Persoalan gizi di Papua, telah membumi seantero nusantara. Pemerintah berkilah sudah melakukan penanganan serius.
Menurut data pemerintah, tiga provinsi yang mengalami kekurangan kalori dan protein terbanyak adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Lampung. Demikian hasil Studi Diet Total yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan 2014.
Rilis itu dipublikasikan bersama dengan 173 hasil penelitian lainnya selama tahun 2014. Survei dilakukan Balitbangkes terhadap 46.238 rumah tangga di 497 kabupaten/kota di 33 provinsi di seluruh Indonesia.
Di Papua, kasus kurang gizi ditemukan seperti dialami 28 bayi di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, tahun lalu. Pembantu Direktur Bidang Kemahasiswaan Poltekes (Politeknik Kesehatan) Jayapura Krismen Silitonga mengatakan kasus bayi kekurangan gizi ini diketahui setelah mahasiswanya melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di lima kampung yang ada di Distrik Sentani.
Ia menjelaskan masalah kurang gizi memang tidak mudah diatasi karena banyak faktor penyebab. Untuk itu, pihaknya mengajarkan kepada banyak keluarga di Jayapura untuk bagaimana menjaga hidup sehat.
Ia menambahkan kelima kampung yang mengalami kekurangan gizi di Kabupaten Jayapura diantaranya Kampung Yobe Kehiran I, Yafale Kehiran II, Komba, Yahim, dan Kampung Ifar Besar.
Kasus diduga gizi buruk juga terjadi di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat pada 2013. Dalam kurun lima bulan saja, dilaporkan 15 – 95 korban berjatuhan.
Kementerian Kesehatan langsung menurunkan tim investigasi ke Kabupaten Tambrauw, untuk memastikan penyebab kematian yang cukup tinggi di daerah itu. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Tambrauw, angka korban meninggal merupakan komulatif dari bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013 ini.
Pemerintah Tambrauw belakangan mengklarifikasi berita yang menyebut sebanyak 95 warganya meninggal akibat gizi buruk dan terserang penyakit. Kepala Dinas Sosial dan Kesejahteraan Rakyat Tambraw, Maklon Mainolo, dalam klarifikasinya menyebut korban meninggal sebanyak 15 orang sejak Oktober 2012. “Wabah terjadi di Distrik Kwoor di Kampung Koosefo, Kampung Batde, Kampung Jok Bijoker,” kata Maklon.
Atas kondisi ini, Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu, Julian Aldrin Pasha mengaku turut prihatin dan menyesalkan terjadinya kasus gizi buruk di Tambrauw. Julian pun menyayangkan terlambatnya laporan yang masuk ke pemerintah pusat. “Itu tidak patut di mana pun di negara ini,” pungkas Julian.
Di Merauke, Kepala Dinas Kesehatan, Stefanus Ozok mengatakan, masalah status gizi masyarakat, masih menjadi sorotan pihaknya. Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil identifikasi Dinkes, wilayah yang masih didera kekurangan gizi, antara lain di Distrik Kimaam, dan Okaba. “Ini yang harus kita cari tahu, apakah karena kekurangan makanan atau ada penyebab lain,” katanya.
Menurut dia, masalah gizi buruk di Papua belum bisa diintervensi, karena berkaitan langsung dengan status ekonomi masyarakat. “Selama tidak menunjukan peningkatan yang lebih baik, maka secara otomatis masalah gizi buruk itu akan berjalan linear dengan status tersebut,” katanya.
Berdasar data Dinas Kesehatan Merauke, prosentase angka gizi kurang dan gizi buruk di Merauke sekitar 20 persen dari jumlah balita yang ada saat ini. “Angka kasus gizi kurang sekitar tujuh persen, sedangkan sisanya untuk gizi buruk.”
Penyebab utama masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah faktor ekonomi. Olehnya, masalah ekonomi masyarakat harus benar-benar diperhatikan oleh Pemkab, terutama instansi terkait. “Ada juga karena pola makan, anak terlalu diimanjakan dengan jajanan, padahal keluarga mampu,” tandasnya.
Sementara itu, di Yahukimo pada 2013, 61 orang secara beruntun meninggal diduga akibat terserang penyakit dan gizi buruk. Kabar ini dibantah oleh Dinas Kesehatan setempat. “Saya nggak bisa memberikan klarifikasi kepastian itu, karena masyarakat dari Distrik Samenage banyak tinggal di sini (ibukota Kabupaten), dan mereka sendiri nggak mendapatkan berita itu,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo, Bonga Samule, ketika itu.
Kasus kematian yang terjadi Yahukimo ini diungkap oleh seorang tokoh Gereja Katolik di Wamena, Pastor Jhon Djonga. Dalam keterangan kepada wartawan, dia menyebutkan, korban meninggal akibat serangan penyakit dan minimnya akses layanan kesehatan. Sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan. Walaupun sempat meragukan kebenaran kabar ini, Pemerintah Pusat melalui Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono ketika itu, langsung mengecek informasi tersebut.
Kasus kematian warga akibat kekurangan pangan dan gizi buruk di Yahukimo pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2005 dan 2009. Dalam peristiwa itu, 220 orang meninggal dunia.
Pada 4 Desember 2007, sebanyak 21 orang warga Kampung Dumadama dan Ugimba di Kabupaten Paniai, juga meninggal akibat kelaparan. Korban 21 orang itu terdiri dari 5 laki-laki, 3 perempuan dan 12 anak-anak. Tokoh Masyarakat adat setempat, Maxsimus Tipagau, mengatakan kelaparan terjadi karena gagal panen, dimana musim dingin menghancurkan tanaman masyarakat.
Penanganan
Penanganan kasus gizi buruk, bukan perkara mudah. Tinggi persoalan ini di Papua sejalan dengan angka kematian bayi yang meningkat drastis enam tahun terakhir. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Papua, angka kematian bayi (AKB) pada 2007 adalah 24 per 1.000 kelahiran hidup. Angka itu meningkat jadi 115 per 1.000 kelahiran hidup pada 2013.
Pemerintah sendiri melalui Dinas Kesehatan Papua telah meluncurkan 15 program prioritas untuk menurunkan AKB, antara lain pelatihan petugas puskesmas, survei gizi di 29 kabupaten, dan bantuan program jaminan kesehatan pada ibu hamil.
Memberantas gizi buruk, sejatinya mesti beriringan dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Dalam banyak kasus, masalah ini tak bisa dipisahkan dengan persoalan kemiskinan. Mengakalinya, pemerintah menggelontorkan berbagai program ke daerah untuk menekan kemiskinan dan perbaikan gizi anak. Sayangnya, beberapa diantaranya tidak sepenuhnya tepat sasaran lantaran anggaran kesehatan yang diperuntukan bagi rakyat, menguap entah kemana.
Jika persoalan gizi buruk tidak ditangani secara serius, sudah pasti, Papua tidak akan memiliki generasi penerus yang berkualitas. Masalah gizi adalah persoalan mendesak yang harus segera diatasi di negeri ini. Karena bila terlambat menanganinya, dapat membawa dampak yang jauh lebih parah dari sekadar bencana banjir dan tanah longsor.
Mengharapkan kepedulian semua pihak, pemerintah menetapkan tanggal 28 Februari sebagai Hari Gizi Nasional Indonesia. Selayaknya peringatan tiap tahun itu, tak bersifat serimonial saja. Tapi lebih dari itu, ada upaya nyata untuk terus mengurangi angka kematian akibat gizi buruk dan mengeliminasi hambatan-hambatan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pemerintah sendiri telah berkomitmen menargetkan perbaikan masalah gizi diselesaikan dalam waktu lima tahun hingga tahun 2019. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani mengatakan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat peduli dengan masalah ini.
“Pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul, salah satunya ditentukan oleh kecukupan gizi,” kata Puan saat menyampaikan arahannya dalam acara Diseminasi Global Nutrition Report di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, belum lama ini.
Puan menjelaskan, masalah gizi di Indonesia disebabkan berbagai faktor. Selain faktor kemiskinan, lanjut Puan, kesehatan, pangan, pendidikan, air bersih, keluarga berencana dan berbagai faktor terkait lainnya menjadi penyebab masalah gizi buruk di Indonesia. “Seluruh kementerian dan lembaga negara akan dilibatkan untuk menuntaskan masalah gizi buruk di Indonesia. Tanpa adanya sinergi antar lembaga negara masalah gizi buruk tidak akan pernah selesai,” kata dia.
Program percepatan perbaikan gizi yang dicanangkan pemerintah antara lain, menjamin program ketahanan pangan rumah tangga kelompok masyarakat kecil, pendidikan hidup sehat pada anak-anak usia sekolah dasar, dan sosialisasi mengenai sumber gizi yang murah. (dari berbagai sumber)