Kasus kekerasan terhadap anak masuk kategori memprihatinkan. Polisi pun mengambil bagian menganiaya mereka.

Penganiayaan terbaru melibatkan oknum kepolisian terjadi di Merauke. Ary Riski Tuhepary (15), dipukul dua oknum polisi berinisial T dan Y karena dituduh mencuri handphone. Kuasa Hukum korban, Betsy Imkota menjelaskan, Ary dipukul agar mengakui perbuatannya. Akibat penganiayaan, korban mengalami luka robek di bagian alis kiri dan harus dijahit. “Korban masih  dibawah umur dan tidak mengambil handphone. Tetapi ia dipaksa mengaku. Bahkan, dianiaya oleh dua oknum polisi di ruangan SPK,” ujarnya.

Menurut Betsy, tindakan tersebut sudah sangat berlebihan. “Saya tidak akan mempersoalkan jika korban hanya diambil keterangan. Tetapi ini justru dianiaya hingga mengalami luka robek,” tutur dia.

Betsy mendesak Kepala Kepolisian Resor Merauke, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sri Satyatama agar memproses oknum anggota yang melakukan tindakan main hakim sendiri itu. Jika tidak ada respon, ia akan mengadu sampai ke Polda Papua.

Awal April 2015, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menerima laporan penganiayaan seorang anak bernama Yanto Pihahey (16) dilakukan oknum TNI AD dari Kodim 1703/Manokwari. Korban dipukul di bagian dada, pelipis dan dagu karena dianggap menyalahi aturan lalu lintas nyaris bertabrakan dengan pelaku. Akibat insiden ini, Yanto mengalami luka memar dan dadanya sakit. “LP3BH akan terus mengawal kasus ini hingga pada proses hukum,” kata Yan Warinussy, Direktur LP3BH.

LP3BH juga mendesak Dandim 1703/Manokwari dan DanSubden POM Manokwari untuk segera memanggil dan menemukan oknum anggota TNI AD serta memprosesnya sesuai hukum yang berlaku.

Kasus serupa pernah pula terjadi di Waropen. Ketika itu melibatkan tiga anak dibawah umur yang dituduh mencuri uang gereja. Empat oknum polisi penganiaya HW (12), salah satu korban, tidak diseret ke meja hijau. Kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

Kapolres Waropen AKBP Decky. H. Siregar mengatakan, kasus tersebut telah dicabut. “Dan uang yang diambil, diganti oleh tiga keluarga,” ujarnya. Kapolres berjanji akan tetap memberikan sanksi kepada 4 anggota Polres agar tidak lagi mengulangi perbuatannya.

Di Teluk Wondama, dunia pendidikan dasar tercoreng menyusul aksi pemukulan seorang PNS berinisial MY, terhadap Zakeus Kurosa (11 tahun) siswa kelas 2 di SD Inpres Wasior. Kronologisnya bermula ketika Zakeus tengah membersihkan jendela kelas dan tanpa disengaja, tangkai sapu yang terbuat dari kayu mengenai dahi teman kelasnya bernama Varia. Orang tua Varia pun naik pitam ketika mengetahui anaknya mengalami luka memar. Pelaku kemudian mencari Zakeus dan memukulnya di dalam kelas. Beruntung, saat itu Kepala SD Inpres Wasior, Jermias Mariai datang melerai.

Zakeus merupakan siswa dari Kampung Oya – Distrik Naikere. Ia dibawa Jemaat Gereja Syaloom untuk di sekolahkan di Kota Wasior. Kasus ini telah dilaporkan ke kepolisian.

 

Kekerasan seksual

Selain penganiayaan, anak juga menerima kekerasan seksual. Ironisnya, angka kasus ini di Papua memasuki zona darurat nasional, mencapai 62 persen. “Di Tahun 2011, Komnas Perlindungan Anak menerima 345 kasus kekerasan terhadap anak, 48 persen di antaranya adalah kekerasan seksual,” kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Di tahun 2012, lanjut Arist, dari 498 kasus, 58 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. “Tahun 2013, di Papua menurun menjadi 412 kasus, namun kekerasan seksual meningkat menjadi 62 persen, ini patut diwaspadai,” tukas Arist.

Tingginya kekerasan anak di Papua melatarbelakangi tiga badan dunia PBB yaitu UN Woman, Unicef dan United Nation Population Fund bersama Pemprov Papua menargetkan delapan sekolah dan lima desa menjadi percontohan bebas kekerasan anak dan perempuan.

Koordinator United Nation Population Fund Papua, Samuel Polii mengungkapkan kabupaten yang menjadi sasaran kegiatan bebas kekerasan anak yaitu Jayapura dan Jayawijaya yang telah dilaksanakan sejak Maret 2011 hingga 31 Desember 2013. “Kita harapkan setiap desa dan sekolah yang menjadi target bebas kekerasan mendirikan kelompok kerja sehingga menjadi tempat perlindungan dan tempat konsultasi dalam mengatasi kekerasan,” harap Samuel Polii.

Program disiplin positif anti-kekerasan ini adalah tindak lanjut dari survei Lembaga PBB untuk Anak-anak UNICEF tentang kekerasan di Papua. Survei menyebut, 80% anak di Papua mengalami hukuman fisik. Dari jumlah itu, 30% menerima hukuman fisik yang cukup berat dari lingkungan sekitarnya dan sekolah.

Dalam program ini, para guru dididik untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas kekerasan fisik melalui pendekatan disiplin positif. Sekolah diharapkan mampu menghadirkan situasi yang aman dan menyenangkan bagi siswa. Apalagi UNICEF mencatat, dampak kekerasan sangat buruk bagi pembelajaran, salah satunya anak dapat putus sekolah karena takut dipukuli oleh gurunya.

Pemimpin UNICEF Papua dan Papua Barat, Margareth Sheehan menuturkan, program ini telah dilakukan sejak akhir 2012 lalu atas kerjasama dengan dinas pendidikan setempat. “Program ini hanya kami berikan untuk Papua, tidak ada di provinsi lain. Kami berharap semua anak di Papua dan belahan dunia manapun memiliki hak untuk bebas dari kekerasan, baik fisik, emosional maupun seksual,” jelasnya.

Salah satu pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Papua, Hans Hamadi mengatakan, masih banyak hak anak di Papua belum terpenuhi. “Hukuman fisik di sekolah mesti dihentikan. Guru perlu menjadi kreatif untuk menggantikan hukuman fisik,” ujarnya.

Kepala Sekolah SD Bonaventura Sentani, Theodorus Montolalu menuturkan, sejak sekolahnya menerapkan disiplin positif anti kekerasan, situasi di sekolah menjadi lebih baik. Ia mengisahkan, sebelum menerapkan program ini, setiap meja guru di 12 kelas, selalu tersedia penggaris kayu panjang untuk memukul siswa. “Jika ada siswa nakal, pasti saja kena hukuman dari penggaris kayu itu. Entah itu siswa dipukul dikaki atau tangan,” kata dia.

Saat pertama kali sistem ini diterapkan, kata dia, memang kebanyakan guru masih kaku menjalankannya. Beberapa kali juga dijumpai, para guru saat mengajar masih saja memegang penggaris kayu untuk menghukum siswa yang mengganggu di kelas. “Namun saat ini, situasi di sekolah sangat berbeda. Kami sudah dapat menerapkan disiplin positif itu kepada siswa. UNICEF memberikan 6 langkah untuk menghapus kekerasan fisik kepada anak,” terangnya.

 

Data Kekerasan

Sejauh ini, Indonesia tidak memiliki data nasional tentang kekerasan terhadap anak. Pemerintah dengan dukungan dari US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan UNICEF masih terus saja melakukan survei nasional tentang prevalensi kekerasan fisik, emosional dan seksual terhadap anak laki-laki dan perempuan di 25 dari 33 provinsi.  

Data sub-nasional yang ada memberikan gambaran suram. Menurut Multiple Indicator Cluster Survey (MICS) 2011 yang dilakukan di tiga kabupaten di Papua, misalnya, dua pertiga dari anak di bawah usia 15 mengatakan, mereka pernah dihukum secara fisik. Lebih dari seperempat responden bahkan mengatakan bahwa hukuman fisik tersebut cukup parah.

Indonesia sendiri sebenarnya telah mengeluarkan sejumlah hukum yang menangani kekerasan terhadap anak, termasuk UU 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun penegakan hukum tersebut masih menjadi tantangan. Dalam laporan terbaru, pemerintah akan mengembangkan “peraturan nasional dan daerah yang melarang segala bentuk hukuman fisik dan psikologis anak di rumah dan di sekolah.”

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA), Yohana Susana Yembise mengungkapkan sampai saat ini, baru empat kabupaten atau kota yang sudah masuk kategori layak anak. Selain Aceh, provinsi lain yang masih memiliki banyak daerah belum layak anak adalah Papua. “Di seluruh Indonesia, yang masuk kategori layak anak baru 239 kabupaten atau kota,” ujarnya.

Suatu daerah dapat masuk kategori layak anak apabila memiliki rumah sakit layak anak, puskesmas ramah anak, sekolah ramah anak, bahkan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang juga melibatkan forum anak. “Tersedia pula tempat bermain untuk anak-anak, termasuk untuk anak berkebutuhan khusus,” ucapnya. Yohana menyebutkan, daerah yang layak anak sangat penting untuk dikembangkan di seluruh Indonesia. Salah satu manfaatnya untuk mengurangi kekerasan terhadap anak.

Ia menambahkan, masalah kekerasan terhadap anak masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Yohana menyebut, ada beberapa faktor yang memengaruhi belum teratasi masalah ini. “Kelemahan kita adalah kurang komunikasi, monitor dan controling, serta koordinasi,” ucap Yohana.

Demi menghilangkan kekerasan serta mengimplementasikan penerapan hak anak, sambung Yohana, hukuman terhadap pelanggar hak anak, mesti diperbarui. (dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *