JAYAPURA, JERAT PAPUA – Jaringan Kerja Rakyat Papua (JERAT PAPUA) menemukan adanya kelalaian pemerintah dalam melindungi warga negaranya, terutama dalam proses-proses investasi di tanah Papua yang mengarah pada kejahatan lingkungan hidup, kejahatan terhadap kehutanan dan kejahatan terhadap budaya masyarakat adat. Hal ini, bermuara kepada pola-pola perampasan lahan Masyarakat Adat oleh pelaku investasi/Investor skala besar yang terjadi secara masif di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Selama ini kasus perampasan tanah seolah menjadikan masyarakat adat seperti ‘tidak ada’ karena adanya investasi besar besaran. Negara seakan memprioritaskan investor saja dan tidak lagi menghiraukan adanya keberadaan masyarakat adat.
Staf Advokasi Jerat Papua Ronald Manufandu mengungkapkan, melalui kegiatan kompilasi laporan riset perampasan tanah yang digelar oleh JERAT PAPUA, dengan tujuan untuk melakuka review bersama dengan mitra JERAT dari 10 kabupaten atas temuan-temuan yang diperoleh. Temuan ini, perlu mendapat tanggapan balik dari mitra sebelum difinalisasi untuk dipublikasikan secara luas oleh JERAT Papua. Jika ada hal yang perlu ditambahkan dapat diberi pembobotan dari sisi peristiwa dan data ril yang sedang terjadi didaerah sehingga kita dapat mendapatkan potret up to date dari 10 kabupaten dari temuan perampasan tanah yang sedang terjadi. Terutama yang dilakukan oleh para investor skala besar yang mengancam kehidupan sosial budaya masyarakat adat Papua. ” Jika ada hal yang perlu ditambahkan dapat diberi pembobotan dari sisi peristiwa dan data ril yang sedang terjadi dari masing-masing daerah dimana pengambilan data dilakukan sehingga kita dapat melakukan perbaikan-perbaikan untuk memperjelas skema perampasan tanah yang sedang terjadi.”ungkap Ronald Manufandu Rabu, 28 April 2021
Alex Waisimon pemerhati lingkungan dan pencetus wisata Cenderawasih di Nimoboran menyampaikan dampak dari permasalahan perampasan lahan merupakan masalah klasik yang selama ini terjadi di Tanah Papua. Oleh karena itu, perlu untuk mempertegas usaha yang kita bisa lakukan agar masalah klasik ini tidak terus terjadi. ” Strategi perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit memiliki pola yang sama. Investor datang dengan cara yang ‘kurang ajar’ dalam memperdayai masyarakat adat dengan membawa uang tunai serta didukung oleh oknum aparatur keamanan.”ujarnya .
Masyarakat selama ini ada yang tegas melawan investor dan ada beberapa yang berhasil contohnya adalah usaha yang kami lakukan bersama dengan pemerhati seperti LSM sehingga perusahaan Permata Nusa Mandiri saat ini sementara menyimpan alat- alat dan tidak melanjutkan aktivitas mereka. “ Hal ini menjadi motivasi bagi kita untuk terus komit bergerak. – Banyak strategi licik yang dilakukan oleh investor diantaranya adalah dengan memberikan ‘iming-iming’ atau ‘janji janji manis’, contohnya adalah mengajak Kepala Suku untuk jalan-jalan ke luar Papua.”tuturnya.
Yohanes Nong dari Boven Digoel, juga mengungkapkan hal senada, bahwa strategi yang sering dilakukan oleh perusahaan adalah melalui strategi pengangkatan anak adat. Hal ini dengan masif terjadi di wilayah Ha’anim-Selatan Papua. ” Orang dari luar masyarakat adat diangkat menjadi anak adat. Kapasitas anak adat ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan pelepasan lahan dengan mudah karena dianggap telah menjadi bagian dari masyarakat adat tersebut.” Ungkapnya
Menurut Yohanes, hal ini adalah strategi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang telah gagal dilakukan di wilayah Selatan Papua. Dimana, perusahaan hanya mengambil kayu dari hutan masyarajat adat, dan menjualnya. Dari kayu saja, perusahaan ini, telah untung sementara masyarakat adat hanya menerima hutan yang rusak serta tempat berburuh dan dusun sagu hilang. Atas terjadinya perampasan lahan ini dampak lain yang akan terjadi adalah hilangnya kepercayaan adat dari masyarakat.” Kita perlu mengetahui bahwa setiap masyarakat memiliki kepercayaan leluhur, seperti di Merauke ada yang memiliki kepercayaan kepada pohon, kepada rusa dan lainnya. Saat lahan dan tanah mereka dilepas maka masyarakat adat kehilangan jati diri mereka. “tandasnya.
Selama ini kasus perampasan tanah yang terjadi seolah-olah menjadikan masyarakat adat seperti ‘tidak ada’ karena adanya investasi besar besaran. Negara seakan memprioritaskan investor untuk mengambil tanah dnegan murah dan menimbulkan kesengsaraan berkepanjangan dan tidak lagi menghiraukan adanya keberadaan masyarakat adat. (nesta )