Kapal asing menerobos masuk mencuri ikan di Laut Arafura. Kebijakan membakar kapal mungkin tepat mengusir penjarah.

Akibat aktivitas pencurian ikan di Laut Arafura, negara merugi hingga hingga Rp70 miliar. Terakhir, kapal berbendera Panama ditangkap di Pelabuhan Wanam, Merauke, akhir Desember lalu.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kapal bernama MV HAI FA berbobot mati 4.306 GT itu membawa muatan 800 ton ikan beku dan 100 ton udang beku, termasuk 66 ekor ikan yang dilarang ditangkap seperti hiu martil dan hiu koboi. “Satu kapal bermuatan 900 ton, taruhlah harganya 1 dolar AS per kilogram aja, sudah hampir Rp10 miliar. Udang harga bahkan bisa lebih. Belum lagi MV HAI FA itu sudah tujuh kali angkut sampai 2014, berarti sudah Rp70 miliar yang dicuri,” kata Susi.

Kapal dengan 23 anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Tiongkok itu, merupakan jenis kapal pengangkut (tremper) yang jumlahnya ratusan di perairan Indonesia. “Rata-rata temper mengangkut 10.000 ton ikan per tahun, padahal jumlahnya ada ratusan, bayangkan berapa banyak lagi (ruginya),” katanya.

Meski menggunakan bendera Panama saat ditangkap, namun dokumen yang dibawa menyatakan kapal itu berasal dari Indonesia di bawah agen PT Antarthica Segara Lines.

Meski sebelumnya telah mengantongi Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) Kedatangan dari Pengawas Perikanan di Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Satker PSDKP) Avona pada 18 Desember dan HPK Keberangkatan pada 19 Desember 2014, kapal itu dinyatakan tak laik operasi sehingga tidak mendapatkan Surat Laik Operasi (SLO).

Melalui pemeriksaan lebih lanjut, kapal tersebut ternyata juga tidak mengaktifkan “transmitter” Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring System/VMS). “Karena tidak patuh terhadap peraturan yang berlaku, maka sudah dipastikan yang dilakukannya ilegal dan sepatutnya ditangkap,” ujarnya

Meski baru masuk tahap pemeriksaan saksi, MV HAI FA diduga kuat telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (3), Pasal 43, Pasal 7 ayat (2) huruf d, dan Pasal 7 ayat (2) huruf e, UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin oleh menteri Susi Pudjiastuti memang tengah gencar memerangi pencurian ikan di laut Indonesia. “Terakhir, di Arafura, (didapati) juga ada 2 kapal berbendera Papua Nugini, lainnya berbendera Indonesia,” ungkap Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, KKP Asep Burhanudin.

Dua kapal berbendera Papua Nugini itu bernama KM Century 4 berbobot 200 GT yang membawa 47 ABK Thailand dan KM Century 7 berbobot 250 GT yang membawa 13 ABK Thailand. Kedua kapal tersebut menangkap ikan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Dari kedua kapal itu, TNI AL menyita 63 ton ikan berbagai jenis.

Sedangkan 6 kapal lainnya diketahui berbendera Indonesia dengan nama KM Sino 15 (275 GT), KM Sino 26 (265 GT), KM Sino 36 (268 GT), KM Sino 35 (268 GT), KM Sino 27 (265 GT), dan KM Sino (33 GT). Dari 6 kapal tersebut TNI AL menyita 1.093 ton ikan berbagai jenis. Enam kapal tersebut ditangkap karena Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) telah dicabut/dibekukan dan tidak berlaku lagi.

Dari 8 kapal itu, 7 kapal ditarik ke Pelabuhan Ambon, Maluku. Satu kapal yaitu KM Sino 33 dibiarkan bersandar di Pelabuhan Merauke karena mesin kapal rusak.

Kaya Ikan
Laut Arafura disebut memiliki sumberdaya ikan cukup potensial. Tak heran, banyak perusahaan perikanan yang berpangkalan di Sorong dan Ambon melakukan perluasan penangkapan ke daerah ini.

Sebenarnya, usaha penangkapan ikan dan udang di perairan ini telah berlangsung sejak 1970. Tahun 1984 tingkat penangkapan malah menunjukan kecenderungan yang tinggi. Tak pelak, kawasan perairan laut Arafura mampu memberikan kontribusi sekitar 30% dari total ekspor Indonesia setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2001, nilai potensi tangkap lestari mencapai 43 ribu ton udang dan 200 ribu ikan demersal.

Potensi ikan dan udang yang begitu besar di perairan Arafura, tidak lepas dari pengaruh ekologi perairan laut. Sebagaimana diketahui, perairan ini merupakan daerah dangkal dengan kedalaman tidak kurang dari 100 meter. Karakteristik lingkungan sangat beragam, juga dipengaruhi oleh struktur pantai, serta massa air laut perairan sekitarnya.

Dengan potensi yang begitu besar, maling ikan selalu mencari cara untuk menerobos masuk. Kapal-kapal besar dan kecil saban hari terlihat lalu lalang dan buang jangkar di air dangkal. Sebagian besar armada yang beroperasi itu adalah perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal skala industri. Sementara kapal motor didominasi oleh armada yang berukuran 5 gross ton.

Potensi laut Arafura telah menjadi magnet bagi perusahaan industri perikanan. Sebagian besar industri bahkan menggunakan alat tangkap berupa pukat udang dan pukat ikan. Pada periode setelah tahun 2000, jumlah armada pukat udang memang cenderung menurun. Namun ukuran rata-rata kapal mengalami peningkatan dari 128 GT pada tahun 1992 menjadi 139 pada tahun 2006. Berbeda dengan jumlah armada ikan yang cenderung meningkat dan bertahan pada kisaran 750 armada pada tahun 2006.

Pada periode tahun 1992 – 2004, armada dari industri perikanan secara terus-menerus bertambah. Walau pada akhirnya mengalami penurunan kembali pada periode 2004 – 2006. Hal ini dipengaruhi oleh dibukanya pendaftaran ulang bagi kapal-kapal tangkap dan berakhirnya hubungan bilateral antara Indonesia, Filipina dan Thailand pada tahun 2005 dan 2006.

Namun demikian, kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Bahkan terjadi gejala penangkapan berlebih (over fishing). Kondisi inilah yang melatarbelakangi dilaksanakannya Kegiatan Forum Arafura pada tanggal 7 Juni 2007 lalu, bertempat di Hotel Bidakara. Secara spesifik, Forum Arafura menggambarkan kondisi SDI di perairan Arafura mengalami penurunan, terutama di wilayah Digul dan Aru.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, Forum Arafura memberikan beberapa alternatif dalam pengelolaan perikanan di laut Arafura, antara lain: perlunya penataan Jalur/zona penangkapan; penataan kembali izin penangkapan baru dan proteksi area “trawlable” dibeberapa perairan pantai yang secara ekologis kualitasnya telah merosot atau diketahui sebagai “nursery ground”.

Berikutnya, pemberdayaan kembali nelayan lokal (perikanan rakyat) melalui peningkatan infrastruktur dan kelembagaan. (dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *