Jayapura – Sebutan gambut belum familiar di Papua. “Dengar berita di Riau, ada kebakaran lahan gambut macam bingung, lahan gambut tu yang bagaimana?” kata Wirya, pegiat lingkungan aktif di Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua, mengenang kejadian beberapa tahun lalu. Diapun berupaya mencari tahu.

Wirya adalah koordinator Pantau Gambut Regio Papua bersama Godlif Korwa, dari Yayasan Lingkungan Hidup (Yali) Papua.

Pertengahan Mei lalu di Jayapura, mereka sosialisasi dan mendiskusikan platform perlindungan gambut Papua bersama media, komunitas mahasiswa dan LBH Jayapura.

Banyak peserta hanya mendengar, namun tak memahami apa dan bagaimana bentuk gambut itu. Dalam kegiatan ini, Pantau Gambut Papua memperkenalkan  lahan gambut, klasifikasi berdasarkan ketebalan, luas dan sebaran di Pulau Papua, serta ancaman kerusakan.

Sebagian besar gambut berupa hutan dan menyimpan karbon jumlah besar. Karbon, katanya, tersimpan mulai permukaan hingga kedalaman. Saat terjadi penebangan hutan terutama dalam skala besar, oksigen dan sinar matahari memicu pelepasan karbon dari dalam tanah gambut.

Karbon bertransformasi jadi karobondioksida dan lepas ke udara bebas. Pelan-pelan lahan gambut yang menyimpan air dalam jumlah besar jadi kering dan mudah terbakar hingga berbagai gas beracun terlepas ke atmosfir.

Berdasarkan ketebalan, gambut diklasifikasi jadi empat, antara lain gambut dangkal ketebalan 50-100 cm,  gambut sedang 100-200 cm, gambut dalam 200-300  cm dan gambut sangat dalam lebih 300 cm.

Data Wetland Internasional 2006  menyebutkan, ketebalan gambut Papua umumnya tak lebih tiga meter. Gambut dangkal relatif lebih subur dibanding gambut dalam.

Proses sagu jadi bahan pangan. Sagu salah satu tanaman yang jadi pangan pokok dan bagian budaya Papua. Sayangnya, perusahaan skala besar yang membuka kebun-kebun monokultur seperti sawit menggerus hutan dan dusun sagu ini. Hal itu terjadi termasuk di lahan gambut. Pemulihan gambut akan dilakukan dengan salah satu, tanaman sagu. Foto: Agapitus Batbual/www.mongabay.co.id

Sebaran dan ancaman kerusakan

Di Papua, gambut tersebar hampir di 37 kabupaten baik di Papua maupun Papua Barat dengan luas beragam.

Berdasarkan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBLSDLP) Kementerian Pertanian, luas gambut di seluruh Papua 3.681. 673 hektar, sebanyak 2.658.184 hektar Papua dan  1.023.489 hektar Papua Barat.

Lahan gambut terluas di  Papua ada di Mappi (479.848 hektar), Membramo Raya (384.496 hektar), Asmat (378.415 hektar), Mimika (268.207 hektar), Sarmi (203.909 hektar), Boven Digoel (179.523 hektar) dan  Tolikara (168.233 hektar).

Untuk Papua Barat ada, di Teluk Bintuni (445.659 hekta), Sorong Selatan (287.905 hektar), Sorong (126.201 hektar) dan Kaimana (107.436 hektar).

Dari jumlah ini, sudah 80.000 hektar rusak. Dia bilang, kerusakan lahan gambut di wilayah lain di Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan, 20 kali lipat dibanding Papua hingga penting tata kelola yang baik hingga tak timbulkan masalah ke depan.

Data lahan gambut Papua masih berbeda-beda antara  BBLSDLP, Wetlands International dan Badan Restorasi Gambut.

Menurut BBLSDLP 3.681. 673 hektar, Wetlands International 7,97 juta hektar dan Badan Restorasi Gambut 6 juta hektar.

Pantau gambut Papua pakai data BBLSDLP. Sisi lain, Kementerian kehutanan pakai data Wetland. “Ini harus diklarifikasi lagi oleh Pantau Gambut Papua, karena nanti sulit pemantauan kalau data awal masing-masing masih berbeda-beda.”

Meskipun begitu, potensi kerusakan gambut Papua sangat tinggi. Ancaman kerusakan terbesar, katanya, dari perusahaan-perusahaan yang dapat izin eksploitasi dibandingkan masyarakat kecil buat keperluan pertanian.

Dalam peta sebaran izin perusahaan di Papua, baik pengusahaan hutan alam, maupun pertambangan dan perkebunan, berada di atas gambut.

Hasil penelitian Jerat Papua 2014 menyebutkan, ada 155 perusahaan beroperasi di Papua dan mengkapling lahan 25.527.497 hektar atau lebih separuh luas daerah ini.

Dari data BBDSLP, peta stok karbon Papua, 4.875.648.988 ton ada di Papua dan 1.651.119.005 ton Papua Barat serta 97,94% di kawasan hutan.

Degradasi dan deforestasi terus terjadi. Periode 2000-2014, rata-rata degradasi pertahun 190.994 hektar melepas emisi 282.917.103 Ton CO2 atau rata-rata 20.208.364 ton CO2 pertahun. Deforestasi 38.775 hektar pertahun dengan total emisi  278.342.241 ton CO2 atau 19.881.589 ton CO2.

 

Upaya perlindungan

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah dibentuk Badan Restorasi gambut (BRG). BRG menjadi lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Papua, salah satu provinsi prioritas kertas BRG dalam merestorasi gambut. Selain Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Salah satu program BRG adalah Desa Peduli Gambut (DPG) Tahun 2017 ada di 75 desa tersebar di tujuh provinsi termasuk Papua.

Melalui program ini, dilakukan pemetaan sosial-spasial dan pendampingan terhadap Desa Peduli Gambut. Di Papua, program ini di dua kabupaten yaitu Merauke dan Mappi.

Beatriks Gebze, Enumerator Program Desa Peduli Gambut di Merauke mengatakan, Juni-Juli 2017, akan pemetaan gambut di Kampung Kaliki Distrik Kurik, Merauke. Bersamanya ada tim lain antara lain fasilitator desa dan tenaga penghubung kegiatan BRG di provinsi.

“Kami akan pemetaan lahan gambut, kondisi terakhir, kepemilikan perusahaan atau masyarakat. Jika ada aktivitas pembangunan oleh pemerintah, apakah terdapat kanal dan sumur bor, potensi di lahan gambut. Terpenting bagaimana pengetahuan masyarakat tentang gambut dan pemanfaatan selama ini,” katanya.

Kegiatan di desa-desa itu dari perencanaan dan pembentukan kawasan perdesaan, perhutanan sosial dan reforma agraria. Lalu, resolusi konflik, pemberdayaan ekonomi desa, penguatan pelembagaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan gambut serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Ditambah juga penguatan inovasi lokal oleh komunitas terkait pengelolaan gambut.

Meskipun BRG kabupaten belum terbentuk, katanya, sebagai tim tetap berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) dan dinas-dinas terkait termasuk Dinas Kehutanan.

Sementara itu, dari organisasi non pemerintah, Pantau Gambut Papua sudah terbentuk dan melibatkan beberapa lembaga pemerhati lingkungan. Di Papua berpusat di Jayapura, di Papua Barat di dua tempat yaitu Sorong dan Manokwari.

Wirya bilang, ada dua hal penting dalam rencana kerja Pantau gambut Papua. Pertama, kapasitas untuk mendukung proses dan kinerja gerakan Pantau Gambut Papua. Kedua, obyek pantau seperti kondisi gambut di tiap wilayah, ancaman dan respon daerah terhadap inisiatif yang dimulai Pusat. Komitmen pelaku restorasi sendiri baik pemerintah, swasta maupun masyarakat juga jadi obyek pantau.

 

Pilih sagu

Untuk perlindungan dan restorasi gambut di Papua, sagu jadi salah satu pilihan. Sagu, katanya,  sangat dekat dengan kehidupan orang Papua terutama di pesisir, bahkan dianggap sebagai identitas Papua.

“Sagu memiliki nilai material dan spiritual. Sebagai nilai material, sagu sumber makanan sehat dan memberikan beragam manfaat lain untuk kebutuhan sehari-hari orang Papua. Daun bisa buat dinding atap rumah dan lain-lain.”

Sagu juga tanaman ramah gambut. Sagu dapat menyerap air 200-1.000%. Masa panen sagu di lahan gambut sekitar 10-12 tahun. Sagu sekali tanam, tak perlu tanam lagi, tak perlu pupuk atau dibersihkan. Sagu juga berfungsi sebagai tanaman pelindung agar lahan gambut tak mengering dan terbakar.

Sumber : https://www.mongabay.co.id

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *