Pertambangan rakyat merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak jaman Belanda di daerah Kalimantan. Kegiatan pertambangan rakyat juga berlangsung di daerah Bangka Belitung dan juga di daerah Sulawesi Utara.
Kegiatan pertambangan rakyat kadangkala menjadi masalah bagi pemerintah dan juga bagi perusahaan pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP), seperti yang terjadi pada PT.Timah, yang akhirnya masyarakat berjuang sampai melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, untuk memperoleh WPR dari PT.Timah.
Di tempat yang lain juga yaitu di Bima, Nusa Tenggara Barat. Akibat bentrok terkait kasus ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Jero Wacik, meminta seluruh Bupati di Indonesia mengambil pelajaran dari kasus pertambangan di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Bima Ferry Zulkarnain untuk PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) diprotes warga hingga menimbulkan bentrokan berdarah dengan polisi. Kasus ini menunjukkan otoriter pemerintah yang memaksakan kehendak kepada masyarakat untuk kepentingan pengusaha.
Potret Degeuwo
Perdebatan itu seputar apa yang harus dilakukan atau apa langkah-langkah yang harus diambil untuk Degeuwo. Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dengan kegiatan pertambangan. Ada pendapat berbagai pihak, pertama, penutupan lokasi penambangan emas.
Lokasi emas ditutup alias tidak diolah oleh siapapun termasuk masyarakat setempat. Dengan alasan kegiatan pendulangan emas selama ini telah membawa dampak antara lain:
- peredaran minuman beralkohol, banyaknya mangker dan sering terjadi kekerasan terhadap masyarakat;
- kedua, yang dibolehkan untuk melakukan penambangan hanya yang mempunyai ijin. Dengan alasan jika dikerjakan hanya oleh pemegang ijin maka hanya yang tidak mempunyai ijin tidak akan bekerja;
- ketiga adalah lokasi pendulangan emas/pertambangan emas diusulkan menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Alasannya lokasi ini sudah dikerjakan sejak tahun 2003 oleh masyarakat.
Kegiatan ini telah menjadi mata pencaharian masyarakat, telah ada ribuan masyarakat Papua dan Non Papua yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan pendulangan emas di Kampung Nomouwodide, Bogobaida, Paniai.
Tinjauan Regulasi
Selama tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 pemberitaan kasus-kasus dan pengaturan pertambangan di Indonesia menyita perhatian publik.
Kelahiran Perpu No. 1 Tahun 2004 yang kemudian disyahkan menjadi UU No. 19 Tahun 2004 memberikan warna tersendiri di pentas sejarah pertambangan.
Kemudian lahir Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 20 Tahun 2012 tentang Wilayah Pertambangan.
IPR diberikan ‘terutama’ kepada penduduk setempat, yaitu perseorangan dengan luas maksimal 1 hektar, kelompok masyarakat maksimal 5 hektar, dan/atau koperasi maksimal 10 hektar dan tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
Dari norma ini dapat dicermati bahwa IPR dapat saja diberikan kepada bukan penduduk setempat dan berdasarkan pengalaman pertambangan yang ada di daerah Pongkor, Sekotong, Labaong.
Dalam kaitan dengan penerapan UU No 4 Tahun 2009 dan PP No 20 Tahun 2010, khususnya terkait dengan pertambangan rakyat karena ada dua pasal yang dinilai merugikan masyarakat, maka pelaku penambang rakyat di Bangka Belitung melakukan yudisial review terhadap UU 4 tahun 2009 khususnya terkait Pertambangan Rakyat.
Ada dua pasal yang diuji dalam perkara ini, yakni Pasal 22 huruf e dan huruf f serta Pasal 52 ayat (1) UU Minerba.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, ketentuan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di dalam UU Minerba adalah sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara untuk terlibat atau berperan aktif melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection) dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara Namun, lanjut Mahkamah, jika dikaitkan dengan Pasal 22 huruf f, justru berpotensi menghalang-halangi hak rakyat untuk berpartisipasi dan memenuhi kebutuhan ekonomi melalui kegiatan pertambangan mineral dan batubara, karena pada faktanya tidak semua kegiatan pertambangan rakyat sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.
Sedangkan terhadap pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Minerba, Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sudah jelas dan tegas. Di mana urutan prioritasnya adalah dengan memberikan prioritas untuk menetapkan WPR terlebih dahulu, kemudian Wilayah Pencadangan Negara dan terakhir Wilayah Usaha Pertambangan.
Ruang Kelolah
Dengan adanya judicial review ini maka sudah semakin jelas keberpihakan dari pemerintah pusat terhadap penambang rakyat atau ruang kelola rakyat, kini adalah tugas pemerintah daerah untuk mengimplementasikannya dengan membuat Peraturan Daerah diikuti oleh penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan pemberian Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) sesuai dengan batasan kewenangan yang sudah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Saya percaya kita semua sepakat untuk menjadikan Papua sebagai tanah damai, kebun bagi semua lapisan dan semua suku bangsa yang mendulang di Degeuwo dan Papua lainnya.
Saya yakin pasti kami sepakat dua gambaran yang dijelaskan di atas tidak akan terjadi di tanah Papua. Untuk itu perlu adanya langkah kongkrit untuk mengarahkan PETI menjadi WPR di Papua sebagai ruang kelola masyarakat adat dalam bidang pertambangan rakyat.
Pilihan pengusulan penetapan wilayah pertambangan rakyat, masih belum dipahami benar tentang maknanya sehingga perlu dikomunikasikan dengan baik kepada semua yang berkepentingan. Agar diketahui dan dipahami benar oleh semua pihak di Papua.
Karena penetapan WPR merupakan pilihan yang dipandang tepat dalam rangka membuat masyarakat dapat terlibat aktif dalam pertambangan dan diharapkan dapat membuat masyarakat pemilik tanah dapat membangun kemitraan dengan pihak pendatang dalam rangka bagi hasil yang pada gilirannya membuat masyarakat pemilik tanah akan mendapat manfaat ekonomi demi peningkatan kesejahteraan mereka sekaligus mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antara para pendatang dan masyarakat asli Papua.
Penutup
Ruang kelola masyarakat dalam pertambangan sejatinya ada dengan istilah WPR dan telah dikuatkan dengan adanya putusan MKRI dan ruang kelola masyarakat yang disebut WPR telah menjadi prioritas dan juga tidak dihalangi dengan adanya pasal dan ayat yang menyebutkan dapat ditetapkan jika selama 15 tahun dikerjakan berturut turut telah ditolak oleh MKRI, konsekuensinya adalah PERDASI No 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat Di Papua harus direvisi dan dibuat sebuah Perdasi baru, agar dapat dilaksanakan putusan MKRI ini.
- Mendesak Mentri ESDM melakukan perubahan terhadap Permen ESDM tentang Wilayah Pertambangan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah agar mengakomodir sejumlah Pertambangan rakyat dalam Peta WP Papua sebagai WPR.
- Selanjutnya Gubernur Papua dan DPRP harus membuat Perdasi tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Papua sekaligus harus dilakukan tata ulang Perijinan yang ada di Papua, karena kehadiran Pergub No 41 Tahun 2011 yang menghasilkan 56 IUP telah bertabrakan atau tumpang tindih dengan IUP dari Kabupaten kota sesuai dengan UU 4 Tahun 2009 dan UU No 32 Tahun 2004.
- Berikan pengutamaan kepada masyarakat adat papua dan anak papua memproleh ijin tambang agar Orang Papua dapat menjadi Tuan atas bahan tambangnya. Kita harus bermimpi suatu waktu ada orang papua yang harus menjadi pimpinan tambang, yang dia investasi sendiri dan dia kelola sendiri.
*Penulis adalah John NR Gobai,Anggota DPR Papua