pertama, perempuan menjadi korban kekerasan seksual berupa perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan perkosaan. Dalam lapis kedua, perempuan mengalami kekerasan non seksual seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Kekerasan yang dilakukan berbentuk fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau diduga didukung oleh aparat negara.

Kekerasan oleh negara sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, melalui operasi militer sejak tahun 1961 hingga sekarang. Sejak tahun 1963-2009, negara telah melakukan kekerasan terhadap 138 perempuan Papua dengan 52 kasus perkosaan, 24 kasus pengungsian saat operasi militer dan kelaparan, 21 kasus penganiayaan, 18 kasus penahanan sewenang-wenang. Sisanya mengalami penyiksaan, pembunuhan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Sebanyak 133 perempuan mengaku mengalami kekerasan dari militer, 20 kasus kekerasan dari polisi, 6 kasus kekerasan dari aparat gabungan dan 5 kasus dari aparat negara lain. Sejak tahun 1963-2004, berdasarkan nama operasi militer, telah terjadi sedikitnya 24 Operasi Militer di Papua.

Perempuan juga bisa ditangkap karena dituduh mengibarkan bendera Bintang Kejora seperti yang dialami, Mama Persila Yakadewa dan tiga perempuan lainnya pada tahun 1980. Tahun 1994, Mama Yosepha Alomang dan Yuliana Magal ditangkap karena membelikan pakaian dan jaring ikan untuk komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), Kelly Kwalik.

Kaum perempuan juga menjadi sasaran kekerasan dalam demonstrasi damai. Mei 2005 Marike Kotouki ditikam di kepala dengan sangkur oleh seorang anggota Brimob. Penangkapan dengan kekerasan juga menimpa Milka Siep, Debora Penggu, Raga Kogoya yang ditangkap polisi dalam aksi damai menuntut “Bebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage Tanpa Syarat” di Pengadilan Negeri Jayapura.

Mama-mama Papua yang ulet berdagang diemperan pasar dan jalan juga menjadi sasaran kekerasan penggusuran Satpol PP sepert kejadian di pasar Ampera, Jayapura. Perempuan di wilayah adat Anim-Ha (Merauke) bahkan tergusur dari tanahnya, dusun-dusun sagu, sungai dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk proyek raksasa MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Perempuan di wilayah adat Mamberamo-Tami (Keerom, Jayapura) ikut kehilangan tanah, dusun-dusun sagu serta hutan sumber daging dan sayur genemo, karena dirampas oleh negara dan disulap menjadi jutaan hektar lahan kelapa sawit milik PT. PN (Perkebunan Negara) dan sekarang telah menjadi milik PT. Sinar Mas.

Kekerasan negara menjelaskan bahwa aparat keamanan, telah melakukan tindakan-yang militeristik terhadap perempuan dan rakyat Papua. Negara juga telah melakukan kontrol atas tubuh perempuan, mengeksploitasi perempuan secara gender dan ekonomi-politik.

Perempuan harus mencari jalan keluar sebagai perjuangan melawan penindasan yang lebih luas. Perempuan mesti membangun organisasi yang progresif dan militan untuk terus mendiskusikan, menganalisa dan menyimpulkan persoalan-persoalan eksploitasi perempuan secara ekonomi politik.

JO (dari berbagai sumber)
Foto : Mama Papua Sumber www.dratingfoundation.org

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *