JERATPAPUA.ORG, JAYAPURA –Greenpeace Indonesia memintah peran aktif masyarakat adat , sebagai pengambil Keputusan terdepan dalam upaya penyelamatan Kawasan TWA Manggrove Teluk Youtefa dari ancaman kepunahan, jika di biarkan terus tergusur akibat penimbunan atas nama pembangunan.
Para tokoh adat, Agama, pemuda, perempuan dan pemerintah serta lembaga-lembaga terkait termasuk NGO perlu bersama-sama menolak adanya upaya pengrusakan secara massive yang di lakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki rasa kecintaan terhadap penyelamatan lingkungan.
Greenpeace menyoroti adanya kasus penimbunan material berupa karang di kawasan Tempat Wisata Alam TWA Manggrove di Hamadi Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura karena di kawatirkan akan merusak seluruh Ekosistem yang bertampuk dan hidup di dalamnya sebagai penyangga keberlangsungan hidup di teluk Youtefa.
Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia Nikodemus Wamafma memaparkan bahwa Hutan mangrove yang dibabat dan di timbun itu berada dalam kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa. yang ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 372/Kpts/Um/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas areal 1.650 ha.
Menururt Niko Wamafma Kawasan hutan Mangrove ini selain sebagai kawasan konservasi , juga adalah wilayah dan ruang hidup Masyarakat Adat Numbay yg secara tradisional telah diatur hak-hak dan ruang kelola maupun ruang lindungnya, sehingga secara turun temurun telah diatur pengelolaan dan pemanfaatannya termasuk manjaga keberlanjutannya kehidupan di masa depan.
“ Pemerintah Kota Jayapura dapat terus memberikan perhatian dan dukungan secara kebijakan dan regulasi mengakui dan melindungi ruang hidup dan hak-hak Masyarakat Adat Numbay Kedepan untuk menjaga keutuhan kawasan manggrove ini” Harap Niko Wamafma Juru Kampanye Hutan Papua kamis, (13/7/2023).
Pemerintah Kota Jayapura dan lembaga-lembaga yang bergerak di isu Lingkungan dan masyarakat Adat harus berani untuk mendorong keterlibatan aktif masyarakat adat Numbai dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Teluk Youtefa secara berkelanjutan sehingga kasus yg sudah terjadi ini tidak lagi terulang ke depan.
“dari sisi tata kelola dan penghargaan ruang hidup masyarakat adat , papan peringatan yang terpasang sudah sangat jelas ini kawasan sama sekali tidak diperbolehkan aktivitas apapun di atas kawasan tersebut karena kawasan ini menjadi penyangga bagi makluk hidup di kawasan teluk Youtefa “ujar Nikodemus Wamafma
Greenpeace berkomitmen akan terus mengawal kasus ini maupun kebijakan perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan Mangrove ini oleh BKSDA dan Pemerintah Kota Jayapura dengan pelibatan aktif Masyarakat Adat Numbai serta tidak memberikan ruang atau ijin bagi aktivitas -aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan ini.
Teluk Youtefa kemudian ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 714/Kpts-II/1996 tanggal 11 November 1996 dengan luas areal 1.675 ha.
Luasan mangrove di TWA Teluk Youtefa pada tahun 2017 seluas 233,12 ha.
Teluk Youtefa juga menjadi rumah bagi tiga ekosistem pesisir diantaranya : ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Potensi sumberdaya alam lainnya adalah sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan, bilvalvia serta crustacea
Ekosistem mangrove merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat pesisir disekitar Teluk Youtefa.
Ekosistem mangrove memiliki banyak potensi, berperan penting, dan memiliki keanekaragaman hayati baik dari segi ekologi maupun sosial. Pengelolaan ekosistem mangrove menjadi sangat penting karena merupakan inti dari siklus biologis yang berlangsung di wilayah pesisir, dimana baik manusia maupun kehidupan akuatik bergantung pada ekosistem ini.
Menyangbung soal apa yang terjadi di TWA Manggrove sebagai Kawasan penyangga seluruh ekosistem laut di teluk Youtefa, Sabtha Rumadas Kordinator Bidang Advokasi Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua berharap terus ada pengawasan yang serius dari pemerintah daerah, jika dibiarkan berlanjut , masyarakat Adat di beberapa Kampung yang ada di teluk Youtefa baik Enggros, Tobati, Nafri ,Skouw , dan Kayu Pulo Kayu Batu generasinya di masa datang tidak akan pernah melihat tanaman Manggrove yang menjadi kebanggaan mereka .
“sadar atau tidak ini dalam kepunahan, semua pihak harus bersuara untuk ini “katanya.
Dalam rentang waktu 23 tahun, TWA Teluk Youtefa telah kehilangan sebesar 159,34 hektar Ekosistem mangrove.
Pemerintah Daerah dan Lembaga-lembaga terkait Baik BKSDA, KLHK, Kepolisian bersama Masyarakat Adat harus duduk bersama dan mempertegas kedudukan dan kondisi real yang terjadi , sehingga tidak ada lagi yang menjadi tumbal dari kerusakan massive yang terjadi di kawasan Taman Wisata Alam Manggrove Teluk Youtefa. (nesta )