Hendrikus 'Franky' Woro dari suku Awyu duduk di dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura sebelum persidangan di Jayapura, Papua. Suku Awyu bersaksi di pengadilan melawan perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Mereka adalah pemilik wilayah adat, namun tidak mendapat informasi mengenai aktivitas perusahaan. Mereka juga tidak dilibatkan dalam penyusunan analisis dampak lingkungan Greenpeace melaporkan sekitar 168.471 hektar hutan primer di Papua dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 2010 dan 2019, dan perkebunan diperkirakan akan meningkat.Hendrikus 'Franky' Woro dari suku Awyu duduk di dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura sebelum persidangan di Jayapura, Papua. Suku Awyu bersaksi di pengadilan melawan perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Mereka adalah pemilik wilayah adat, namun tidak mendapat informasi mengenai aktivitas perusahaan. Mereka juga tidak dilibatkan dalam penyusunan analisis dampak lingkungan Greenpeace melaporkan sekitar 168.471 hektar hutan primer di Papua dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 2010 dan 2019, dan perkebunan diperkirakan akan meningkat.

JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN Jayapura menolak gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim oleh Marga Woro suku Awyu Kabupaten Bovent Diegoel  terhadap Pemerintah Provinsi Papua yang atas penerbitan Izin kelayalan Lingkungan Hidup PT Indo Asiana Lestari kamis, 2 November 2023.

Kamis 2 November 2023 adalah hari paling kelam bagi masyarakat adat di Tanah Paua, mengapa demikian,  Hendrikus  Woro   dan  Tim  Advokasi   Selamatkan   Hutan   Papua menyesalkan  putusan  majelis  hakim  Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan  lingkungan  hidup  PT  Indo Asiana  Lestari.  Putusan  hakim yang diunggah  hari  ini tersebut menjadi kabar buruk bagi masyarakat adat suku Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari perusahaan sawit.

“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya. Jika hakim tidak percaya, terjun ke lapangan untuk lihat langsung. Saya juga sedih karena  teman-teman  lain  sudah  luar biasa  mendukung  kami.  Mereka tidak  punya tanah di sini tapi mereka luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kami masyarakat adat. Namun hakim tidak melihat persoalan itu dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura.

Papuan Indigenous People from the Awyu tribe donned traditional body paint and bird of paradise headdresses join together with activists, hold a protest in front of Presidential Palace in Jakarta.

Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya sudah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli. Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu ini jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL. Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya  intimidasi  terhadap  masyarakat  yang  menolak  perusahaan  sawit,  hingga  tidak  diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan.

Namun  dalam  putusannya,  hakim  menyatakan  tidak  dapat  mempertimbangkan  prosedur penerbitan amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.

“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna  hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah  lembaga yang tidak jelas status  hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa  paksaan  (free, prior, and informed consent)  langsung dari  masyarakat terdampak,”  kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Papuan Indigenous People from the Awyu tribe donned traditional body paint and bird of paradise headdresses join together with activists, hold a protest in front of Presidential Palace in Jakarta.

Putusan  tersebut juga  menegasikan  potensi  dampak  iklim jika  PT  IAL  membuka  kebun  sawit  dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu. Jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Kami  kecewa  dengan  putusan  hakim  dan  akan  memperjuangkan  kasus  ini  sampai  menang  demi tegaknya hak masyarakat adat, selamatnya hutan Papua dari kerusakan yang masif, dan menahan laju

krisis  iklim.  Ini  putusan yang janggal,  hakim  bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Emanuel  Gobay, anggota tim  kuasa  hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menambahkan, “Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan  dan dilanggar.  Kami juga akan  melakukan  upaya-upaya  hukum  untuk  mengevaluasi sikap hakim  dalam  memutus  perkara  ini.  Meski  satu  dari  tiga  majelis  hakim  memiliki  sertifikasi  hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam  sikap  hakim  yang  tidak  mempertimbangkan  substansi  amdal  yang  bermasalah dan  menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan.”

Selama persidangan bergulir, banyak dukungan mengalir untuk suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus  curiae  (sahabat  peradilan),  mulai  dari  Komisi  Nasional  Hak Asasi  Manusia  (Komnas  HAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat  Kajian  Hukum Adat  Djojodigoeno,  Koalisi  Kampung  untuk  Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia.

Gerakan Solidaritas  Pelindungan  Hutan Adat  Papua yang didukung 258 organisasi  masyarakat sipil, akademisi, dan  individu dari  berbagai daerah dan  negara, termasuk solidaritas dari masyarakat adat Ka’apor, Amazon, Brazil, juga telah membuat surat terbuka dan menyerahkannya kepada majelis hakim PTUN Jayapura, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM. Mereka menuntut dan  memohon  majelis  hakim  berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam  putusannya’–demi  kelanjutan  hutan  Papua yang  menjadi sumber kehidupan  masyarakat adat Papua. ( gp/NESTA )

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua,

Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

 

 

 

 

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *