JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Hutan hujan tropis adalah bioma terbesar di bumi yang dapat ditemukan di dataran tinggi tropis basah dan dataran rendah di sekitar Khatulistiwa. Brazil, Republik Demokratik Kongo, Indonesia , Peru dan Kolombia adalah negara dengan hutan hujan terbesar di dunia.
Salah satu daerah dengan hutan hujan yang tersisa paling luas di Indonesia terdapat di Tanah Papua. Tanah Papua merupakan salah satu wilayah di dunia yang memiliki hutan hujan yang luas. Di hutan hujan Papua ini menyimpan berbagai kekayaan alam. Selain itu hutan hujan Papua juga merupakan salah satu ‘benteng’ yang menjaga keseimbangan ekosistem global dari perubahan iklim. Hutan Hujan Tanah Papua merupakan ‘paru-paru’ dunia. Dengan berbagai julukan itu, hutan di Tanah Papua memikul tanggung jawab besar yakni turut membantu “mengatur” iklim global. Hutan hujan Papua berperan untuk menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang vital bagi kelangsungan kehidupan seluruh muka bumi.
Bernardus Koten – Ketua Eksekutif Komite Kowaki Tanah Papua
Mengakui Papua merupakan wilayah bagian Timur Indonesia yang memiliki biodiversitas sangat tinggi. Bahkan, Papua juga menjadi habitat untuk spesies-spesies fauna khas Australis seperti mamalia marsupialia dan beberapa jenis burung. Pada tahun 2012, daratan Papua didominasi oleh hutan alam yang mencapai sekitar 86% dari luas daratan2. Pada tahun 2014 menunjukkan hutan alam di Bioregion Papua mencapai 83% daratan 1. Sampai dengan tahun 2017, terjadi pengurangan luasan hutan (deforestasi) seluas 189,3 ribu hektare/tahun antara tahun 2013-2017. Praktis, hingga tahun 2017 luas hutan alam di Papua sekitar 33,7 juta hektare atau 81% daratan.
“ Bertutur tentang hutan, berarti kita tidak bisa dapat memisahkan masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan entitas yang kehidupannya bergantung dan berkaitan langsung dengan hutan.”ujar Bernadus Koten Rabu, (9/8/2023).
Bernadus mengisyarartkan Tanah Papua, hutan dipandang sebagai seorang ‘mama’. Seperti seorang mama yang merawat, menjaga dan menghidupi anak-anaknya, hutan adalah ‘mama’ bagi masyarakat adat Papua. Kehidupan Masyarakat adat Papua pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari hubungan dengan hutan alam. Secara turun-temurun, mereka diajarkan untuk menghargai dan merawat hutannya. Merusak hutan akan menerima hukuman atau sanksi adat. Hutan juga sebagai “apotik” , sumber aksesoris budaya, sumber pangan protein hewani dan nabati yang semua boleh didapatkan masyarakat adat Papua secara gratis. Juga terdapat flora dan fauna edemik serta tempat-tempat nenek moyang yang tentu mempunyai Nilai Konservasi Tinggi (High Value Conservation / HCV).
“ sayangnya, Hutan Hujan di Tanah Papua kini menghadapi ancaman serius dari alih fungsi lahan untuk perkebunan skala besar, pertambangan , illegal logging dan masih banyak lagi yang kemudian berpotensi menyebabkan deforestasi, kerusakan ekologis bahkan hingga berkontribusi terhadap krisis iklim. Dugan modus pengambilan tanah adat adat secara “rahasia” dengan beralihnya hak kepemilikan tanah adat menjadi HGU tentu saja berdampak kepada penolakan oleh masyarakat adat , terutama dari marga-marga pemilik hak ulaya. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak transparan dan kredibelnya proses Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA)” katanya
Deforestasi masih menjadi masalah utama yang dihadapi hutan alam Tanah Papua. Laporan dari Auriga yang dirilis pada Februari 2021 menyebutkan bahwa luas hutan alam di Tanah Papua menyusut 663.443 hektare (ha) dalam 20 tahun terakhir. Tahun 2001-2010 terjadi penyusutan hutan seluas 192.398 ha atau setara dengan 29 persen, sementara pada 2011-2019 terjadi penyusutan hutan alam seluas 471.044 ha atau setara dengan 71 persen. Penyusutan tertinggi terjadi pada 2015 seluas 89.881 ha. Beberapa penyebab utama menyusutnya luas hutan alam adalah pemberian izin perkebunan sawit dan pertambangan. Selain itu juga disebabkan pengelolaan kawasan hutan, pembangunan infrastruktur, pengendalian dan pengawasan produksi hutan kepada pemda, serta pemekaran wilayah administratif. Hutan alam adalah sebutan untuk hutan yang vegetasinya (pertumbuhan) terjadi tanpa atau dengan sedikit campur tangan manusia. Dari 88 juta hektar sebaran hutan alam nasional, 33,8 juta ha berada di Tanah Papua atau setara dengan 38 persen dari luas hutan alam nasional. Proporsinya adalah 24,9 juta ha berada di Papua atau setara dengan 28,4 persen dan 8,85 juta ha berada di Provinsi Papua Barat atau setara dengan 10,06 persen2.
Hak Masyarakat Adat atas tanah diabadikan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak- Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), khususnya, hak mereka untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan mengontrol tanah yang dimiliki atau diduduki secara tradisional, dan hak untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan spiritual mereka dengan tanah yang mereka miliki atau tempati secara tradisional dan untuk menjunjung tinggi ini untuk generasi mendatang. UNDRIP secara tegas menguraikan hak Masyarakat Adat atas Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC) untuk setiap hal yang dapat mempengaruhi mereka atau tanah mereka
– bahwa proses ini bebas dari paksaan, yang terjadi sebelum pembangunan apa pun, yang didasarkan tentang informasi yang memadai sehingga masyarakat yang terkena dampak mendapat informasi penuh saat membuat keputusan, dan bahwa persetujuan dapat diberikan atau ditahan oleh masyarakat yang terkena dampak3.
Pada Undang Undang Pokok Kehutanan No.5 Tahun 1967 yang dilanjutkan dengan Undang Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 telah merampas 80% tanah-tanah di wilayah adat menjadi hutan negara.
Di dalam UUD 1945 pasal 18B ayat (2) yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang. Artinya hukum adat masih berlaku dan masih dianut oleh masyarakat hukum adat. Penghormatan dan pengakuan bisa diukur dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia agar sesuatunya menjadi lebih jelas diatur dengan Undang-Undang4. Namun dalam kenyataannya tidak ada niat baik DPR RI dan Pemerintah untuk membahas serius penyelesaian RUU Masyarakat Adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang hutan adat sebenarnya telah mengakui hak masyarakat adat. Putusan itu menyebutkan, “hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara”. Namun satu dekade setelah putusan MK itu, masyarakat adat masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas wilayah mereka.
Masih ingat dalam catatan kami , bahwa pada tanggal 25/11/2021, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat.
UU Cipta Kerja membuat kita mengkhawatirkan bagi kelestarian hutan hujan Papua dan penghormatan,perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua.
UU Cipta Kerja terdapat dua hal yang secara langsung melanggengkan praktik oligarki dan korporasi. Hal ini berkiatan dengan adanya impunitas dari korporasi yang melakukan pelanggaran hukum terkait lingkungan. Dalam UU Cipta Kerja (investor) memiliki potensi untuk tidak dijerat secara hukum. Malah kemudian kejahatan-kejahatan itu bisa diputihkan.
Upaya kspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua sejak dulu – sekarang umumnya terus mendapatkan penolakan. Dalam catatan Kowaki Tanah Papua pada tahun 2022-2023 terhadap beberapa penolakan dari masyarakat adat yang koorporasi memasuki wilayah adat mereka. Ada beberapa fakta yang dimana masyarakat adat menolak kehadiran perusahaan perkebunan skala besar di Tanah Papua, diantaranya:
Persekutuan Masyarakat Adat Tehit di Sorong Selatan, Papua Barat, menolak kehadiran perusahaan perkebunan sawit. Mereka tak ingin wilayah dan hutan adat sebagai ruang hidup mereka terganggu. Hidup bergantung hutan dari berburu dan meramu bisa terancam kalau hutan jadi kebun sawit. Rangkaian aksi penolakan atas perusahaan sawit oleh masyarakat Teminabuan dan Konda,
membuahkah hasil dengan pencabutan dua izin prinsip perusahaan sawit Bupati Sorong Selatan. Pada 3 Mei 2021, Bupati Samsudin Anggiluli menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan izin lokasi dan IUP untuk tiga perusahaan sawit5.
Di Kabupaten Jayapura, Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa melakukan penolakan kehadiran perusahaan sawit PT.Pemata Nusa Mandiri (PNM) dengan melakukan beberapa kali aksi damai di Kantor Bupati Jayapura yang menuntut pencabutan ijin PT.PNM. Kami perempuan adat menyatakan sikap kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali semua keputusan yang telah diambil dan diberikan kepada pihak perusahaan PT PNM dan perusahaan manapun yang berada di daerah Grime dan Nawa, wilayah Mamta, ataupun di atas Tanah Papua, untuk dicabut izinnya karena semua perusahaan yang masuk di atas tanah kami tidak membawa keuntungan bagi kami ataupun mengubah sedikit ekonomi kam”6.
Sementara itu Hendrikus ‘Franky’ Woro dari Suku Awyu melayangkan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).Franky merupakan pemimpin marga Woro–bagian dari Suku Awyu. Marga Woro mendiami Kampung Yare, Distrik Fofi, Boven Digoel. Ia mengajukan gugatan ini lantaran pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT IAL yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka7.
Fakta lainnya seorang masyarakat adat bernama Petrus Kianggo seorang tuan dusun bahkan telah menjatuhkan sanksi adat kepada perusahaan sawit PT. Tunas Sawa Erma (TSE) di Boven Digoel, karena terjadi pelanggaran oleh pihak perusahaan ditanah adat tuan dusun, Petrus Kianggo, bahkan meminta agar negara, perusahaan dan siapapun pihak yang berkepentingan di wilayah adat kami, harus mengakui dan menghormati hukum adat kami masyarakat adat.
Masyarakat Suku Moi dari 6 distrik yakni Distrik Klaiyli, Distrik Maudus, Distrik Wemak, Distrik Sayosa, Distrik Sayosa Timur, dan Distrik Salkma menolak dengan tegas kehadiran PT Hutan Hijau Papua Barat di Kabupaten Sorong, dan meminta Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk segera mencabut izin perusahaan itu. Ayub Paa, pemuda adat Distrik Kalaso menegaskan kehadiran PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB) di wilayah adat merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sosial masyarakat dan akan berdampak pada hilangnya hutan, spesies, dan habitat, serta sumber kehidupan masyarakat adat. Kami menolak PT. HHPB yang akan melakukan deforestasi hutan di wilayah adat kami karena akan berdampak pada hilangnya lahan hutan dan pemanasan global pada lingkungan, kehidupan sosial, dan keberlanjutan makhluk hidup yang dibacakan oleh Ayub Paa.
Anastasya Manong – Deputi I Pengkampanye Hak Masyarakat Adat, Hutan Hujan dan Keadilan Iklim
Beberapa fakta diatas menunjukan bahwa orang muda Papua yang telah tumbuh kesadaran kritisnya tetap begitu kuat dimana keinginan mereka untuk menjaga kelestarian hutan hujan serta mendorong pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat Adat papua dengan cara-cara damai dan bermartabat yang memunculkan solidaritas kuat diantara orang muda di level regional, nasional dan komunitas internasional. Kemunculan gerakan-gerakan yang diorganisir oleh orang muda Papua adalah tentu menjadi preseden baik kedepannya, dimana orang muda mulai terlibat secara aktif untuk tanpa kenal Lelah mengorganisir tingkat tapak , membangun kesadaran kritis, membangun jejaring kerjasama dan melakukan kampanye dan dukungan kepada masyarakat adat yang sedang mempertahankan hutan adat mereka dari serbuan koorporasi perkebunan sawit. Karena anak cucu kita nantinya mereka juga sepatutnya mempunyai akses terhadap wilayah adat (darat dan pesisir) , hutan adat dan SDA yang terkandung diatas dan didalam tanah dan hak atas lingkungan yang sehat.
“ Gerakan Orang Muda Papua dalam dilihat dalam beberapa organisasi seperti di Sorong terdapat Aliansi Masyarakat Sagu (AMASA) Papua Barat, di Merauke terbentuk Aliansi Mahasiswa Rakyat Papua Selatan (AMPERA PS), di Jayapura terbentuk Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Hutan dan Hak Masyarakat Adat (AMPERAMADA) Papua serta Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, Di Kabupaten Sorong munculah Gerakan Malamoi. Apa yang terjadi diatas ada beberapa gambaran situsai gerakan orang muda yang sebagai garda terdepan masyarakat adat Papua.”ungkapnya
Lanjut Anastasya Manoang pada momen peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada tanggal 09 Agustus 2023, maka Kowaki Tanah Papua menyatakan:
Kowaki Tanah Papua memberikan apreasiasi yang sebesar-besarnya kepada Orang Muda Papua yang yang sedang mendorong proses “Keadilan Iklim dan Keadilan Antar Generasi” yang hingga hari ini terus mempertahankan wilayah adat di Tanah Papua dari ancaman perampasan lahan, deforestasi dan kerusakan lingkungan.
Kowaki Tanah Papua Menyerukan kepada semua Orang Muda Papua di Tanah Papua agar memperluas konsolidasi, membangun jaringan dan bersatu dalam mempertahakan dan menyelamatkan wilayah adat (tanah adat, hutan hujan , pesisir dan SDA terkandung didatas dan didalam tanah) ditengah ancaman praktik oligarki dan korporasi dengan “karpet merah” UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang liberal.
Kowaki Tanah Papua Menyerukan kepada komunitas internasional untuk berjaring dan bekerjasama guna menyelamatkan hutan hujan Papua yang merupakan sumber penghidupan masyarakat adat Papua dan benteng krisis iklim.
Kowaki Tanah Papua Mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah RI untuk segera membahas dan mensahkan RUU Masyarakat Adat. (nesta)