Bukan rahasia lagi, pembangunan di kawasan Timur Indonesia tak secepat wilayah barat. Warga Papua sering mengeluhkan kondisi ini pada pemerintah pusat, namun belum terlihat hasilnya.
Koordinator Pokja Infrastruktur Kawasan Timur Indonesia Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Ferrianto Djais mengaku memahami persoalan lambannya pembangunan di pulau cenderawasih.
Menurutnya, pembangunan di Papua tidak berjalan cepat karena hanya bersifat sektoral. Seharusnya pemerintah mencanangkan pembangunan terintegrasi. Tidak hanya membangun infrastruktur, pemerintah juga mesti memperkuat sumber daya manusia (SDM) dan membangun perekonomian daerah.
“Misalnya di Sorong, (disana) infrastruktur hebat, tapi ketika container masuk ke Sorong, ternyata baliknya kosong. Pemerintah harus mengembangkan ekonomi, pertanian dimajukan juga,” katanya.
Untuk membangun perekonomian, pemerintah sejatinya menciptakan produksi, proses dan marketing. “Pendekatan selama ini sektoral, sifatnya masing masing,” ucapnya.
Presiden Joko Widodo berulang kali menginjakkan kaki dan bertemu langsung dengan rakyat Papua. pemerintah menjanjikan mempercepat pembangunan Papua. Kini, rakyat Papua menunggu realisasi janji manis presiden.
Ferrianto Djais mengakui hingga saat ini ekonomi Papua masih mandul. Padahal, pembangunan Papua sudah menjadi fokus pemerintah sejak 1980. “Di Sumatera dan Jawa, kita bangun jalan dalam 2-3 hari, ada orang jualan, orang langsung bangun rumah. Di Papua tidak,” katanya.
Ferrianto menambahkan, salah satu barang yang harganya sangat mahal di Papua adalah bensin Premium.
Dalam kondisi normal, harga BBM jenis premium bisa tujuh kali lipat dari harga yang berlaku di Pulau Jawa. Kondisi cuaca ikut mempengaruhi harga BBM ini. Manakala cuaca buruk, harganya bisa melonjak tajam. “Harga BBM Rp 50.000 paling murah, bahkan kalau cuaca jelek bisa Rp 100.000-150.000 per liter,” ujarnya.
Kondisi ini berimbas pada investasi. Tingginya harga BBM menjadi salah satu penyebab minimnya investor yang mau menanamkan dananya. Sebab, BBM masuk salah satu komponen penting dalam produksi dan operasional.
Ferrianto menjelaskan, untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah perlu memberi transportasi murah dengan tarif yang disubsidi. Jika menunggu infrastruktur maka harga akan tetap mahal hingga 15 tahun mendatang. “Kita minta ada kekhususan, fasilitas angkutan murah untuk BBM dan produk yang disubsidi oleh pemerintah. Kalau begini dalam 4 tahun ekonomi akan tumbuh.”
Selain pengembangan transportasi, pemerintah juga dituntut untuk mengembangkan SDM di Papua. Hal ini dibutuhkan untuk menyeimbangi kemajuan ekonomi yang nantinya terjadi. “SDM itu kan pelaku pembangunan, memang ada beberapa tingkatan,” tuturnya.
Ia mengakui saat ini Kadin sudah mulai bekerjasama dengan Pemda dan masyarakat sekitar untuk meningkatkan kualitas. Hal ini juga dibutuhkan agar potensi ekonomi dan alam Papua bisa tergarap dan memberikan keuntungan.
Sementara itu, Ketua Pokja Infrastruktur Kawasan Timur Indonesia Kadin Ikhwanuddin mengatakan investasi yang selama ini masuk ke Papua didominasi uang pemerintah sendiri. “80 persen investasi di Indonesia Timur itu masih berasal dari pemerintah,” kata Ikhwanuddin.
Investor juga tak tertarik masuk ke Papua karena masalah perizinan berbelit. Karena itu, percepatan perizinan menjadi salah satu kunci untuk mendorong investasi sekaligus pembangunan di Papua.
Jerman Ingin Bangun Papua
Di tempat terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menerima kunjungan Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel di kantor wapres, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Georg mengatakan, bersama wapres Jusuf Kalla, dirinya berdiskusi banyak hal yang menjadi prioritas kerja sama kedua negara. “Kami diskusi cukup panjang. Yang jadi prioritas untuk Jerman adalah keamanan maritim, pembajakan, dan ilegal fishing. Kedua, komitmen yang bisa kami lakukan untuk Papua dan Aceh,” kata Witschel.
Menurut dia, pemerintah Jerman akan membangun beberapa fasilitas di Indonesia, utamanya di wilayah timur dan barat Indonesia. “Kami akan membangun rumah sakit, atau kami bisa lakukan lebih untuk Papua, seperti proyek investasi terutama pabrik petrochemical di Papua Barat. Ini bagian dari isu daerah yang mau kita kembangkan,” ungkapnya.
Wapres JK, menurut Witschel, memberi sambutan positif terhadap rencana kerja sama kedua negara di masa mendatang. Wapres JK, lanjut Witschel, berjanji akan menjadi fasilitator pengembangan kerja sama dengan Jerman di Papua.
Freeport
Salah satu yang membuat Papua tidak berkembang yakni, kekayaan alam di Bumi Cenderawasih tak dinikmati seluruhnya oleh pemilik tanah. Sebut saja pertambangan Freeport yang sampai hari ini tak memberi keuntungan lebih bagi Papua.
Sejak 1967, PT Freeport menikmati hasil yang dibawa ke Amerika Serikat. Perusahaan tambang yang berafiliasi ke Freeport-McMoRan itu tak henti menambang emas, perak, dan tembaga.
Selama hampir setengah abad kehadiran Freeport di Papua, bahkan kerap memunculkan pelbagai masalah. Mulai dari setoran ke negara yang dinilai masih sangat rendah, hingga alasan menyiasati larangan ekspor bahan mentah.
Permasalahan yang menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi juga ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua. Sejauh ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga Papua. Hal itu diakui sendiri oleh petinggi Freeport Indonesia.
Hanya sekitar 30 sampai 36 persen pekerja Freeport yang merupakan warga Papua dari sebanyak 31.000 pekerja.
Rendahnya peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR saja. Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR dari Freeport . Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.
“Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene beberapa waktu lalu.
Di kesempatan lain, tokoh masyarakat Papua, Paskalis Kossay mengutarakan, ketidakmampuan masyarakat Papua mengakses pasar membuat mereka tertinggal dan semakin tersisih. “Sampai hari ini kehidupan masyarakat Papua bergantung pada subsistem, bukan dari pasar. Karena itu mereka tertinggal dan tidak mampu bersaing dengan pasar yang semakin ketat,” ujarnya.
Dia mengkritik kebiasaan pemerintah yang terlalu banyak membuat regulasi yang pada akhirnya terbukti tidak efektif dan bermanfaat dalam segi ekonomi. “Ada Otsus Plus, ada peraturan-peraturan lainnya, tetapi ternyata sebenarnya sudah terakomodasi di UU No 21/2001. Kalau konsisten kita enggak perlu cari sesuatu dan bikin semacam (UU) itu lagi.”
Paskalis menyebut ketidakkonsistenan itu yang pada akhirnya membuat Papua masih tetap terbelakang. Karena pemerintah daerah dengan pemerintah pusat hanya saling melempar kesalahan akibat banyaknya regulasi.
“Harus ada evaluasi. Sebenarnya UU Otsus 2001 sudah tepat. Kalau mau fokus pada kesejahteraan masyarakat (benahi) ekonomi Papua, itu kuncinya,” pungkas Paskalis. (Merdeka/dari berbagai sumber)
Ket.Foto : Mama Papua jualan ikan. Sumber Foto www.hapinpapua.org