Gambar Peta Pemekaran , istGambar Peta Pemekaran , ist

                                         Oleh : BUDIMAN TANUREDJO

JERATPAPUA.ORG, JAYAPURA – Pemekaran wilayah di Papua menggugat konsistensi kebijakan pemerintah untuk moratorium pembentukan DOB, terlebih keterbatasan anggaran yang tekuras karena Covid-19. Oleh BUDIMAN TANUREDJO Kompas, 2 Juli 2022 21:39 WIB Akhir April 2022, saya bertemu dengan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib. Kami ngobrol soal Papua menyusul rencana DPR memekarkan Papua. Ia pun bercerita pertemuannya dengan Presiden Jokowi dan pimpinan DPR. Dalam dua pertemuan itu, MRP meminta pembahasan pengesahan RUU Pemekaran Papua ditunda sampai uji materi UU Otsus Papua di MK diputuskan. MRP melakukan uji materi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 itu. Dalam Kompas, 27 April 2022, tertulis judul, ”Bahas Otonomi, DPR Timbang Hasil MK”. DPR mempertimbangkan menunda pembahasan RUU tentang pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua. ”Dengan masukan MRP, saya sampaikan kepada pimpinan DPR lainnya agar mempertimbangkan penundaan RUU DOB sampai ada putusan MK,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. ”Kesimpulan” itu bisa dibaca sebagai gentleman agreement antara DPR dan MRP. Soal pemekaran wilayah Papua sebelumnya diatur dalam UU pertama Otsus Papua, UU No 21 Tahun 2001 Pasal 76 dan Pasal 77. Pasal itu berbunyi: Pemekaran provinsi Papua menjadi provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang. Dalam Pasal 77 ditegaskan, usul perubahan atas undang-undang diajukan rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan undang – undang.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan) memberi hormat kepada pemimpin rapat yang juga Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad usai membacakan pandangan pemerintah terakait Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (RUU DOB) Papua dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). UU Otsus Papua itu direvisi menjadi UU No 2/2021. Ketentuan soal pemekaran Papua ditambah sebuah pasal yang bisa dibaca menghilangkan peran persetujuan MRP dalam pemekaran wilayah. Pasal itu adalah Pasal 76 Ayat (2) dengan rumusan, ”Pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.” UU itu diuji ke MK karena peran MRP dihilangkan. MK belum memutuskan. Baca Juga : UU Pemekaran Tiga Provinsi Baru di Papua Rentan Digugat ke MK Namun, politik Jakarta menunjukkan hal berbeda. Harian Kompas, 1 Juli 2022, menulis, ”Tiga RUU Pemekaran Papua Tuntas Sembilan Hari”. DPR mengesahkan tiga DOB, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Peresmian ketiga provinsi baru dan pelantikan penjabat gubernur dilakukan paling lama enam bulan sejak UU diundangkan. Ketergesaan membahas pemekaran wilayah Papua menimbulkan persoalan. Pada satu sisi memunculkan pertanyaan mengapa pembahasan pemekaran wilayah tidak menunggu MK memberikan putusan. ”Kesepahaman” menunggu putusan MK selayaknya disepakati agar ada prinsip saling menghargai. Dengan menunggu putusan MK, maka itu menjadi sinyal aspirasi MRP menunda pembahasan sampai ada putusan MK didengar oleh DPR. MRP menolak pembentukan provinsi baru dengan sejumlah alasan. Dalam Kompas, 27 April 2022, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempertanyakan sikap MRP dan MRP Barat yang keberatan dengan pembentukan tiga provinsi baru di Papua. ”Apa itu sudah diplenokan,” kata Tito, kala itu. Pemekaran wilayah di Papua menggugat konsistensi kebijakan pemerintah untuk moratorium pembentukan DOB, terlebih keterbatasan anggaran yang terkuras karena Covid-19 Menko Polhukam Mahfud MD dalam berita Kompas, 26 April 2022, mengatakan, pembentukan DOB menimbulkan pro dan kontra. Meski, menurut Mahfud, berdasarkan survei lembaga kepresidenan 82 persen warga meminta pemekaran wilayah. Namun, kata Mahfud, ”Kita ikuti terus perkembangannya dan tentu saja akan dirujuk kepada vonis MK.” Klaim 82 persen warga setuju pemekaran juga dipertanyakan Murib. Baca juga : Pemekaran Papua Bisa Picu Konflik Sosial Namun itulah politik hukum di Jakarta. Filsuf Thracymacus pernah menulis, ”Hukum bisa menjadi legitimasi orang yang sedang berkuasa. Sementara bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela.” Pemekaran wilayah di Papua menggugat konsistensi kebijakan pemerintah untuk moratorium pembentukan DOB, terlebih keterbatasan anggaran yang terkuras karena Covid-19. Sejumlah daerah di Papua disebut-sebut menyimpan kekayaan tambang emas, termasuk di wilayah Intan Jaya yang kini dimasukkan dalam wilayah Papua Tengah. Kekayaan sumber daya alam itu menjadikan Bumi Cenderawasih itu seksi dan menjadi incaran banyak pihak. Pekerjaan rumah terbayang termasuk mengelola perebutan ibu kota provinsi baru, ”rebutan” penunjukan penjabat gubernur di tiga daerah otonom baru, serta mengelola pro kontra di tengah masyarakat. Lahirnya provinsi baru akan berimplikasi pada perubahan daerah pemilihan di Pemilu 2024. Belum lagi mempersiapkan dana pembangunan kantor karena pendapatan asli daerah kabupaten sangat tidak mencukupi pengelolaan provinsi baru. Beban anggaran kian bertambah berat dengan penambahan DOB

DOKUMENTASI HENDRIK R Aksi unjuk rasa penolakan kebijakan daerah otonom baru untuk Provinsi Papua di Kota Jayapura, Selasa (10/5/2022). Saya teringat tulisan Chatib Basri di Kompas, 2 Februari 2022. Chatib mengutip ungkapan Thomas Sowell, ekonom dari Stanford University. Sowell mengatakan, ”Pelajaran pertama dalam ekonomi adalah kelangkaan. Tak semua keinginan dapat dipenuhi karena sumber daya terbatas, sedangkan pelajaran pertama dalam politik adalah bagaimana mengabaikan pelajaran pertama dalam ekonomi.” Mungkin ada pertimbangan lain soal pemekaran Papua, tetapi itu akan membebani anggaran. Ketika niat politik-ekonomi kekuasaan begitu bergemuruh, keterbatasan dalam anggaran dan prinsip partisipasi bermakna ditinggalkan!

Editor:ANITA YOSSIHARA https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/07/02/papua-mekar-mengapa-tak-tunggu-mk

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *