Salah satu Nelayan Ibu. Tresia Suebu Okoka di Danau Sentani yang sedang menarik Jaring dan mengangkat ikan, foto : nesta/jerat.orgSalah satu Nelayan Ibu. Tresia Suebu Okoka di Danau Sentani yang sedang menarik Jaring dan mengangkat ikan, foto : nesta/jerat.org

JERAT PAPUA.ORG, Jayapra – Revan Pallo, 29 tahun, sehari-harinya bekerja menyumpit ikan di Danau Sentani, Jayapura, Papua. Dalam bahasa lokal Sentani namanya “Molo ikan” atau “Khafela.” Ia menekuni aktivitasnya ini sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Pada waktu itu, sekitar tahun 2007-2008, ia mengaku sangat mudah untuk mendapatkan ikan asli seperti Khayouw (Gabus kecil), Kahebey (Gabus besar) dan Khandey (gete-gete). “Bahkan di bawah kolong rumah saya, kalau molo siang atau malam, pasti dapat banyak ikan asli,” katanya, 7 November 2021.

Danau Sentani kini tak seperti dulu lagi. Revan merasa dalam beberapa tahun belakangan ini makin sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, khususnya ikan-ikan asli Danau Sentani. Kalau lagi beruntung, kata Revan, dia bisa mendapatkan 1 hingga 2 tali gabus. Sisanya adalah ikan Lohan dan Mujair. Harga 1 tali gabus Rp 300 ribu, Mujair Rp 100 ribu. Sedangkan harga ikan Lohan per tumpuk seharga Rp 50 ribu.

Revan mengaku tak tahu persis kapan persisnya ikan-ikan asli itu seperti menghilang dari danau. “Sejak tahun 2014 sampai saat ini, mau dapat ikan asli itu kita susah sekali. Kalau molo pagi dan siang, paling cuma dapat 9 atau 8 ekor ikan Gabus,” tuturnya.

Keluhan senada juga disampaikan Tresia Suebu, yang bekerja sebagai nelayan di Danau Sentani. Menurut dia, ikan asli dari danau kini sudah jarang bisa didapatkan. “Kalau kita pasang jaring, sekarang paling banyak kita dapat ikan Lohan atau Mujair saja,” kata ibu dari lima anak ini, 10 November 2021. Namun ia mengaku sesekali masih mendapatkan ikan gabus tapi jumlahnya sangat sedikit.

Danau Sentani, yang luasnya 9.360 hektare dan berada di ketinggian 7 mil di atas permukaan laut, merupakan salah satu sumber utama penghidupan bagi masyarakat sekitarnya. Suku yang mendiami danau ini terbagi dalam 3 bagian besar, yakni Sentani Barat (Waibhu), Sentani Tengah (Nolobhu) dan Sentani Timur (Rallibhu).

Terdapat 30 kampung yang berada di kawasan Danau Sentani. Umumnya mereka bermukim di pesisir danau dan menggantungkan kehidupannya dengan mencari ikan. Ada yang melakukannya dengan teknik menjaring atau memancing. Namun ada juga warga sekitar yang memilih tak ke danau, tapi berkebun.

Ada 21 buah pulau kecil di area Danau Sentani. Di area danau itu terdapat sekitar 30 spesies ikan air tawar dan empat di antaranya merupakan endemik, yaitu Gabus Danau Sentani (Oxyeleotris heterodon), Pelangi Sentani (Chilatherina sentaniensis), Pelangi Merah (Glossolepis incisus) dan Hiu Gergaji (Pristis microdon).

Danau Sentani membentang dari timur ke barat. Sisi timur berada di Kota Jayapura, sisi barat di Kabupaten Jayapura. Sisi lain danau ini berada di pelataran kaki Gunung Cyclops. Selain menjadi sumber ekonomi melalui perikanan, airnya juga digunakan untuk konsumsi warga sehari-hari.

Namun Danau Sentani kini tak seperti dulu lagi. Revan mengatakan, berkurangnya ikan asli itu akibat adanya predator baru yang sengaja di lepaskan dan dikembangkanbiakan di Danau Sentani, seperti Ikan Lohan dan ikan Mujair serta Gastor (Gabus Toraja). Faktor lainnya adalah hilangnya tempat-tempat persembunyian ikan asli danau seperti Hului (Rumput Laut ) dan Neli (Ganga Danau sentani).

Tresia Suebu sependapat dengan Revan bahwa berkurangnya ikan asli itu akibat perkembangbiakan ikan baru. Namun dia juga menilai ada faktor lain. “Adanya pergeseran moral dari penduduk danau Sentani yang sengaja merusak tempat-tempat berkembang biak ikan endemic Sentani dengan cara-cara kasar, yakni menebang hutan sagu, penimbunan dan banyaknya sampah akibat limbah masyarakat yang masuk ke dalam danau sehingga terjadinya pendangkalan dan rusaknya kualitas air,” kata dia.

Akademisi Universitas Cenderawasih Jayapura  Dr.rer.nat. Henderite L. Ohee yang akrab di sama Henni Ohee ini mengatakan, dari sejumlah penelitian, bisa diidentifikasi ada sejumlah hal yang menyebabkan biota endemic asli Danau Sentani hampir punah. Faktornya antara lain adalah rusaknya habitat asli, menurunnya kualitas habitat, dan masuknya ikan-ikan asing. “Ketiga masalah besar yang menyebabkan jenis-jenis masalah ini, baik ikan, kemudian kerang, siput dan udang mulai hilang atau akan hilang dari danau Sentani,” kata dia, 8 November 2021.

Perubahan kualitas habitat itu, kata Henderite L. Ohee ditunjukkan dengan perubahan sepanjang tepian pantai danau akibat pembuatan tempat-tempat hiburan seperti restoran, kafe, pembangunan jembatan, dan pembangunan jalan. Aktivitas ini menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan di sepanjang bibir danau Sentani. Apalagi ini menyasar tempat-tempat resapan air seperti hutan sagu yang menjadi habitat favorit bagi biota-biota endemic danau Sentani.

Henni Ohee juga menjelaskan, menurunnya kualitas air Danau Sentani setelah terjadinya penumpukan sampah di bibir muara-muara sungai yang mengalir ke danau, “Sampah-sampah tersebut terbawa oleh air hujan ke Danau Sentani hingga mengakibatkan pendangkalan,” kata dia.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah masuknya ikan asing yang sengaja maupun tidak sengaja dilepaskan ke dalam danau. Heni menilai, masuknya ikan itu mengancam spesies-spesies asli danau. “Karena ikan-ikan asing mempunyai sifat di antaranya adalah mereka cepat berkembang biak sehingga populasinya tinggi dan mengalahkan jenis-jenis biota asli,” kata dia.

Mulai menghilangnya ikan asli danau ini berdampak terhadap adat. Heni mengingat bahwa pada acara-acara adat di keondoafian Sentani (Ondofolo), ikan Gabus jenis Kahebey menjadi indentitas dan wibawa seorang Ondofolo. Ikan Gabus itu hidangan spesial yang diletakkan di dalam baki tanah (hote) dan disajikan di meja makan oleh seorang pesuruh (abuakho) di rumah ondofolo .

Henderite L. Ohee mengaku pernah menanyakan kepada salah satu tokoh adat di Ayapo kenapa selalu meletakkan Kahebey di dalam hote. “Itu tugasnya abuakho taruh jadi orang akan datang dan tahu bahwa ini meja Ondofolo (Ondoafi) tempat makan. Nah ikan Gabus tidak mungkin diganti oleh ikan Mujair atau Lohan. Itu satu contoh kecil,” tuturnya. “Saya khawatir hal-hal seperti ini akan mempengaruhi tata budaya orang Sentani.”

Corry Ohee, salah satu sesupuh Keondoafian Asei Besar menjelaskan, ikan Gabus selalu disajikan saat prosesi adat atau acara besar keondoafian. “Menjadi kebesaran atau kebangaan bagi ondofolo/ondoafi saat bisa menyuguhi ikan Kahebey dalam sungguhan hidangan atau makanan yang disajikan kepada tamu,” kata dia, 11 November 2021.

Kepala Bidang Pengelolaan Kualitas Lingkungan dan Pengembangan Kapasitas Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Yakonias Maitindom  mengatakan, sudah ada diskusi untuk membuat peraturan daerah soal pengelolaan Danau Sentani dan juga area gunung Cycloop. “Kalau ingin menyelesaikan persoalan di Danau Sentani, maka Cagar Alam Cykloop harus lebih dulu diperhatikan,” kata dia, 8 November 2021.

Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua akan melakukan kordinasi dengan akademisi dari Universitas Cenderawasih. “Sejauh mana kajian akademis yang dilakukan terkait dengan hilangnya biota-biota atau spesies ikan asli Danau Sentani dan ada kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab,” kata Yakonias Maitindom.

Direktur Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) Papua, Deni Yomaki mengatakan, Danau Sentani memiliki beragam ikan-ikan lokal yang tidak kita temukan di wilayah lain. Dia mendesak pemerintah untuk terbuka kepada masyarakat tentang pengembangbiakan ikan-ikan asing yang didatangkan dari luar.

“Dengan demikian masyarkat akan melihat pemerintah jujur dalam melihat persoalan kelangkaan ikan lokal yang ada saat ini di Danau Sentani, lalu bersama-sama masyarakat menggunakan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Sentani sejak nenek moyang, bisa bersama mengembangkan pola-pola untuk membudidayakan ikan ini kembali,” kata Deni Yomaki, 10 November 2021.

Di masa lalu ikan Gabus bisa dikembangbiakkan tidak harus dalam keramba  jaring, tetapi bisa dengan bahan alam seperti daun kelapa, daun sagu dan pelepah sagu. “Oleh karena itu kearifan lokal perikanan perlu dikawinkan dengan pengetahuan perikanan oleh Dinas Perikanan,” kata Deni Yomaki. Ia ingin agar kasus ini ditangani serius dan dicari solusinya agar generasi berikutnya masih bisa mengenali ikan-ikan asli ini dan bisa menjadi sumber ekonomi.(Nees Makuba)

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *