oleh
JOHN NR GOBAI
Papua Tanah Damai kelihatannya masih jauh dari harapan, mungkin karena deklarasi ini dikrarkan hanya oleh Tokoh Agama dan Masyarakat Sipil sebagai seruan moral. Namun menciptakan Papua Tanah Damai tidak menjadi sebuah slogan bagi TNI/POLRI di Papua, sehingga pencanangan ini hanya bertepuk sebelah dada saja. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kekerasan Negara terhadap Masyarakat Sipil, baik yang mengakibatkan korbannya meninggal dunia dan luka-luka, sederetan kekerasan telah tersusun rapi dan menyakitkan, menjengkelkan dan mendendamkan antara lain; Pembunuhan Theis Eluay Penembakan terhadap 4 warga Suku Wolani di Degeuwo, Kasus Aimas, Kasus Biak Berdarah, Penembakan Pasca KRP III, Pembunuhan ketua KNPB Sorong dan Penembakan terhadap Mako Tabuni serta penembakan terhadap Masyarakat Sipil di Paniai 2014. Kasus-kasus ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas sehingga memberikan rasa keadilan karena adanya penegakan hukum dan pemujaan atas HAM, walaupun seperti kasus Theis telah dibentuk Komisi Penyelidik Nasional yang sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari rekomendasi TGPF sementara kasus lain dibiarkan begitu saja, mungkin karena ada oknum aparat negara berpandangan menembak orang papua adalah sebuah prestasi bukan sebuah kejahatan kemanusian. Hal ini tentunya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
Aparat keamanan merusak citra negara di Papua
Aksi aparat Negara di Papua selama ini telah m melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Aparat Negara telah melanggar dan mencabut hak asasi warga atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak atas bebas dari tindakan kejam dan tidak manusia yang merendahkan martabat manusia, hak warga untuk memperoleh keadilan dan perdamaian, hak warga atas mencari dan memperoleh informasi, serta hak warga atas kebebasan menyampaikan pendapat. Aksi Aparat Negara yang melanggar hak asasi warga sipil adalah tindakan yang melalaikan kewajiban utama dalam melindungi dan menjamin hak asasi warga negaranya. Sebagaimana, setiap Negara termasuk Indonesia diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban melaksanakannya pasca Deklarasi Umum HAM (DUHAM, 10/12/1948). Dengan demikian, dapat terlihat jelas bahwa serangan yang dilakukan aparat negara terhadap warga sipil di Papua diduga dilakukan secara terencana atau sistematis dan meluas. Dua unsur terencana atau sistematis dan meluas dalam kasus ini dapat terpenuhi kriteria pelanggaran berat HAM yang diatur dalam hukum dan HAM. Terutama tentang kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 9 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 104.
Citra negara Indonesia yang mempunyai dasar negara pancasila dan dikuti oleh berbagai undang-undang yang mengatur tentang penghormatan akan Hak asasi manusi telah dirusak oleh oknum aparat keamanan, ibarat susu sebelanga dirusak oleh beberap nila. Beberapa oknum aparat telah merusak citra negara di Papua, terkait dengan itu negara perlu melakukan langkah strategis yang ekstrim terkait dengan Hak asasi manusia, di daerah daerah khusus yang seharusnya mendapat perlakuan khusus seperti aceh dan papua, dengan jalan melakukan perubahan UU no 39 tahun 1999 yaitu dengan memasukan sebuah pasal khusus yang mengatur pembentukan Komisi Daerah HAM, yang mempunyai kewenangan sama dengan UU no 39 tahun 1999, serta KOMNAS HAM, mesti mempunyai kewenagan memanggil paksa pelaku pelanggaran ham, kewenangan yang seperti diperoleh KPK.
Pilihan Perlunya KOMDA HAM Papua
Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Papua, sejak tahun 1969 sampai dengan 1998, telah memberikan semangat disintegrasi, semangat itu telah memuncak pada tahun 1998, yang puncaknya telah dilakukan Dialog Nasional antara masyarakat papua dengan pemerintah pada tahun 1999 dan Kongres Papua II Ttahun 2000, yang jawabannya, pemerintah Indonesia memberikan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.Dalam Undang-undang ini telah diatur secara khusus tentang Hak asasi manusia pada pasal 45 ayat 1 dan 2, namun dalam implementasinya terlihat tidak dapat maksimal, karena status Perwakilan Komnas ham yang mempunyai kewenangan yang terbatas, oleh sekaliber apapun orang memimpin organisasi ini tidak akan berbuat lebih seperti yang diharapkan oleh korban atau keluarga korban kekerasan atau pelanggaran ham atau pelanggaran ham berat di Papua.
Jika kita belajar dari penyelesaian kasus Pelanggaran HAM kasus lain, maka penyelesaiaannya melalui; Pembentukan TPF yang hanya akan berakhir dengan rekomendasi yang sangat tergantung dari Pimpinan oknum yang terlibat, mungkin mereka diproses namun sangat tertutup sulit diakses oleh keluarga korban atau korban dan publik, seperti di POLRI melalui sidang indisiplener melalui Propam atau Pengadilan Militer terlihat dalam kasus Mey 1998 yang sampai saat ini belum diproses terbuka yang memberikan rasa keadilan dan penghormatan akan HAM, contoh kasus y adalah Kasus Dogiyai, dalam hal ini DPRP pernah membentuk TPF namun hasilnya hanya rekomendasi tetapi tidak berhasil membawa pelaku pengadilan yang terbuka dan dihukum yang diumumkan secara terbuka; Kasus Abepura dibentuk KPP HAM, Anggota KPP HAM berhasil mengidentifikasi 25 orang calon tersangka kemudian Kejagung memangkas hingga 2 terdakwa kemudian disidangkan di Pengadilan HAM di Makasar sedangkan kasus Wamena dan Wasior berkasnya masih mengendap di Kejagung. Sejumlah kasus di atas merupakan kasus di Papua, yang belum diungkapkan karena urusannya di Jakarta, sehingga masyarakat dalam jumlah banyak tidak dapat mengawal kasus ini, sehingga masih mengendap., Dalam Serambinews.com. Politisi PDIP Trimedya Panjaitan, meminta agar Kejagung, harus membuka kembali kasus-kasus lama itu, memeriksa kembali secara cermat perkembangan kasusnya, melakukan gelar perkara, lalu mengumumkan proses penyelidikan kasus ini ke publik bagaimana penyelesaian selanjutnya. Kejaksaan harus segera melimpahkan berkas perkara yang penyidikannya telah selesai ke Pengadilan HAM atau Pengadilan HAM Ad Hoc. Langkah langkah ini mesti dilakukan untuk memperbaiki citra negara, karena itu perlu ada langka strategis dari negara berdasarkan UU no 39 tahun 1999 dan UU no 21 Tahun 2001, membentuk KOMISI DAERAH HAM Papua (KOMDA HAM Papua) dengan PERDASUS.
Penutup
Gubernur Papua, MRP, DPRP dan LSM serta aktivitis kemanusiaan di Papua, harus segera menggagas pembentukan Komda HAM Papua. Komisi ini penting dibentuk dengan berbagai alasan; ini penting untuk membantu memperbaiki citra negara di papua agar rasa dendam warga terhadap aparat negara serta citra negara menjadi lebih baik dimata orang papua, agar kasus kasus pelanggaran HAM di Papua dapat diselesaikan cepat, untuk memberikan kepuasan bagi keluarga korban dan korban. jika urusannya masih terpusat di Jakarta memerlukan biaya yang besar, jika terpusat maka memerlukan transportasi dan biaya transportasi yang besar, jumlah anggota KOMNAS HAM RI yang terbatas akan sulit menangani masalah yang banyak diseluruh Indonesia, karakter orang papua yang keras akan menyinggung komisioner yang mempunyai budaya yang lain dengan orang papua, status khusus bagi papua mempunyai kekuatan hukum yang baik untuk mengatur secara khusus penyelesaian kasus ham dimasa lalu dan masa akan datang di papua, SDM di papua telah siap melakukan tugas tugas Penegakan HAM di Papua. Hubungan dengan Jakarta atau KOMNAS HAM RI, hanya bersfat koordinatif.