JERATPAPUA – Sebagian besar daerah Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi sasaran investasi skala besar untuk industri pembalakan kayu, perkebunan besar dan pertambangan, yang dikendalikan dan dimiliki oleh perusahaan pemodal besar.

Selama dua hari, dari tanggal 21-22 November 2017. Perwakilan masyarakat adat (perempuan dan laki-laki) dan organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah di Papua melakukan lokakarya dan mendiskusikan secara kritis terkait kebijakan dan keberadaan ijin-ijin industri ekstraktif yang melanggar HAM dan merugikan hak-hak masyarakat adat Papua.

Dalam konfrensi pers di Waena (23/11/2017) Adolfina Kuum, seorang perempuan Amugme menyatakan tentang sikap mereka terhadap PT.Freeport

“Sejak awal Freeport beroperasi dan hingga kini, saudara-saudara kami sudah menjadi korban, tanah kami dirampas, kebun digusur, tempat-tempat keramas dibongkar dan dikuras hasilnya, masyarakat dipindahkan dan menjadi korban kekerasan, ditahan dan disiksa tanpa proses hukum, mereka terbunuh dan dihilangkan. Sungai dan danau rusak, tercemar oleh limbah berbahaya dari mesin tambang Freeport, hingga ke daerah tanah datar dan pesisir pantai”, ungkap Adolvina Kuum, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tembagapura.

Kehadiran perusahaan-perusahaan mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan social ekonomi, peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja, namun realitasnya tidak terjadi. Justeru semakin banyak masyarakat adat setempat kehilangan sumber ekonomi dan sumber pangan, mereka hanya menjadi buruh dan pendapatan dibawah hidup layak.

Perwakilan Suku Yerisiam Gua, Nabire, Sambena Inggeruhi, mengungkapkan saat awal saja masyarakat adat setempat, perempuan dan laki-laki, direkrut menjadi buruh kasar dan upahnya tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari usaha hasil hutan dan dusun sagu. “Setelah itu masyarakat adat setempat tidak lagi kerja dan berkonflik dengan perusahaan. Kami yang memperjuangkan hak-hak masyarakat mengalami ancaman kekerasan dan dituduh dengan berbagai label miring, yang merugikan dan merendahkan martabat masyarakat adat”, jelas Inggeruhi.

Adolvina Kuum, menyatakan “Kami mendesak kepada pemerintah untuk mencabut ijin-ijin perusahaan tersebut, seperti PT. Freeport Indonesia, yang jelas melanggar hukum, melakukan pelanggaran HAM, merusak lingkungan dan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat adat Papua hari ini dan di masa mendatang. Kami juga mendesak perusahaan menghormati standard dan instrument hak asasi manusia”, desak Adolvina Kuum.

Dalam pertemuan tersebut, peserta menghasilkan Pernyataan Maranatha dan rekomendasi, antara lain: mendesak pemerintah secara sungguh-sungguh memenuhi, mengakui, menghormati dan melindungi hak konstitusional masyarakat adat Papua, termasuk keberadaan dan hak atas tanah Orang Asli Papua;  mendesak pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah, untuk melakukan peninjauan kembali dan memberikan sangsi terhadap kebijakan peraturan dan perijinan yang melanggar hak asasi manusia dan melanggar hak hidup masyarakat adat Papua, cacat hukum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; serta mendesak pemerintah secara serius untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM, konflik dan keluhan masyarakat adat terkait perampasan tanah dan pengrusakan hutan skala luas, serta memulihkan hak-hak korban. (Wirya Supriyadi)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *