JAYAPURA, JERAT PAPUA – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay meyakini , bahwa sejumlah konflik berkepanjangan yang terus terjadi di tanah Papua sejak 1963 hingga 2021, akibat adanya perampasan tanah, hutan dan SDA Masyarakat Adat Papua oleh Pihak –pihak berkenpentingan.
Emanuel Gobay mencontohkan beberapa konflik berdarah yang hingga kini belum mendapatkan perhatian penyelesaian, seperti kasus Wasior berdarah, Biak beradarah, kasus Penembakan di Intan Jaya, kasus Penyerangan di Puncak, dan Puncak Jaya, hingga kasus di Timika, dan Boven Diegol, Sorong dan Nabire “semuanya ini ada kaitanya dengan perampasan-perampasan tanah dan SDA Masyarakat Adat Papua, kalau ditinjau atau diteliti lebih dalam ini kan bermuara pada perebutan tanah, hutan dan SDA, yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang untuk negara dan investor “ungkap Gobay .
Kalau dalam beberapa konteks kasus yang terjadi selama ini, kata Emanuel Gobay seperti kasus Wasior berdarah, Paniai berdarah, kemudian Wamena berdarah kasusnya sampai saat ini masih ada di Komnas HAM masuk dalam kategori kasus pelanggaran HAM sipil Politik. Sementara untuk kasus Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB) atau lebih erat dengan perampasan tanah adat, Gobay mengungkapkan baru dua kasus yang di tangani hingga ke tingkatan proses hukum oleh Masyarakat Adat Yerisiam yang menggugat PT. Nabire Baru dan Masyarakat Adat Amungme terhadap PT. Freeport Indonesia yang di gugat oleh Tom Beanel dan Mama Yosepa Alomang “baru dua kasus tersebut, yang lain belum“ katanya
Gobay berpandangan bahwa sumber-sumber konflik yang terjadi selama ini di Provinsi Papua dan Papua Barat, sangat erat keterkaitannya dengan perampasan tanah adat milik Masyarakat Adat di wilayah tersebut “kalau ditanya menyangkut apakah ada kaitanya antara perampasan tanah adat, juga merupakan kasus pelanggaran HAM? Jawabannya, Pasti Ya. Sebagai contoh kasus Wasior Berdarah, yang terjadi pada 13 Juni 2001 yang awalnya kasus tuntutan terhadap hak ulayat atas perusahaan PT. Vatika Papuana Perkasa (VPP), berujung pada terjadi penyerangan oleh sekelompok orang sipil bersenjata terhadap Pos Keamanan PT. (VPP) di Kampung Wondoboy-Distrik Wasior-Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua (sekarang Provinsi Papua Barat).
Padahal semulanya perusahaan kayu PT VPP dianggap warga mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat. Masyarakat lantas mengekspresikan tuntutan mereka dengan menahan speed boat milik perusahaan sebagai jaminan, setelah memberikan toleransi sekian waktu lamanya. Aksi masyarakat ini dibalas oleh perusahaan dengan mendatangkan Brimob untuk melakukan tekanan terhadap masyarakat Masyarakat lantas mengeluhkan mengenai perilaku perusahaan dan Brimob ini lantas disikapi oleh kelompok sipil bersenjata dengan kekerasan.
Saat PT VPP tetap tidak menghiraukan tuntutan masyarakat untuk memberikan pembayaran pada saat pengapalan kayu, kelompok sipil bersenjata menyerang sehingga menewaskan lima orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan PT VPP serta membawa kabur enam pucuk senjata milik anggota Brimob bersama peluru dan magazennya. Saat aparat setempat melakukan pencarian pelaku, terjadi tindak kekerasan kepada masyarakat di kampung berupa penyiksaan, pembunuhan, penghilangan secara paksa hingga perampasan kemerdekaan di Wasior.
Gobay mengutarakan bahwa dari kasus Wasior berdarah, yang telah terjadi 19 tahun lalu kita bisa belajar dimana, keterkaitannya sangat jelas sekali awalnya adalah kasus tentang tuntutan pembayaran ganti rugi hak ulayat dari masyarakat adat kepada perusahaan berubah menjadi kekerasan kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat, “tuturnya.
Selain itu, tidak adanya titik temu dari negosiasi-negosiasi dan gagalnya kesepakatan antara perusahan, dengan Masyarakat Adat atas penggunaan lahan Masyarakat Adat yang menyebabkan semua ini terjadi, ditambah lagi dengan perusahaan menggunakan kekuatan aparat keamanan untuk menekan masyarakat adat. (nesta)