Papua, dikenal dengan daerah yang kaya akan keanekaragaman Hayati. Papua juga dikenal dengan “Surga Kecil” yang mengandung berlimpah hasil bumi pertambangan dan lain sebagainya. Kekayaan Papua inilah yang mengundang banyak kaum kapitalis untuk menanamkan modal diatas Tanah yang di perbaharui oleh OTTOW dan GEISSLER sebagai peradaban religius.
Namun kekayaan yang berlimpah di Papua ini sampai saat ini belum dirasakan oleh masyarakat Papua secara merata. Kekayaan Papua sebaliknya menimbulkan konflik, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal. Sejak Papua (Irian Barat) masuk dalam pelukan Ibu Pertiwi (NKRI) hingga saat ini KESEJAHTERAAN masyarakat pribumi masih menjadi mimpi yang belum diwujudnyatakan.
Di era moderenisasi saat ini, pemberitaan media belum juga memberi pencitraan bagi Papua. Banyak dari masyarakat Indonesia masih minim informasi tentang Papua, sehingga citra Papua yang dahulu kanibalisme dan lain sebagainya masih tertanam dalam benak mereka. Dari beberapa hal inilah yang mengundang orang Papua untuk melepaskan diri dari bingkai Negara Republik Indonesia (NKRI). Otonomi Khusus bagi Papua diharapkan sebagai solusi menjawab tuntutan kebutuhan dasar masyarakat, rupanya menimbulkan banyak sekali konflik karena kepentingan untuk mendapatkan separuh rupiah dana OTSUS.
Konflik yang sering terjadi di Papua, tentu saja ada penyebabnya, salah satunya adalah masalah ” Kesejahteraan ” seperti yang di kutip dari pendapat Kapolda Papua Irjen (Pol) Tito Karnavian yang dilansir m.news.viva.co.id ;
” Di sini masih ada kelompok-kelompok yang memasalahkan status politik. Ada yang menggunakan istilah konflik vertikal, ada pula istilah separaratisme. Yang sesungguhnya terjadi ya status politik dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak menjabat Kapolda, saya sudah mengunjungi 40 dari 42 kabupaten/kota di provinsi ini. Saya temukan bahwa masalah pokok adalah kesenjangan dan kelambatan pembangunan ekonomi di sejumlah lokasi. Saya datangi warga, berdialog. Saya tanyakan apa masalah mereka. Coba dipikirkan. Harga minyak tanah Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu per liter. Harga beras Rp 50 ribu per kilogram. Jadi ada masalah pembangunan ekonomi yang terlambat, harga yang mahal.
Isu lain adalah soal ideologi. Isu beda sejarah. Beda ras. Masalah historis masuknya Papua ke wilayah Indonesia. Ini isu-isu yang digunakan kelompok-kelompok yang memasalahkan status politik. Menurut saya isu terpenting ya soal kesejahteraan. Jadi, pemerintah seharusnya melakukan pembangunan Papua dengan pendekatan kesejahteraan. Media perlu mengangkat soal ini. “Harapannya di tahun 2014 mendatang, Pemerintah dapat mengedepankan Kesejahteraan Masyarakat Papua.
Pace Imbiri